Diskusi di Sekolah Ajarkan Anak tentang Keberagaman
Penanaman nilai keberagaman hendaknya dimulai sejak dini. Sekolah dapat menjadi ruang penanaman nilai tersebut.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Nilai toleransi terhadap keberagaman idealnya ditanamkan pada anak sejak dini. Hal itu bisa dimulai dengan membuka ruang diskusi yang aman dan inklusif di sekolah. Peran guru dan kepala sekolah yang berwawasan kebangsaan menjadi penting.
Ketua Yayasan Cahaya Guru Henny Supolo mengatakan, salah satu persoalan di lingkungan pendidikan adalah keberagaman, khususnya terkait identitas agama atau kepercayaan. Menurut Henny, menumbuhkan pemahaman tentang keberagaman butuh pendekatan reflektif.
”Kita dapat membuka ruang perjumpaan agar saling mengenal. Perjumpaan bisa mengurangi ketidaktahuan dan mendekatkan diri kita dengan keberagaman,” kata Henny pada seminar Menjadi Guru Rujukan Keragaman, Kebangsaan, dan Kemanusiaan, Rabu (7/7/2021).
Pemahaman itu diharapkan dapat meminimalkan intoleransi di sekolah. Contoh intoleransi itu salah satunya kewajiban mengenakan hijab bagi siswa non-Muslim di Sumatera Barat yang diberitakan pada awal 2021. Selain itu, Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) juga mencatat pelarangan hijab di Maumere pada 2017 dan di Manokwari pada 2019. Hal serupa terjadi di sekolah-sekolah di Bali (Kompas.id, 25/1/2021).
Berdasarkan data SETARA Institute, pada 2007-2018 terjadi 2.400 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) di Indonesia. Adapun tiga daerah dengan peristiwa pelanggaran KBB terbanyak ada di Jawa Barat (269 kasus), Jawa Timur (270 kasus), dan DKI Jakarta (291 kasus).
Pada 2019 terjadi 200 peristiwa pelanggaran KBB dengan 327 tindakan. Sementara itu, pada 2020, ada 180 peristiwa pelanggaran KBB dengan 422 tindakan.
Direktur Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Amich Alhumami mengatakan, prasangka negatif tentang agama atau kepercayaan umumnya muncul karena ketidaktahuan. Itu sebabnya pertemuan dengan orang-orang dari beragam latar belakang diperlukan. Pertemuan itu akan memantik dialog.
”Keberagaman perlu dikenalkan sejak awal untuk membangun kesadaran kolektif bahwa sebagai WNI yang berbeda nilai budaya, sosial, agama, politik, kita tetap bisa sejalan untuk membangun bangsa,” kata Amich.
Diskusi di sekolah
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Anindito Aditomo mengatakan, diskusi tentang keberagaman agama dan kepercayaan penting. Namun, isu itu jarang dibicarakan secara terbuka karena bersifat personal.
”Keyakinan agama sering dipandang sebagai kebenaran yang tidak bisa diganggu gugat, terlebih oleh orang yang berbeda agama. Makanya, terkadang orang sulit membuka diri. Padahal, kita hidup di realitas yang beragam. Tidak membicarakan isu ini sama dengan menunda masalah,” ujar Anindito.
Menurut dia, pemahaman tentang keberagaman perlu ditanamkan secara sistematis melalui pembelajaran di sekolah. Sekolah mesti dirancang sebagai tempat aman untuk mendiskusikan isu sensitif. Dalam diskusi itu, guru perlu membantu siswa berpikiran terbuka dengan bertanya, berargumentasi, dan mendengarkan.
Ia harap anak-anak belajar menghadapi perbedaan secara beradab sejak dini. Untuk itu, guru dan kepala sekolah perlu disiapkan dengan memperluas wawasan kebangsaan.
”Ini tidak mudah. Hal ini tidak hanya butuh keterampilan pedagogik, tetapi juga keberanian untuk membuka diskusi seperti itu,” kata Anindito.
Anggota Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah Itje Chodidjah mengatakan, guru merupakan tonggak penegakan kebinekaan. Siswa akan lebih mudah memahami dan melakoni toleransi bila guru punya pemahaman yang baik tentang itu.
Kepala Sekolah Guru Kebinekaan (SGK) M Mukhlisin menambahkan, sejumlah program sudah dilakukan untuk mengembangkan wawasan kebangsaan guru, seperti pelatihan yang terdiri dari sepuluh pertemuan. SGK adalah model pendidikan dari Yayasan Cahaya Guru untuk membangun kapasitas guru dalam hal keragaman, kebangsaan, dan kemanusiaan.
Selain pelatihan, SGK juga mendorong guru membuka ruang interaksi dengan keberagaman, misalnya dengan berkunjung ke rumah-rumah ibadah, dialog dengan komunitas agama atau kepercayaan, menonton pertunjukan seni, dan menggali keragaman kearifan lokal.
Anindito menambahkan, Kemendikbudristek ke depan akan menerapkan evaluasi pendidikan berbasis toleransi dan kebinekaan. Artinya, kriteria sekolah yang baik tidak lagi berdasarkan pada hasil belajar siswa, tetapi juga keberhasilan kepala sekolah dan guru menciptakan lingkungan yang aman dan inklusif bagi keberagaman.
”Hal itu juga akan didorong lewat kurikulum dan pembelajaran. Dalam beberapa bulan ke depan, kami akan mengundang beberapa pihak untuk berkontribusi mengembangkan materi ajar (tentang keberagaman). Materi itu akan didiseminasikan ke aplikasi digital,” kata Anindito.