Pembangunan infrastruktur perpustakaan di sejumlah daerah masih terkendala anggaran yang terbatas. Pemda berperan penting untuk mengoptimalkan peran perpustakaan dalam meningkatkan literasi.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengembangan perpustakaan sebagai media untuk meningkatkan literasi yang terbuka untuk umum masih perlu dioptimalkan. Hal ini membutuhkan peran pemerintah daerah.
Kepala Perpustakaan Nasional Muhammad Syarif Bando, Rabu (30/6/2021, mengatakan, salah satu tantangan literasi di Indonesia adalah infrastruktur. Pembangunan infrastruktur perpustakaan di sejumlah daerah masih terkendala anggaran yang terbatas.
”Perpustakaan adalah urusan wajib, bukan pelayanan dasar, yang diatur UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,” kata Syarif pada diskusi daring.
Pengembangan perpustakaan menjadi penting karena berhubungan dengan upaya meningkatkan literasi masyarakat. Menurut Laporan Kinerja Perpusnas 2016, ketersediaan perpustakaan secara nasional hanya memenuhi 20 persen dari kebutuhan. Jumlah perpustakaan 154.359 unit, sedangkan kebutuhan perpustakaan sebanyak 767.951 unit.
Selain itu, jumlah koleksi buku juga belum memadai. Menurut sensus yang diadakan Perpusnas pada 2019, ada lebih kurang 220 juta buku di seluruh perpustakaan umum. Jika dibandingkan dengan 270 juta jumlah penduduk Indonesia, rasio buku dengan jumlah penduduk adalah 1:90. Artinya, satu buku digunakan untuk 90 orang.
Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Hari Nur Cahya Murni mengatakan, ada dua tujuan bernegara menurut UUD 1945. Keduanya adalah memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Perpustakaan bisa dijadikan sarana mencapai tujuan itu.
Ia menambahkan, alokasi dana untuk urusan perpustakaan seharusnya direncanakan kepala daerah pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Adapun urusan perpustakaan masuk dalam ranah pendidikan. Alokasi anggaran tertinggi untuk urusan perpustakaan hanya sekitar 1 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
”Suksesnya penyelenggaraan urusan perpustakaan itu ada tiga faktor penentu. Pertama, komitmen kepala daerah, lalu penguatan kapasitas lembaga, dan kesadaran masyarakat (akan literasi),” kata Hari.
Ia mendorong agar pemimpin daerah memperhatikan kewajibannya, termasuk perpustakaan sebagai urusan wajib nonpelayanan dasar. Ini karena perpustakaan mendukung upaya meningkatkan literasi publik.
Skor Indeks Kegemaran Membaca di Indonesia pada 2016 adalah 26,5, kemudian meningkat menjadi 55,74 pada 2020. Hal ini tidak lepas dari program Gerakan Literasi Nasional yang diluncurkan pemerintah sejak 2016. Walakin, angka itu masih ada di kategori rendah.
Tingkat literasi di Indonesia pun masih rendah bila dibandingkan negara-negara lain. Menurut survei World’s Most Literate Nations oleh Central Connecticut State University pada 2016, literasi Indonesia ada di peringkat ke-60 dari 61 negara.
Duta Baca Indonesia Heri Hendrayana mengatakan, upaya menggiatkan literasi tampak di masyarakat. Misalnya, dari sinergi antara gerakan pemasyarakatan minat baca (GPMB) dan taman bacaan masyarakat (TMB). Perpustakaan daerah pun berupaya melakukan program terobosan dengan melibatkan pemustaka dan komunitas literasi.
Menurut dia, meningkatkan kegemaran publik untuk membaca bisa dilakukan melalui banyak hal, seperti musik, teater, ataupun kuliner. ”Agar generasi milenial terlibat, saya berencana membuat program yang mengajak mereka mengunggah kegiatan membaca di media sosial. Nanti ada tantangan dan reward-nya,” ucap Heri atau yang kerap dipanggil Gol A Gong.