Infodemi perlu disikapi dengan bersikap skeptis terhadap informasi yang beredar. Pers berperan sebagai penjernih informasi.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Infodemi dapat direspons dengan bersikap skeptis terhadap informasi yang beredar di dunia maya. Literasi digital dan nalar berpikir kritis perlu dibangun. Peran pers pun kian penting untuk menyediakan informasi terverifikasi.
Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mencatat 247 hoaks beredar sepanjang Januari 2021 hingga 22 Juni 2021. Sebanyak 103 hoaks di antaranya tentang vaksin Covid-19.
Sementara itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat 8.499 hoaks pada 1 Agustus 2018 hingga 22 Juni 2021. Tiga besar isu hoaks itu adalah politik (1.252 hoaks), pemerintahan (1.702 hoaks), dan kesehatan (1.719 hoaks) yang mayoritas berkaitan dengan pandemi Covid-19. Infodemi atau banjir informasi itu membuat publik kesulitan memilah mana berita benar dan bohong.
“Infodemi itu sama bahayanya dengan pandemi karena menghambat penanganan pandemi. Masyarakat menganggap bahwa informasi yang naik ke media, baik media digital maupun konvensional, dianggap pasti sudah disaring dan melalui proses kontrol kualitas,” kata pakar budaya digital Universitas Indonesia Firman Kurniawan saat dihubungi, Senin (28/6/2021).
Hoaks masuk akal bagi sebagian orang karena sesuai dengan kondisi emosi dan keyakinan mereka. Kepercayaan terhadap hoaks juga dipengaruhi kelelahan masyarakat menghadapi pandemi. Ini mendorong mereka mencari informasi alternatif yang banyak beredar di media sosial.
Di sisi lain, belum semua orang mampu membedakan berita benar dan hoaks. Menurut Firman, hoaks kerap bersifat bombastis. Berita benar umumnya dijelaskan secara runut dan mengandung unsur 5W+1H (apa, kenapa, siapa, kapan, di mana, bagaimana).
Itu sebabnya keterampilan publik untuk berpikir logis dan kritis perlu dibangun. Ini bisa dimulai dengan bersikap skeptis dan terus mempertanyakan kebenaran berita. Informasi yang diperoleh dari media sosial atau grup percakapan di ponsel mesti diverifikasi lagi.
“Tidak semua yang beredar di media digital itu benar. Sisakan 50 persen kepercayaan Anda terhadap suatu informasi. Jika ragu dengan kebenarannya, informasi itu jangan dibagikan. Sekarang ada banyak situs untuk mengecek kebenaran berita, baik dari Mafindo, Kementerian Kominfo, dan lainnya,” kata Firman.
Juru Bicara Kementerian Kominfo Dedy Permadi mengatakan, penanganan hoaks dilakukan secara komprehensif dengan berbagai pihak, seperti menurunkan konten-konten negatif dari dunia maya. Literasi digital untuk masyarakat juga dilakukan melalui program Indonesia Makin Cakap Digital.
“Hoaks memiliki beragam dampak, seperti memengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah hingga berpotensi mengancam keutuhan dan kesatuan negara. Konsekuensi penyebaran hoaks dapat berupa pengenaan sanksi pidana sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku,” kata Dedy.
Peran pers
Menurut Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Dewan Pers Arif Zulkifli, tantangan pers bertambah di era infodemi. Peran pers kian penting untuk menjernihkan dan mengklarifikasi informasi yang melimpah. Pers dinilai sudah punya cara mengatasi ini dari berbagai pengalaman menghadapi hoaks, misalnya saat pemilu 2019.
Produk jurnalistik bisa jadi referensi publik mencari informasi. Ini karena produk pers dapat dipertanggungjawabkan. Kebenaran berita pun telah diperiksa oleh redaksi sebelum dipublikasi.
“Jika media arus utama menjalankan tugasnya, saya rasa kita tidak perlu khawatir dengan berita-berita bohong, sebab media arus utama dapat dipercaya,” kata Arif.
Adapun Dewan Pers sedang mengajak para pegiat media sosial yang menjalankan fungsi jurnalistik untuk bergabung dengan pers. Pegiat yang disasar antara lain adalah yang bukan wartawan atau mantan pekerja media yang kini punya kanal digital sendiri. Tujuannya agar mereka bisa dilindungi dengan Undang-Undang Pers, namun mereka wajib membuat konten yang sesuai kode etik pers dan dapat dipertanggungjawabkan.