Perlindungan Hukum Korban Kekerasan Seksual Mendesak
Lemahnya perlindungan hukum menghambat korban kekerasan seksual melaporkan kasusnya. Pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual pun kian penting.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual di Indonesia dinilai masih lemah. Akibatnya, sebagian korban enggan melaporkan kekerasan yang dialami dan pemulihan korban jadi terhambat. Itu sebabnya, pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi undang-undang mendesak.
Menurut komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini, kekerasan seksual merupakan kejahatan yang paling serius. Keberanian korban melaporkan kekerasan penting karena menjadi basis menguak kasus dan mencari keadilan. Namun, hukum dan sanksi di Indonesia masih lemah sehingga kekerasan seksual terus terjadi.
Reaksi umum korban yang mengalami pengalaman traumatis adalah flight, fight, atau freeze (lari, melawan, atau terdiam).
”Ketidakmampuan hukum melindungi korban berakibat pada matinya kemanusiaan. Ini mengingat dampak kekerasan seksual yang panjang,” kata Theresia pada diskusi daring, Selasa (29/6/2021).
Korban kekerasan seksual umumnya mengalami dampak psikologis, misalnya gangguan jiwa, seperti depresi dan panik, pikiran bunuh diri, perilaku menyakiti diri sendiri, penyalahgunaan alkohol dan narkoba untuk lari dari fakta, serta disosiasi.
Korban juga mengalami dampak fisik, antara lain penyakit menular seksual, kehamilan yang tidak diinginkan, infeksi, hingga kematian. Selain itu, korban rentan dikucilkan dan diberi stigma negatif dari masyarakat.
Menurut National Violence Against Women Prevention Research Center Medical University Of South Carolina di 2020, hampir sepertiga korban pemerkosaan mengalami gangguan stres pascatrauma (PTSD) selama hidup mereka. Sekitar 1 dari 10 korban masih mengalami PTSD hingga kini.
Komnas Perempuan mencatat ada 2.946 kasus kekerasan seksual pada 2020. Jumlah kasus yang sama pada 2019 adalah 4.794 kasus, sementara tahun 2018 ada 5.435 kasus. Kendati catatan kasus pada 2020 menurun, diperkirakan masih banyak kasus kekerasan seksual yang tidak dilaporkan.
Enggan melapor
Menurut Staf Pelayanan Hukum Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta, Tuani Sondang Marpaung, hukum di Indonesia masih fokus ke pemidanaan pelaku. Hukum belum berorientasi ke perlindungan korban. Itu sebabnya, sebagian korban enggan melapor.
Laporan kekerasan seksual pun umumnya menuntut ada bukti dan saksi. Hal ini menjadi tantangan karena tidak semua korban mampu mengumpulkan keduanya. Sebagian korban pun ada yang memendam kekerasan ini dan baru berani melaporkannya beberapa waktu kemudian.
Selain itu, tidak semua kekerasan seksual dapat diproses secara hukum. Definisi kekerasan seksual yang difasilitasi hukum saat ini masih terbatas. Padahal, bentuk-bentuk kekerasan seksual berkembang.
”Perlu ada hukum yang menjamin perlindungan hukum ke korban kekerasan seksual. Itu sebabnya, penting mendorong (pengesahan) RUU PKS,” kata Tuani.
Adapun RUU PKS mengakomodasi sembilan jenis kekerasan seksual, yaitu pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
Sebagai respons atas lemahnya hukum, sebagian korban akhirnya membuka kekerasan yang dialami di media sosial. Kasus itu umumnya teramplifikasi dan mendapat perhatian aparat penegak hukum. Di sisi lain, korban yang bersuara di media sosial rentan dikriminalisasi dengan UU ITE dan pencemaran nama baik.
”Orang yang bersuara di media sosial kemungkinan tidak percaya dengan sistem hukum saat ini. Saat melapor ke polisi, itu tidak serta-merta diterima karena harus ada alat bukti dan saksi,” kata Tuani.
Ruang aman
Menurut Theresia, yang bisa dilakukan saat ini ialah menciptakan ruang aman untuk menangani dan memulihkan korban. Dukungan kepada korban beragam, antara lain membuat kelompok pendukung dari teman, keluarga, dan orang terdekat; melaporkan semua kekerasan seksual; serta tidak memberi stigma kepada korban. ”Kita juga perlu mendorong DPR untuk segera mengesahkan RUU PKS,” katanya
Psikolog dari Yayasan Pulih, Fuye Ongko, mengatakan, reaksi umum korban yang mengalami pengalaman traumatis adalah flight, fight, atau freeze (lari, melawan, atau terdiam). Itu sebabnya, ada korban kekerasan seksual yang tidak dapat melawan pelaku.
”Kita bisa memberi dukungan psikologis awal untuk mereka. Kenali dan perhatikan dengan mengobservasi kondisi penyintas. Lalu, dengarkan mereka, simak ceritanya secara aktif, dan beri tanggapan yang tidak menghakimi. Setelahnya, bantu penyintas mencari informasi yang dibutuhkan dan hubungkan mereka dengan penyedia dukungan sosial,” kata Fuye.