Tsunami Informasi dan Matinya Deontologi Jurnalisme
Dengan tidak dipedulikannya deontologi jurnalisme, maka etika komunikasi pun diabaikan. Sehingga, ada tiga hal yang tidak dijamin, yaitu verifikasi, independensi dan akuntabilitas.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·5 menit baca
Sejak 24 Januari 2020 hingga 26 Juni 2021, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia mengumpulkan 1026 hoaks terkait Covid-19. Ribuan informasi bohong itu menyebar melalui jejaring media sosial dengan bermacam-macam ketegori, mulai dari konten palsu, konten salah, konten yang menyesatkan, hingga konten yang dimanipulasi. Tsunami hoaks ini akan terus-menerus menghantam selama masyarakat tidak peduli dengan deontologi jurnalisme.
Tanggal 4 Juni 2021 lalu beredar informasi di sebuah akun Facebook video yang mengklaim bahwa menerima donor darah dari orang yang sudah menerima vaksin Covid-19 berbahaya dan dapat mencemari darah orang yang belum divaksin. "Pendonoran Dari Orang Yang Sudah Divksin Bisa Mencemari Darah Orang Yang Belum Divksin. Mohon Sebarkan Video ini & Sampaikan Pesan Kepada Otoritas Kesehatan Setempat, Untuk Menolak Donor Darah Dari Orang Yang Sudah Div*ksin CV-19," demikian cuplikan narasi unggahan tersebut. Meskipun ditulis dengan berantakan, pesan anonim itu tetap gencar disebarkan.
Hasil periksa fakta anggota Komisariat MAFINDO Universitas Indonesia, Natalia Kristian memastikan bahwa informasi itu salah dan termasuk dalam kategori informasi yang menyesatkan. Menerima darah dari orang yang sudah divaksin Covid-19 tidak berbahaya. Penerima vaksin Covid-19 dapat memberikan donor darah setelah jeda waktu satu atau dua minggu setelah vaksinasi.
Jika informasi menyesatkan itu lolos dan terus-menerus dibagikan secara berantai melalui media sosial, bisa dibayangkan bagaimana nasib jutaan pasien di Indonesia yang membutuhkan transfusi darah. Pendonor darah khawatir menyumbangkan darah, sementara para pasien tak bisa lagi menunggu lama. Entah apa yang ada di benak produsen informasi ini sehingga ia tak peduli dengan dampak mengerikan dari unggahannya.
Tepat ketika tulisan ini dibuat, seseorang mengirimkan pesan di sebuah grup WhatsApp. Demikian cuplikannya:"Ini adalah berita yang 100% BENAR. Sangat penting bagi setiap orang. Mengapa akhir2 ini di China, jumlah orang yang terinfeksi virus telah menurun secara mendadak??. Selain memakai Mask/masker, rajin membersihkan tangan, mereka hanya berkumur dengan air garam 3 kali sehari. Setelah berkumur, 5 menit kemudian minum air hangat. Oleh karena virus ini hanya akan menyerang kerongkong, setelah itu menyerang paru-paru. Apabila dihancurkan oleh air asin, virus itu akan mati atau terbunuh di perut dan kemudian dihancurkan. Ini adalah satu-satunya cara untuk menangkis Covid19.
Meski tidak ada bukti sama sekali bahwa air garam dapat menangkal virus korona baru penyebab Covid-19, tapi dengan gelap mata orang seenaknya menyebarkan narasi itu. Penjelasan logis bahwa informasi tersebut menyesatkan sudah disampaikan lembaga cek fakta dan media arus utama, tapi syahwat fear of missing out (FOMO) terlampau merasuki sejumlah orang. Satu sama lain tak ingin kalah cepat dalam menyebarkan informasi yang bahkan belum dibaca tuntas, apalagi dipahami.
Catatan MAFINDO menunjukkan, pada 2020-2021, peredaran hoaks didominasi isu-isu Covid-19. "Tipikal informasi yang muncul dahulu akibat polarisasi politik. Tapi, sekarang yang muncul adalah kombinasi akibat polarisasi politik dengan masyarakat yang patuh protokol kesehatan dan mereka yang cenderung percaya dengan teori konspirasi Covid-19," kata Ketua Presidium MAFINDO Septiaji Eko Nugroho.
Parahnya keadaban warganet Indonesia juga tergambar jelas dalam survei Indeks Keadaban Digital atau Digital Civility Index (DCI) Microsoft yang dirilis Februari 2021 lalu. Indonesia terpuruk di peringkat ke-29 dari 32 negara yang disurvei karena maraknya hoaks, penipuan daring, ujaran kebencian, serta diskriminasi.
Fenomena maraknya hoaks di masyarakat, menurut dosen Filsafat Etika dan Politik Universitas Sanata Dharma serta Pascasarjana FIB Universitas Indonesia, Haryatmoko SJ, sangat terkait dengan berkembangnya jurnalisme warga di media sosial. Dalam jurnalisme warga, kendali ada pada pengguna. Akibatnya, orang tidak lagi peduli pada deontologi (kewajiban etis) jurnalisme.
Dengan tidak dipedulikannya deontologi jurnalisme, maka etika komunikasi pun diabaikan. Sehingga, ada tiga hal yang tidak dijamin, yaitu verifikasi, independensi dan akuntabilitas dari informasi atau berita.
Praktik ini kontras dengan apa yang dijalankan media arus utama. Di media arus utama, kendali informasi ada pada praktisi (wartawan) dan mereka diatur oleh deontologi jurnalisme.
Dengan adanya deontologi jurnalisme, maka media arus utama memiliki tolok ukur untuk selalu berusaha menjamin verifikasi, independensi, dan akuntabilitas. Inilah yang membedakan media arus utama dengan media sosial.
Seperti diilustrasikan dalam ilusi Muller-Lyer yang menggambarkan dua garis sama panjang yang terlihat berbeda jika ditambahkan sirip, maka demikian pula halnya seseorang dalam menangkap informasi. Apabila seseorang sudah punya keyakinan dan ideologi tertentu, maka semua informasi akan diseleksi dengan keyakinan dan hasrat sesuai ideologinya. Sehingga, yang tidak sesuai tak akan diterima, dan penjelasan objektif atau rasionalitas macam apapun akan ditolak.
Kecenderungan ini tumbuh subur pada era jurnalisme warga dengan media sosial sebagai panggungnya. Maka, hoaks mudah sekali berkembang dan penipuan gampang terjadi karena orang tahu apa yang diinginkan suatu kelompok atau audiens tertentu. Penipuan terjadi karena penipu tahu apa yang diharapkan oleh pendengarnya atau pembacanya.
"Dia masuk lewat itu, melalui logika pembacanya ingin apa. Mengapa ilusi Muller-Lyer ini bisa menipu dan orang tidak sempat berpikir? karena kecenderungan orang hanya melihat bahwa, tidak mau verifikasi. Sedangkan verifikasi itu mengandaikan berpikir mengapa," terang Haryatmoko.
Maka tidak heran, seorang profesor pun bisa terjerat hoaks karena ia malas melakukan verifikasi dan sudah memiliki ideologi tertentu. Sedangkan, untuk bisa sungguh-sungguh kritis, orang harus bisa berpikir mengapa, dan itu berarti dia harus mau keluar dari diri dan ideologinya.
Lalu, mengapa negara-negara maju tidak mengalami dampak gelombang hoaks separah Indonesia? Liarnya peredaran informasi palsu rupanya terkait dengan model pembelajaran di Indonesia.
Dalam teori Taksonomi Bloom, orang mulai kritis apabila bisa menganalisa, mengevaluasi, dan berkreasi. Namun, sistem pendidikan di Indonesia tekanannya masih pada level mengingat, mengetahui, dan menerapkan. Inilah yang menurut Muller-Lyer tadi dijelaskan, orang cenderung hanya melihat bahwa, tidak berpikir mengapa. Itu mengapa masyarakat kita masih banyak yang mudah dihasut.