Relief alat-alat musik pada Candi Borobudur mengindikasi candi itu pada 13 abad lalu menjadi pusat musik dunia. Seiring berjalannya waktu, alat musik itu tersebar ke sejumlah provinsi dan sedikitnya 40 negara.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ada lebih dari 200 alat musik yang tergambar di 40 panel relief Candi Borobudur, Jawa Tengah. Alat musik itu tidak hanya ada di Indonesia, tetapi juga belahan dunia lain, seperti China, India, dan Mesir. Alat-alat musik ini masih dapat dieksplorasi dan dikembangkan sehingga menghasilkan musik baru.
Hal itu mengemuka pada konferensi internasional Sound of Borobudur bertajuk ”Music Over Nations: Menggali Jejak Persaudaraan Lintas Bangsa melalui Musik”, Rabu (23/6/2021). Kegiatan ini digelar Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Yayasan Padma Sada Svargantara, dan Kompas.
Relief alat-alat musik pada candi itu mengindikasi bahwa Borobudur pada 13 abad lalu menjadi pusat musik dunia. Seiring berjalannya waktu, alat musik itu tersebar tidak hanya di Jawa, tetapi juga menyebar ke 34 provinsi dan sedikitnya 40 negara. Penyebaran terjadi melalui jalur perdagangan laut.
Sebagai contoh, alat musik garantung dari Indonesia mirip dengan marimba dari Kongo dan Tanzania, balafon dari Gabon, dan ranat ek dari Thailand. Tifa pun mirip dengan darbuka dari Mesir dan djembe kecil dari Afrika Barat. Ada pula alat musik keledik yang mirip dengan sho dari Jepang, sheng dari China, dan saenghwang dari Korea.
Untuk acara ritual
Margaret Kartomi, guru besar emerita di Sir Zelman Cowen School of Music and Performance, Monash University, Australia, mengatakan, alat musik di relief candi umumnya dimainkan untuk upacara, perayaan, atau hiburan. Ia memprediksi penggunaan alat-alat musik, salah satunya, untuk ritual pembersihan desa dari roh jahat.
”Instrumen musik di relief Borobudur, termasuk variannya di daerah-daerah lain, tidak hanya mengindikasikan adanya perdagangan. Itu juga menunjukkan instrumen musik sebagai obyek sakral dan penting bagi masyarakat,” kata Margaret secara daring.
Pendiri Padma Sada Svargantara, Purwa Caraka, mengatakan, penemuan relief di candi berusia 13 abad itu selama ini masih sekadar ilmu pengetahuan. Penemuan ini masih dapat dieksplorasi lebih lanjut, dipertahankan, dan dikembangkan.
Salah satu caranya adalah kolaborasi dengan musisi negara-negara lain yang memiliki alat musik yang mirip. Cara lain, memadukan alat musik tradisional tersebut dengan alat musik modern.
Instrumen musik di relief Borobudur, termasuk variannya di daerah-daerah lain, tidak hanya mengindikasikan adanya perdagangan, tetapi juga menunjukkan instrumen musik sebagai obyek sakral.
”Karena tidak ada catatan khusus soal model musik, notasi, atau bunyi, reinterpretasinya tidak hanya bersifat musikal masa lalu. Harus ada visi ke depan yang lebih bebas, taktis, dan strategis. Konsepnya tidak sebatas musik ritual, tetapi musik yang berkembang di masyarakat lintas zaman, lintas generasi, dan dengan segala kemungkinannya,” kata Purwa.
Purwa menambahkan, berbagai upaya mempertahankan dan mengeksplorasi alat musik tradisional telah dilakukan. Berbagai alat musik itu sudah direproduksi, diproduksi, direka ulang, hingga dicari ke pelosok negeri.
Menurut Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, musik tersebut dapat diangkat menjadi cerita dan diolah dalam bentuk tulisan, video, hingga konten digital untuk media sosial. Ini agar diskusi publik muncul bahwa Borobudur pernah menjadi simpul musik dunia.
Menurut Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno, relief tersebut menunjukkan ragam produk kebudayaan di masa lampau. Indikasi toleransi, penghargaan keberagaman, dan persahabatan antarbangsa pun tampak. ”Ini saat tepat untuk menggali sumber pengetahuan dari Candi Borobudur yang menggaungkan nilai-nilai universal di relief,” ucap Sandiaga.
Diplomasi budaya
Menurut Duta Besar Keliling untuk Wilayah Pasifik Tantowi Yahya, musik merupakan media diplomasi budaya. Diplomasi budaya pernah dilakukan melalui konser musik pada tahun 2018, 2019, dan 2020. Pada konser tahun 2018, lagu-lagu Indonesia timur dikombinasikan dengan lagu-lagu Maori.
”Musik itu bahasa universal yang mengatasi hambatan bahasa dan perbedaan budaya. Musik juga mempromosikan kerja sama, pemahaman, dan sikap saling menghormati,” ucap Tantowi.
Musisi dan pendiri Twilite Orchestra, Addie MS, mengatakan, alat musik tradisional pada relief Borobudur dapat dikembangkan menjadi kegiatan inklusif yang melibatkan semua bangsa. Kolaborasi ini bisa memanfaatkan teknologi.