Pandemi Covid-19 tidak hanya memberi jeda aktivitas manusia, tetapi juga mendorong penulis untuk berefleksi dan memikirkan kehidupan lebih jauh, kemudian menuliskannya di masa depan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 dan pembatasan sosial memberi banyak waktu bagi penulis untuk merefleksikan diri dan kehidupan. Pandangan mereka kemudian dijadikan bahan bakar untuk berkarya selanjutnya.
Penulis asal Jepang, Sayaka Murata, Rabu (23/6/2021) malam, mengatakan, hidup jauh dari interaksi sosial langsung selama pandemi Covid-19 telah membongkar kemanusiaannya. Dialog yang biasa ia lakukan bersama teman-teman kini diganti dengan percakapan satu arah dari radio, atau percakapan di media sosial. Hal itu mengikis dirinya dan turut mengubah cara pandangnya.
”Saya mulai berpikir bahwa jangan-jangan selama ini saya hanya menyerap kata-kata dari orang-orang yang saya kagumi dan teman-teman. Jika saya menyerap sesuatu yang berbeda, saya menjadi sesuatu yang berbeda pula. Saya jadi berpikir, jangan-jangan manusia itu sebenarnya hampa,” kata Sayaka pada diskusi daring Makassar International Writers Festivals (MIWF).
Jika saya menyerap sesuatu yang berbeda, saya menjadi sesuatu yang berbeda pula. Saya jadi berpikir, jangan-jangan manusia itu sebenarnya hampa.
Pemikiran Sayaka dinilai seperti cermin dari buku yang ia tulis sebelum pandemi, yakni Convenience Store Woman. Di buku itu ada tokoh perempuan yang hampa dan tidak punya kehendak. Adapun buku itu menerima anugerah Akutagawa Prize pada 2016.
Sayaka menuturkan, pandemi telah mengubah dirinya dan sudut pandangnya. Ia berencana menuliskan pengalaman itu di masa depan. ”Saya tidak berencana menuliskannya begitu saja sebagai novel. Saya rasa suatu saat pengalaman itu akan mengendap di diri saya dan akan muncul lagi sebagai karya baru yang bisa membuat saya terkejut. Sampai hari ini pun saya tetap menulis,” ujarnya.
Pemerhati lingkungan dan pendiri The Body Shop Indonesia, Suzy Hutomo, juga menjadikan pandemi sebagai waktu untuk berefleksi. Ia yang tinggal di Bali selama bertahun-tahun kini melihat perubahan signifikan pada Pulau Dewata itu, dari yang ramai dikunjungi wisatawan ke kondisi sekarang yang sepi.
Kondisi itu memberi pukulan bagi masyarakat Bali yang perekonomiannya bertumpu ke sektor pariwisata. Sebagian masyarakat, menurut Suzy, kembali melaut dan bercocok tanam selama pandemi. Di sisi lain, Bali yang sepi dinilai memberi waktu bagi alam untuk memulihkan diri.
Pengalaman dan potret Bali di masa pandemi akan didokumentasikan dalam buku Postcard from An Empty Paradise. Buku itu dikerjakan bersama seorang fotografer. Hasil dokumentasi juga akan disediakan dalam sebuah laman.
”Ada dua pasang mata yang membuat buku ini, yakni saya sebagai environmentalist dan fotografer yang menemukan bentuk environmentalism baru sembari kami berjalan-jalan dan berpikir tentang dokumentasi. Kami berjalan bersama dengan sudut pandang yang berbeda,” kata Suzy.
Pada kesempatan yang sama, aktor dan produser film Semesta, Nicholas Saputra, mengatakan, filmnya tayang di bioskop sebulan sebelum pandemi dan kini tersedia di Netflix. Film itu menjadi sarana belajar dan becermin cara menghadapi pandemi, yakni dengan kembali menjaga lingkungan hidup.
”Anthropause”
Direktur MIWF Lily Yulianti Farid mengatakan, tema MIWF tahun ini adalah ”Anthropause” sebagai refleksi dari pandemi. Kata ini masuk ke kamus Oxford pada akhir 2020 yang merujuk pada fenomena pemulihan alam karena terhentinya aktivitas manusia selama pandemi.
”Pandemi membuka mata kita sehingga ketidakadilan dan kesenjangan yang dulunya samar dan sayup terdengar menjadi semakin jelas. Narasi pandemi yang memenuhi kesadaran kita adalah narasi kelas menengah,” kata Lily.