Mengejar Pendidikan Lebih Tinggi, Berjuang Meraih Pengakuan
Pekerja rumah tangga hingga kini belum mendapat pengakuan sebagai pekerja. Akibatnya, mereka menjalani situasi kerja dan upah tidak layak. Langkah Pemerintah dan DPR untuk membahas dan mengesahkan RUU PPRT dinantikan.
Sekitar lima belas tahun yang lalu, ketika lulus sekolah menengah pertama, Nur Khasanah (30) harus melepaskan semua impiannya untuk meraih pendidikan tinggi. Di usia yang masih anak-anak, dia telah menjadi pekerja anak, yakni sebagai pekerja rumah tangga. Dia meninggalkan Jepara, dan bekerja di rumah majikannya di Kota Semarang, Jawa Tengah.
Beruntung ketika dia mulai bekerja, sang majikan mengizinkannya untuk melanjutkan sekolah melalui Kejar Paket C (setara SMA). Namun, perjuangannya untuk meraih ijazah setara SMA ternyata tidak mudah. Dia harus berganti tiga kali majikan, dengan gaji sekitar Rp 300.000 per bulan, sebelum akhirnya bisa lulus Kejar Paket C.
Tekad Nur untuk meraih pendidikan lebih tinggi ternyata tidak berhenti sampai di situ. Selepas lulus Kejar Paket C, ia malah tertantang melanjutkan kuliah, saat dia mulai bergabung dengan Organisasi Serikat Pekerja Rumah (SPRT) di Semarang.
Bermodalkan gaji tiap bulan, sebesar Rp 700.000, Nur pun melanjutkan kuliah di STIE Dharmasaputra Semarang mengambil Jurusan Akuntansi. Ia berkeyakinan bahwa pendidikan akan mengubah hidupnya.
”Saya kuliah pun penuh perjuangan. Karena bagaimanapun kondisi PRT di tempat kerja itu masih sangat tidak layak. Tapi, saya saya lakoni itu semua. Dari pagi hingga siang bekerja dan malam hari harus kuliah. Saya tidak meminta uang kepada orangtua atau majikan,” ujar Nur, yang sempat memberikan les pada anak-anak demi mendapat tambahan biaya kuliahnya.
Di tengah pekerjaannya sebagai PRT, Nur pun berusaha mengatur waktunya antara bekerja dan kuliah, serta berorganisasi. Dari SPRT-lah Nur banyak belajar mengenai hak-hak seorang PRT. Sekitar empat tahun, Nur akhirnya bisa menyelesaikan kuliahnya dan meraih gelar sarjana ekonomi. ”Waktu kuliah saya dipecat oleh majikan dua kali. Saya sempat numpang di rumah teman,” ujar Nur, yang setelah lulus kuliah menjadi relawan Lembaga Bantuan Hukum APIK Semarang. Ia juga kini menjadi Ketua SPRT Semarang.
Baca juga: Wujudkan Pengakuan terhadap PRT
Bagi Nur, pendidikan sangat penting demi meraih masa depan yang lebih baik. Apalagi, sampai sekarang orang masih memandang rendah PRT. Bahkan, ketika dia pun kuliah orang seakan tidak percaya.
”Masak PRT bisa kuliah? Gajinya berapa? Mau kerja atau sekolah? Nah, dari pengalaman-pengalaman itulah saya termotivasi untuk kuliah. Bahwa bekerja menjadi PRT bisa sekolah tinggi entah bagaimanapun caranya. Alhamdulillah saya lulus, orangtua juga bangga ketika saya undang menghadiri wisuda,” tutur Nur.
Perjuangan meraih pendidikan juga dilalui Jumiyem (46), Bendahara SPRT Tunas Muda DI Yogyakarta. Seperti Nur, Jum juga menjadi PRT sejak usia 15 tahun. Saat menjadi PRT, Jumiyen juga bertekad melanjutkan pendidikannya, pada tahun 2006 dia memutuskan untuk kuliah di Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram.
Gelar sarjana hukum akhirnya diraihnya setelah empat tahun berkuliah. ”Saya lulus pada Mei 2020. Selain saya, ada juga empat teman PRT yang kuliah, ada yang ambil jurusan akuntasi dan pertanian. Teman-teman tetap aktif di Serikat PRT meski punya kegiatan di luar PRT,” ujarnya.
Saya kuliah pun penuh perjuangan. Karena bagaimanapun kondisi PRT di tempat kerja itu masih sangat tidak layak. Tapi, saya saya lakoni itu semua. Dari pagi hingga siang bekerja dan malam hari harus kuliah. Saya tidak meminta uang kepada orangtua atau majikan.
Jumiyem menegaskan, kendati memiliki gelar sarjana, dirinya tidak meninggalkan teman-teman PRT. Hingga kini dia dan teman-temannya yang telah sarjana tetap menjadi pengurus SPRT. ”Kami bisa seperti ini karena dari organisasi PRT. Dari dulu tidak ada bayangan untuk bisa kuliah, tetapi karena banyak bertemu teman-teman PRT dan jaringan PRT, itu membuat kami semakin semangat untuk bisa sekolah,” papar Jumiyem.
Menyadari pendidikan sangat penting, SPRT Tunas Mulia menyelenggarakan Sekolah PRT agar bisa meningkatkan kemampuan para PRT. Selain mengajarkan PRT berpikir kritis, di sekolah PRT, Jumiyem dan kawan-kawan juga mengajarkan anggota PRT bagaimana menggunakan komputer termasuk cara menulis.
Semangat belajar juga ditunjukkan Wina (40), anggota SPRT Sapulidi, yang mengasah kemampuannya berbahasa Inggris-nya agar bisa bekerja maksimal dengan majikan dari luar negeri.
Baca juga: Pengesahan RUU Perlindungan PRT Dinanti
Nur Khasanah, Jumiyem, dan Wina hanyalah potret kecil dari PRT di Tanah Air yang terus berjuang untuk mengubah hidupnya dengan meraih pendidikan yang lebih tinggi. Mereka membuktikan bahwa menjadi seorang PRT bukan berarti masa depannya berhenti.
Perjuangan mereka untuk belajar hingga ke perguruan tinggi yang penuh lika-liku tentu saja menularkan semangat bagi para PRT lain di Tanah Air. Di tengah masyarakat yang masih memandang status PRT sebagai kelompok masyarakat kelas bawah, mereka tetap berjuang menghapus berbagai stigma dan pandangan stereotipe pada PRT.
Pengakuan sebagai pekerja
Para PRT masih harus berjuang untuk mendapatkan pengakuan atas status mereka sebagai pekerja. Hingga kini, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) belum juga disahkan Dewan Perwakilan Rakyat. Padahal, sudah 17 tahun RUU tersebut ada di tangan DPR.
RUU PPRT memang masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Namun, hingga kini proses legislasinya masih melalui sejumlah tahapan. Kepastian pembahasannya pun masih belum jelas.
Bagi Koordinator Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) Lita Anggraini, 17 tahun RUU PPRT di DPR sesungguhnya menggambarkan betapa minimnya perhatian negara terhadap PRT di Indonesia yang jumlahnya sekitar 4,2 juta orang.
”Ini menjadi tanda hilangnya kemanusiaan penyelenggara negara terhadap PRT yang selalu dijadikan tumbal pembangunan. Betapa relasi kuasa para pejabat penyelenggara negara di DPR dan pemerintahan demikian kuatnya. Nasib 4,2 juta PRT terus menerus digantung di DPR,” ujar Lita.
Amanat UUD 1945
Karena itulah, bertepatan dengan Peringatan Hari Pekerja Rumah Tangga Internasional yang jatuh pada tanggal 16 Juni 2021 lalu, Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meminta kepada DPR untuk menjadikan momentum Peringatan Hari PRT Internasional untuk segera membahas dan mengesahkan RUU PPRT.
Mengapa kehadiran UU PPRT dinilai penting? UU PPRT merupakan bagian dari upaya memberikan perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional dan hak asasi manusia kepada perempuan PRT sebagaimana diamanatkan pada sila kedua dan kelima Pancasila. Perlindungan perempuan PRT juga diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28I (4).
Baca juga: Payung Hukum untuk Lindungi PRT Terus Dinantikan
Perlindungan PRT juga selaras pula dengan amanat Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang No 7 tahun 1984, tepatnya pada Pasal 2 (b).
Hari PRT Internasional tanggal 16 Juni, yang bertepatan dengan ditetapkan nya Konvensi International Labour Organization (ILO) 189 dan Rekomendasi 201 tentang Pekerjaan yang Layak bagi PRT tahun 2011 membuktikan bahwa perlindungan PRT telah menjadi isu global.
Momen tersebut menjadi peristiwa bersejarah dan bentuk kemenangan atas perjuangan diakuinya PRT sebagai pekerja yang berhak atas perlindungan tenaga kerja yang setara dengan semua pekerja lainnya. Konvensi ILO 189 memberikan perlindungan khusus bagi PRT dan menetapkan hak-hak dan prinsip-prinsip dasar perlindungan, seperti jam kerja, hak libur, dan hak-hak normatif PRT sebagai pekerja.
Ini menjadi tanda hilangnya kemanusiaan penyelenggara negara terhadap PRT yang selalu dijadikan tumbal pembangunan. Betapa relasi kuasa para pejabat penyelenggara negara di DPR dan pemerintahan demikian kuatnya. Nasib 4,2 juta PRT terus-menerus digantung di DPR.
”Konvensi ILO 189 juga mengharuskan negara mengambil langkah untuk mewujudkan pekerjaan yang layak bagi PRT. Sayangnya, Pemerintah Indonesia belum meratifikasi konvensi tersebut,” ujar Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani dalam keterangan pers, Rabu (16/6/2021).
Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia didesak segera meratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Pekerjaan yang Layak bagi PRT sebagai bentuk pengakuan dan perlindungan terhadap PRT. Sebab, dengan meratifikasi Konvensi ILO 189, Pemerintah Indonesia akan memiliki posisi tawar yang lebih kuat dalam perlindungan PRT Indonesia di luar negeri.
Untuk mewujudkan perlindungan bagi PRT, harapan terus ditumpukan pada DPR agar segera membahas dan mengesahkan RUU PPRT menjadi UU. ”Pengakuan dan Perlindungan PRT melalui undang-undang akan memberikan kepastian hukum, perlindungan, dan pemenuhan hak konstitusional kaum perempuan khususnya PRT dan pemberi kerja,” ujar Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini, bersama Satyawanti Mashudi dan Tiasri Wiandani.
Kendati memberikan kontribusi penting pada berfungsinya rumah tangga dan pasar tenaga kerja di Indonesia, hingga kini PRT dikecualikan dari perlindungan sosial dan ketenagakerjaan dan jauh dari standar kerja layak secara serius.
Padahal, kerja layak menjadi bagian dari komitmen Indonesia terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) tepatnya Tujuan 8, yakni mendorong pertumbuhan ekonomi inklusif dan berkelanjutan, kesempatan kerja produktif serta kerja layak untuk semua.
”Sayangnya, kerja layak ini masih belum diiringi dengan upaya memastikan keselamatan PRT terindikasi dari berbagai kasus kekerasan yang terus dialami mereka,” tambah Tiasri Wiandani.
Catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2020 merekam setidaknya ada 34 kasus terkait PRT sepanjang 2019. Begitu juga data dari JALA PRT yang menunjukkan, selama 2012-2019 terdapat lebih dari 3.219 kasus yang dialami PRT baik kekerasan psikis (isolasi dan penyekapan), kekerasan fisik, hingga kekerasan ekonomi (penahanan dokumen pribadi, gaji tidak dibayar, gaji karena sakit, tidak dibayar THR), dan perdagangan orang.
Pada masa pandemi Covid-19, kerentanan PRT pun kian bertambah dengan ancaman kehilangan pekerjaan tanpa gaji dan pesangon, eksklusi dari program jaring pengaman sosial, dan kerentanan terinfeksi virus. Maka, kini para PRT terus menaruh harapan pada para wakil rakyat.