Refleksi Makassar International Writers Festival: Pandemi Buka Ketidakadilan dan Kesenjangan
Makassar International Writers Festival digelar virtual karena pandemi Covid-19. Penulis dalam dan luar negeri akan meramaikan festival tahunan ini.
Oleh
Sekar Gandhawangi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Festival sastra tahunan, Makassar International Writers Festival, digelar secara virtual pada 23-26 Juni 2021. Festival ini diharapkan menjadi ruang refleksi para penulis dan peminat sastra tentang pandemi dan isu strategis lain.
Tema Makassar International Writers Festival (MIWF) tahun ini adalah Anthropause yang merupakan refleksi atas pandemi Covid-19. Adapun kata anthropause merupakan kata baru di kamus Oxford pada akhir tahun 2020. Secara harfiah, kata itu berarti jeda manusia.
Anthropause menjelaskan fenomena pemulihan alam karena kegiatan manusia berhenti sejenak selama pandemi Covid-19. Menurut Direktur MIWF Lily Yulianti Farid, pandemi menjadi energi untuk berkarya.
Hal ini tampak dari tulisan para pekerja migran Indonesia di negara Asia yang menulis pengalaman mereka selama pandemi, terutama saat tinggal dan bekerja sebagai asisten rumah tangga. Para pengungsi dan pencari suaka di Indonesia pun mengisi hari dengan menulis. Hal serupa dilakukan komunitas tuli.
Pandemi membuka mata kita sehingga ketidakadilan dan kesenjangan yang dulu samar dan sayup terdengar menjadi semakin jelas. (Lily Yulianti Farid)
”Pandemi membuka mata kita sehingga ketidakadilan dan kesenjangan yang dulu samar dan sayup terdengar menjadi semakin jelas. Narasi pandemi yang memenuhi kesadaran kita adalah narasi kelas menengah,” kata Lily.
Menurut dia, cerita dari kelompok masyarakat marjinal atau dalam kondisi rentan perlu mendapat tempat yang lebih luas. Salah satu isu yang disorot oleh Lily ialah kesenjangan Indonesia timur dengan barat di berbagai aspek. Itu sebabnya MIWF memberi penghargaan khusus untuk penulis-penulis terpilih dari Indonesia timur.
Para penulis terpilih dinilai memiliki gagasan kuat, pemikiran kritis, dan memiliki kemampuan menulis yang memadai. Sedikitnya ada 140 karya tulisan yang diterima tim kurator MIWF pada 2020 dan 2021. Kurator kemudian memilih tujuh penulis.
Ketujuh penulis itu adalah Afryanto Keyn, Iin Farliani, Jemmy Piran, Septiana Andriani, Siti Hajar, Chaery Ma, dan Vannie Saffran. Mereka dari Flores, Mataram, Flores Timur, Samarinda, Kupang, dan Tolitoli.
Penulis dan kurator MIWF 2021, Intan Paramadita, mengatakan, para penulis terpilih umumnya memiliki karya yang menyisipkan imajinasi, mitos, legenda, dan bahasa lokal. Menurut dia, beberapa hal tersebut bisa terus digali dan diberi perspektif baru untuk ditulis.
”Saya harap MIWF ke depan menjadi ruang untuk memperluas referensi bacaan agar karya yang dihasilkan lebih kritis. Karya-karya juga didorong untuk mengangkat realitas lokal secara kritis terhadap konstruksi agama, sosial, dan jender, tetapi pada saat bersamaan juga menemukan estetika yang segar dan inovatif,” ucap Intan.
Sejumlah orang dari dalam dan luar negeri akan ikut memeriahkan diskusi daring MIWF 2021. Beberapa pembicara itu adalah Sayaka Murata (Jepang), Marina Mahathir (Malaysia), Niall Griffiths (Inggris), Dewi Lestari, Gody Usnaat, dan sebagainya.
Salah satu pembicara, Suzy Hutomo, pemerhati lingkungan dan pendiri The Body Shop Indonesia, mengatakan, ia sedang menyusun buku Postcard from An Empty Paradise. Buku itu dibuat bersama seorang fotografer untuk memotret kondisi Bali selama pandemi Covid-19.
Sementara itu, penulis Marina Mahathir mengatakan, ia juga sedang menulis buku memoar tentang dirinya, termasuk menceritakan pengalaman menjadi putri Perdana Menteri ke-4 Malaysia Mahathir Mohamad. ”Pandemi memberi saya banyak waktu untuk melakukan banyak hal, seperti mengikuti kursus daring dan menulis,” katanya.