Pers mempunyai tugas baru pada era pandemi. Selain menyajikan informasi yang faktual dan edukatif, pers kini juga bertugas menjernihkan hoaks yang beredar.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Banjir informasi atau infodemi, khususnya pada masa pandemi Covid-19, memberi tanggung jawab ganda untuk pers, yaitu untuk melakukan tugas jurnalistik dan verifikasi hoaks yang beredar. Pers dinilai perlu bersiasat menyampaikan informasi di tengah gempuran hoaks.
Pengamat media Ashadi Siregar pada Selasa (22/6/2021) mengatakan, media arus utama saat ini menghadapi tantangan dari dua sumber. Pertama, kemajuan teknologi informasi. Kedua, perubahan perilaku masyarakat menggunakan media. Hal ini tampak dari tingginya pengguna media sosial, yakni 170 juta pengguna aktif per Januari 2021, menurut laporan We Are Social.
”Beban media arus utama bertambah dengan berbiaknya sampah informasi atau hoaks yang meramaikan jagat digital. ’Penyakit’ pada media sosial adalah kuatnya dorongan untuk menyampaikan informasi sensasional karena potensial menjadi viral,” kata Ashadi pada Seri Webinar Penghargaan Cendekiawan Berdedikasi 2021 dengan tema ”Indonesia Bangkit dari Pandemi” dalam rangka HUT Ke-56 Kompas.
Media arus utama tidak lagi meliput dan menginvestigasi fakta saja. Media kini juga membersihkan ruang publik dari hoaks secara terus-menerus. Ini karena media bertugas memverifikasi duduk perkara suatu masalah untuk publik.
Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) mencatat, ada 247 hoaks tentang Covid-19 pada Januari 2021 hingga 22 Juni 2021. Dari jumlah itu, 103 hoaks di antaranya berkaitan dengan vaksin Covid-19. Hoaks tersebut kerap beredar di media sosial.
Menurut Ashadi, infodemi bisa disikapi dengan melihat siapa pelaku yang mengolah informasi. Media massa sebagai institusi terikat untuk menyajikan informasi sesuai dengan kaidah, standar metode kerja, dan etika jurnalisme. Hal ini bertolak belakang dengan informasi yang disajikan pengguna media sosial.
”Masalah terbesar dari media sosial adalah ketiadaan metode dan etika terstandar serta penyelenggaraannya personal. Pembuat konten tidak terikat dengan kaidah obyektif dan didorong kuatnya kecenderungan subyektif untuk aktualisasi diri. Selain itu, pengguna media lebih suka aspek psikisnya terpenuhi (dari berita sensasional) daripada rasionalitasnya terasah (dari informasi faktual),” ucap Ashadi.
Saat dihubungi secara terpisah, Wakil Ketua Dewan Pers Hendry Ch Bangun mengatakan, selama ini pers telah memenuhi tugasnya untuk menyampaikan informasi dan mengedukasi publik. Namun, pers kini punya tugas baru untuk menjernihkan banyaknya informasi yang beredar, termasuk hoaks.
Hal itu karena media sosial kini dijadikan acuan untuk mencari informasi. Menurut survei Dewan Pers pada 2019, sebanyak 70 persen masyarakat Indonesia mengandalkan media sosial untuk memperoleh informasi.
”Di era infodemi ini, kolaborasi antarmedia adalah keniscayaan. Media-media berbagi tugas, misalnya, untuk konfirmasi ke beberapa pihak sehingga ini tidak menjadi beban bersama,” kata Hendry.
Sementara itu, Pemimpin Redaksi Kompas Sutta Dharmasaputra mengatakan, Kompas akanmengembangkan jurnalisme berkedalaman dipadukan dengan jurnalisme data. ”Dengan banjir informasi, penyampaian konten harus tepat dan ke audiens yang tepat pula. Kami bekerja sama dengan tim teknologi, memadukan Kompas dengan digital menjadi kompas.id,” ujarnya.
Topik bergeser
Menurut Ketua Presidium Mafindo Septiaji Eko Nugroho, topik hoaks beberapa tahun terakhir bergeser. Jika pada 2019 hoaks didominasi isu politik, pada 2020-2021 hoaks didominasi isu Covid-19.
Mafindo mencatat ada 1.221 konten hoaks dan 625 konten di antaranya merupakan isu politik. Pada 2020 ada 2.298 konten hoaks. Dari angka itu, 37 persen di antaranya adalah isu Covid-19 dan 30 persen lainnya politik. Hoaks Covid-19 yang beredar, antara lain, seputar teori konspirasi bahwa Covid-19 tidak nyata, vaksin membahayakan, dan rumah sakit ”mengcovidkan” pasien.
Hoaks tersebut berdampak ke perilaku masyarakat dalam menyikapi Covid-19. Ini juga berdampak pada kepercayaan publik kepada pemerintah hingga tenaga kesehatan. Hasil riset Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada Februari-Maret 2021 menyatakan, 49 persen warga Indonesia mau divaksin, sedangkan 29 persen menolak.
”Narasi ini sangat berbahaya karena masih dipercaya sebagian masyarakat. Klarifikasi hoaks sudah dilakukan banyak pihak, baik pemerintah, media, Mafindo, maupun lainnya. Namun, transisi hoaks dari format digital menjadi pembicaraan mulut ke mulut sangat cepat,” kata Septiaji.
Ia mendorong agar materi edukasi soal hoaks diberi di ruang publik, seperti pasar dan masjid. Materi itu tidak hanya berisi imbauan tolak hoaks, tetapi memaparkan substansi hoaks beserta verifikasinya. Tokoh masyarakat diharapkan terlibat menyampaikan informasi yang benar.