580 Ribu Pendidik Belum Akses Bantuan Subsidi Upah
Menjelang batas akhir aktivasi bantuan subsidi upah pada 30 Juni 2021, masih ada sekitar 580.000 orang yang belum mengaktivasi rekening.
Oleh
ESTER LINCE MAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pada masa pandemi Covid-19, pemerintah memberikan bantuan subsidi upah atau BSU kepada pendidik dan tenaga kependidikan bukan aparatur sipil negara dengan gaji di bawah Rp 5 juta. Namun, hingga batas akhir aktivasi rekening pada Juni 2021 ini, masih banyak pendidik dan tenaga kependidikan yang belum mengaktifkan. Diduga, hal ini terjadi karena informasi terkait bantuan tersebut tidak sampai kepada mereka karena terkendala secara geografis.
Kepala Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Abdul Kahar di acara Bincang Interaktif Pendidikan, akhir pekan lalu, mengatakan, batas akhir aktivasi BSU untuk pendidik dan tenaga kependidikan (PTK) adalah 30 Juni 2021 dengan tempat pengaktifan di beberapa bank pemerintah yang terdekat dengan tempat tinggal penerima. Namun, hingga di akhir Mei 2021, masih ada sekitar 580.000 PTK yang belum mengaktivasi rekening mereka.
“Kalau dari data yang banyak itu, PTK dari pendidikan anak usia dini dan yang di pendidikan non-formal seperti Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat atau Sanggar Kegiatan Belajar. Lokasi layanan pendidikan ini memang terpencar hingga pelosok-pelosok,” kata Kahar.
Sesuai keputusan pemerintah, BSU diberikan kepada hampir 2 juta PTK. Nominal bantuan kepada masing-masing penerima sebesar Rp 1,8 juta untuk tiga bulan.
Bantuan ini diberikan sejak tahun 2020 guna membantu PTK yang membutuhkan dukungan finansial untuk menopang kebutuhan hidup sehari-hari dan juga pekerjaan.
Sesuai ketentuan, aktivasi tetap harus 30 Juni (2021). Jika dari kajian kami lihat masih banyak yang belum (mengaktivasi) akibat kendala geografis, nanti bisa ditinjau ulang. Yang penting PTK aktivasi saja dulu di bank terdekat.(Abdul Kahar)
“Sesuai ketentuan, aktivasi tetap harus 30 Juni (2021). Jika dari kajian kami lihat masih banyak yang belum (mengaktivasi) akibat kendala geografis, nanti bisa ditinjau ulang. Yang penting PTK aktivasi saja dulu di bank terdekat,” ujar Kahar.
Menurut Kahar, tahun 2021 ini belum ada keputusan pemerintah untuk memberikan BSU kembali. Penerima BSU sebelumnya sudah diklarifikasi belum menerima bantuan BPJS maupun kartu Prakerja.
Dosen Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Persatuan Guru Republik Indonesia (STKIP PGRI) Pacitan, Jawa Timur, Vit Ardhyantama mengatakan, sejak Desember 2020 ia sudah bisa mencairkan BSU. “Prosesnya mudah saja. Saya bersyukur di kondisi pandemi bisa mendapatkan BSU untuk meringankan kebutuhan hidup dan juga mengajar,” kata Vit.
Tutor Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Ekoturin, Karangase, Bali, I Nengah Merekawati mengatakan, dirinya sudah 10 tahun menjadi tutor Paket B dan C (setara SMP dan SMA). Menurut dia, penerima BSU memang harus aktif mengecek akun masing-masing karena seringkali sistem yang ada terkendala jaringan internet.
Di PKBM tempat Nengah Mengajar, dari 15 tutor yang ada, hanya tiga tutor yang mendapatkan BSU. Para tutor dibayar per jam dari dana Bantuan Operasional Pendidikan. “Cairnya gaji per enam bulan sekali. Ketika dapat BSU (saya) merasa bersyukur. Jadi, di masa pandemi kebutuhan hidup tetap bisa dicukupi”, ujar Nengah.
Kurang optimal
Kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan masih menjadi perjuangan para guru dan organisasi guru. Para guru mengabdikan diri di sekolah formal hingga pendidikan non-formal dengan status sebagai pegawai honorer atau tidak tetap dalam jangka waktu lama, dan mendapat gaji di bawah upah minimum regional (UMR). Padahal, kehadiran mereka diandalkan untuk melayani anak-anak usia sekolah maupun putus sekolah agar terpenuhi hak-hak belajarnya.
Upaya pemerintah untuk memastikan kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan memang ada. Namun, hal tersebut dirasa belum optimal.
Para guru honorer yang terdampak pukulan ekonomi akibat Covid-19 akhirnya mendapatkan BSU di tahun 2020. Selain itu, pengangkatan guru honor di sekolah menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) juga direspons dengan munculnya status pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK), yang hingga saat ini proses rekrutmennya belum juga tuntas.
Secara terpisah, pengangkatan guru honorer menjadi PPPK, Rabu pekan lalu, dibahas Komisi X DPR RI. Panitia Kerja Pengangkatan Guru Tenaga Honorer Menjadi ASN menggelar rapat dengar pendapat bersama sejumlah organisasi guru.
Ketua Panja Komisi X DPR Agustina Wilujeng mengatakan, guru dan tenaga kependidikan (GTK) di Indonesia menghadapi banyak masalah, mulai dari keterbatasan jumlah GTK, tidak meratanya kualitas GTK, kurangnya kualifikasi dan kompetensi GTK, hingga belum jelasnya status kepegawaian GTK.
Terkait program pengangkatan 1 juta GTK honorer atau tidak tetap menjadi PPPK pada 2021 oleh pemerintah, menurut Agustina, hal tersebut harus dikawal. Sebab, pengangkatan GTK honorer menjadi PPPK sebelumnya juga belum tuntas.
Dari 1 juta kuota, baru 523.120 kuota yang terisi. Sebanyak 27 daerah tidak mengajukan formasi PPPK dan ada tujuh daerah, antara lain Papua dan Papua Barat, serta 165 daerah mengusulkan kuota kurang dari 50 persen. Penyebabnya selain tentang sosialisasi, juga tidak ada pemberitahuan tertulis dari pemerintah pusat ke daerah terkait skema penganggaran gaji dan tunjangan ASN yang diangkut lewat program 1 juta guru PPPK.
“Pemda merasa gaji dan tunjangan guru PPPK jadi beban APBD karena tidak ada tambahan DAU (Dana Alokasi Khusus). Sementara, pemerintah pusat mengatakan sudah masuk dalam DAU,” ujar Agustina.
Selain itu, pengangkatan guru belum ada untuk guru agama, olahraga, kesenian, bahasa daerah, dan sekolah inklusi. Formasi tenaga kependidikan juga tidak ada.
“Ada juga yang belum tuntas soal afirmasi untuk guru honorer yang usia 35 tahun ke atas hingga penghargaan masa kerja,” kata Agustina.