Pelestarian Sastra Jawa Kian Penting di Era Globalisasi
Kesusastraan Jawa terimpit globalisasi. Ruang pelestarian sastra Jawa pun diperlukan, baik dengan menulis, diskusi, maupun digitalisasi konten.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Pelestarian sastra Jawa dinilai penting di era globalisasi. Pelestarian bisa dilakukan dengan memperbanyak ruang diskusi dan menggiatkan aktivitas kebudayaan yang melibatkan semua pihak, termasuk generasi muda, komunitas, akademisi, hingga pemerintah.
Hal ini mengemuka pada diskusi daring Dilah Kebudayaan atau Diyan, Jumat (18/6/2021), yang diselenggarakan Program Studi Sastra Jawa Universitas Indonesia. Diskusi itu juga membahas geguritan atau puisi-puisi Jawa yang ditulis praktisi sastra Jawa Yusuf Susilo Hartono. Pada saat yang sama, Yusuf meluncurkan buku Gurit Saidu, yakni kumpulan puisi hasil refleksi selama masa pandemi.
Menurut Yusuf, ada tiga tantangan yang dihadapi dunia sastra Jawa. Pertama, memperbarui sastra Jawa bergaya lama dengan sastra kontemporer. Kedua, membangun ekosistem sastra Jawa yang memadukan teknologi dan peran generasi muda. Ketiga, keberlangsungan ekosistem sastra Jawa tidak lagi cukup bergantung pada aspek kultural, tetapi juga harus melibatkan pihak-pihak kompeten dan berintegritas.
”Tanggung jawab memajukan sastra Jawa, budaya Jawa, dan budaya masing-masing daerah itu tanggung jawab pribadi dan bersama. Ayo duduk bersama buat semua pemangku kepentingan, kemudian saling bantu apa yang bisa dilakukan,” kata Yusuf.
Membangun ekosistem sastra dan bahasa Jawa, menurut Yusuf, bisa dimulai dengan pendataan dan pemberdayaan para pemangku kepentingan. Mereka, antara lain, adalah sastrawan, komunitas, pengajar, mahasiswa sastra Jawa dan alumni, pengamat dan kritikus, serta media.
Pihak lain yang bisa dilibatkan adalah penerbit buku, perpustakaan, museum, pegiat budaya Jawa, dan talenta digital. Talenta digital dibutuhkan agar sastra Jawa bisa didiseminasi ke ruang virtual. Di sisi lain, pemerintah pusat dan daerah dinilai perlu hadir sebagai fasilitator budaya.
”Negara perlu hadir agar sastra Jawa dan sastra daerah lain bisa maju bersama. Kita tidak akan bisa membawa Indonesia (ke kemajuan) jika hanya (memperhatikan) Jawa,” kata Yusuf.
Sebelumnya, dosen Prodi Sastra Jawa Universitas Negeri Semarang, Dhoni Zustiyantoro, mengatakan, penulis sastra Jawa masih sebatas menerbitkan buku atau mengirim karya ke media massa berbahasa Jawa. Ada 10-20 judul buku sastra Jawa yang diterbitkan setiap tahun, baik novel, cerita pendek, maupun puisi. Pegiat sastra Jawa perlu memanfaatkan media konvensional dan digital untuk menyalurkan karya mereka (Kompas, 23/8/2018).
”Sarana digital jika dikelola secara konsisten bisa menjadi jalan tengah ketika biaya produksi dan proses kerja distribusi sastra membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Ini yang mesti kita lihat sebagai peluang dalam mengembangkan sastra Jawa modern,” ucap Dhoni.
Geliat sastra Jawa
Menurut dosen Program Studi Sastra Jawa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, Turita Indah Setyani, geliat sastra Jawa mulai tampak di kalangan anak muda. Sejumlah mahasiswa kerap menggubah puisi atau guritan secara berkala.
Pegiat sastra Jawa dari Universitas Negeri Semarang, Ucik Fuadhiyah, pada diskusi daring mengatakan, kampusnya berupaya menjaga pelestarian guritan. Upaya itu ialah dengan mengadakan Festival Geguritan secara rutin dan menerbitkan buku antologi geguritan yang ditulis para mahasiswa.
Yusuf menambahkan, memperjuangkan bahasa dan sastra Jawa penting karena itu adalah bahasa ibu orang Jawa. Selain itu, bahasa dan sastra Jawa atau daerah lain mengandung nilai-nilai luhur. Pelestarian bahasa dan sastra Jawa dalam karya pun diperlukan.
”Setelah ini saya akan terus berjalan (berkarya). Ada beberapa guritan lagi yang semoga dapat diterbitkan,” katanya.