Tahun 2021, Indonesia Kembali Jadi Negara Paling Dermawan di Dunia
Indonesia menjadi negara paling dermawan di dunia pada tahun 2021. Penanganan pandemi yang baik akan memberikan dampak baik pada pengelolaan ekonomi. Konsekuensinya, sikap kedermawanan warga terjaga.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·5 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Pengunjung dibatasi maksimal 15 orang dalam sekali waktu untuk menyantap hidangan di dalam Rumah Makan Gratis Bunda Ermi di Jalan Dewi Sartika, Kelurahan Margahayu, Kecamatan Bekasi Timur, Kota Bekasi, Jawa Barat, Rabu (26/8/2020). Rumah makan tersebut memberi makan siang gratis sebanyak 150 porsi untuk meringankan beban warga yang terdampak pandemi Covid-19.
Di tengah berbagai kesulitan ekonomi akibat pandemi Covid-19, Charities Aid Foundation atau CAF kembali menempatkan Indonesia sebagai negara paling dermawan di dunia pada tahun 2021. Kedermawan ini bisa menjadi modal besar bagi Indonesia untuk segera bangkit dan membangun kehidupan dalam kenormalan baru pascapandemi.
Laporan Indeks Kedermawanan Dunia atau World Giving Index (WGI) 2021 yang dipublikasikan CAF pada Senin (14/6/2021) mengukuhkan Indonesia sebagai negara paling dermawan. Dalam WGI tahun ini, skor Indonesia mencapai 69 persen, naik signifikan dari skor 59 persen pada WGI tahunan terakhir, yaitu tahun 2018. Saat itu, Indonesia juga menjadi negara paling dermawan di dunia.
Dari tiga indikator yang dinilai, Indonesia memiliki nilai tertinggi pada dua indikator, yaitu menyumbang uang dengan skor 83 persen dan meluangkan waktu untuk mengikuti kegiatan kesukarelawanan dengan skor 60 persen. Sementara untuk indikator membantu orang yang tak dikenal, nilai tertinggi di pegang Nigeria dengan skor 82 persen dan skor Indonesia hanya 65 persen dengan menduduki peringkat ke-26 dunia.
WGI 2021 ini disusun berdasarkan data World View World Pool dari Gallup yang pada 2020 dilakukan di 114 negara. Di sebagian besar negara yang disurvei, ada 1.000 kuesioner disebar ke masyarakat di sejumlah daerah, termasuk wilayah perdesaan. Survei dilakukan pada 2020 saat pandemi Covid-19 mulai melanda seluruh dunia.
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
Eni Kusriati (kiri), warga Dusun Cepokojajar, sedang menyiapkan paket bantuan makanan siap santap, di Dusun Cepokojajar, Desa Sitimulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, Sabtu (8/4/2020). Eni tergabung dalam gerakan sosial bernama Solidaritas Pangan Jogja. Gerakan itu telah membagi-bagikan makanan bagi warga yang membutuhkan selama pandemi Covid-19.
”Lebih dari delapan dari 10 orang di Indonesia menyumbangkan uangnya tahun ini dan skor kesukarelawanan Indonesia tiga kali lebih besar dari skor global,” tulis para peneliti dalam CAF World Giving Index 2021, A Global Pandemic Special Report, Juni 2021.
Secara global, 55 persen responden dewasa yang disurvei membantu orang yang tidak mereka kenal selama pandemi. Ini merupakan skor tertinggi selama penyusunan WGI sejak 2010. Nilai itu menunjukkan lebih dari 3 miliar orang di dunia membantu orang lain yang tidak dikenalnya.
Lebih dari delapan dari 10 orang di Indonesia menyumbangkan uangnya tahun ini dan skor kesukarelawanan Indonesia tiga kali lebih besar dari skor global.
Sementara skor rata-rata global untuk menyumbang uang mencapai 31 persen dan skor mengikuti kegiatan kesukarelawanan hanya 19 persen. Nilai global untuk kedua indikator ini relatif stabil dari tahun ke tahun.
Menariknya, 10 negara terbesar yang masuk dalam WGI kali ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Jika pada tahun sebelumnya sejumlah negara maju di Barat banyak yang menduduki posisi 10 besar, seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Irlandia, dan Belanda, posisi itu kini banyak ditempati negara-negara berkembang atau negara dunia ketiga, seperti Nigeria, Ghana, Uganda, dan Kosovo.
Situasi itu menarik. Pada awal pandemi Covid-19, angka kematian sangat tinggi di negara-negara maju akibat populasi yang menua. Sebaliknya di negara berkembang, angka kematian akibat Covid-19 relatif lebih rendah.
Kondisi itu diperkirakan memengaruhi turunnya skor kedermawanan di sejumlah negara maju karena kesempatan untuk beramal maupun menjadi anggota sukarela dalam kegiatan amal menjadi berkurang sebagai konsekuensi dari penguncian wilayah yang panjang.
Nyatanya, banyak pula negara berkembang yang melakukan penguncian wilayah. Kondisi itu berdampak besar pada ekonomi mereka. Namun, situasi itu justru mendorong makin banyak orang menyumbang atau membantu orang lain dalam berbagai kegiatan kesukarelawanan.
Perintah agama
CAF menulis tingginya minat masyarakat Indonesia menyumbang didorong oleh semangat religiositas masyarakatnya yang tinggi. Zakat sebagai perintah agama Islam untuk berbagi sebagian harta yang dimiliki kepada orang lain dipraktikkan secara luas di Indonesia. Selain itu, di Indonesia ada seruan dari tokoh dan otoritas keagamaan agar masyarakat membayarkan zakatnya kepada orang yang berhak di sekitar mereka.
Laporan global juga menunjukkan pembayaran zakat selama 2020 meningkat pesat sebagai respons atas pandemi.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia Hamid Abidin mengatakan pandemi dan krisis ekonomi nyatanya tak menghalangi semangat masyarakat Indonesia untuk berbagai. Sebaliknya, ”Pandemi meningkatkan semangat solidaritas masyarakat untuk membantu sesama,” katanya.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Warga di kawasan Manggarai, Jakarta Selatan, membagi bantuan sosial berupa paket sembako dari konsorsium BUMN Pertambangan kepada empat pengurus Rukun Tangga, Jumat (15/5/2020). Distribusi bantuan sembako diambil langsung oleh warga penerima untuk mencegah kerumunan dan penyebaran Covid-19. Pembagian bantuan sosial diperuntukkan untuk membantu meringankan beban bagi warga terdampak Covid-19.
Namun, tetap ada yang berubah dalam kedermawanan masyarakat Indonesia selama pandemi berlangsung. ”Bentuk sumbangan dan jumlahnya berubah. Masyarakat yang secara ekonomi terdampak pandemi tetap menyumbang uang meski nilai sumbangannya lebih kecil atau berdonasi dalam bentuk lain, seperti barang atau tenaga (kesukarelawanan),” katanya.
Situasi itu juga terlihat dari laporan sejumlah lembaga filantropi dan amal di Indonesia. Jumlah donasi yang masuk ke lembaga mereka selama pandemi tetap naik dibanding tahun sebelumnya, tetapi peningkatan donasi itu tidak sebesar tahun-tahun sebelum saat kondisi normal.
”Donasi berbasis keagamaan, seperti zakat, infak dan sedekah jadi penggerak utama filantropi di Indonesia selama pandemi,” tambahnya.
Kondisi itu diyakini juga tidak terlepas dari situasi ekonomi Indonesia yang masih lebih baik dibandingkan dengan negara-negara lain. Pandemi memukul seluruh sektor ekonomi yang berdampak pada turunnya daya beli dan kapasitas menyumbang masyarakat. Penanganan pandemi yang baik oleh pemerintah akan memberikan dampak baik pada pengelolaan ekonomi. Konsekuensinya, sikap kedermawanan masyarakat terjaga.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Pengurus Masjid Al-Falah Pondok Kelapa, Jakarta Timur, menjelaskan penakaran cairan konsentrat disinfektan yang dibagikan secara gratis bagi warga yang membutuhkan, Kamis (19/3/2020). Sebanyak 60 liter cairan dibagikan dengan proses registrasi sebelumnya untuk menghindari kerumunan warga saat pengambilan.
Hal lain yang menggembirakan dari kegiatan kedermawanan di Indonesia selama pandemi adalah relatif berhasilnya proses transformasi dari filantropi tradisional ke filantropi digital. Berbagai kendala penggalangan dana selama pandemi akibat penguncian wilayah dan pembatasan sosial, nyatanya bisa diatasi yang terlihat dari lonjakan donasi melalui platform digital.
Meski demikian, Hamid menilai masih banyak hal yang harus diperbaiki dari kegiatan filantropi di Indonesia. Kebiasaan masyarakat yang lebih suka menyumbang langsung (direct giving) bersifat belas kasihan perlu diarahkan untuk disumbangkan melalui organisasi amal dan sosial agar manfaatnya lebih berkepanjangan, tidak menimbulkan ketergantungan dan berdampak lebih besar.
Benahi regulasi
Regulasi soal filantropi juga perlu diperbaiki, diperbarui dan diintegrasikan. Undang-Undang yang mengatur soal sumbangan uang dan barang sudah sangat ketinggalan zaman karena berumur lebih dari 60 tahun. Aturan filantropi yang tersebar di banyak undang-undang dan peraturan perlu segera diseleraskan untuk mempermudah masyarakat. Insentif perpajakan bagi individu atau lembaga yang melakukan kegiatan filantropi juga perlu diperbaiki dan disosialisasikan hingga mendorong makin banyak pihak untuk berdonasi.
Di sisi lain, perlindungan bagi para sukarelawan yang tergabung dalam berbagai kegiatan kesukarelawanan perlu ditingkatkan. Selama pandemi, banyak sukarelawan terjun dalam berbagai kegiatan kemanusiaan dan penanganan bencana tanpa perlengkapan dan perlindungan yang memadai. ”Sukarelawan dan pegiat kemanusiaan juga tidak dimasukkan dalam kelompok prioritas untuk mendapatkan vaksin Covid-19,” katanya.