Potensi permainan tradisional perlu digali kembali untuk dikenalkan kepada generasi muda. Sebab, permainan tradisional membantu perkembangan anak.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Permainan tradisional Indonesia dinilai sebagai media yang tepat untuk menanamkan budi pekerti dan membantu perkembangan anak. Itulah sebabnya, potensi permainan tradisional perlu digali kembali.
Tokoh pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara, pernah menjelaskan pentingnya permainan bagi anak-anak. Permainan dinilai efektif untuk mengembangkan potensi dan kreatvitas anak, meningkatkan indera penglihatan dan pendengaran, serta mengembangkan jiwa dan raga melalui olahraga, olah pikir, dan olah rasa. Saat mengajar, Ki Hadjar Dewantara pun sering menggunakan permainan dan kesenian tradisional yang diselipkan pelajaran dan budi pekerti (Kompas, 15/5/2010).
Peneliti Ahli Utama Balai Pelestarian Nilai Budaya DI Yogyakarta Suyami mengatakan, permainan melatih keterampilan, ketelitian, konsentrasi, serta mengajarkan anak belajar kesenian, kompetisi, dan cara menerjemahkan pesan moral. Namun, permainan tradisional kini mulai hilang tergerus zaman. Tidak semua anak-anak mengenal dan tahu cara bermain permainan tradisional.
”Pada 1959, Ki Hadjar Dewantara mencatat ada 690 permainan dan nyanyian khusus permainan. Bertahun-tahun kemudian, kami mencatat ada 500 macam permainan, tapi sudah banyak yang tidak dikenal (anak-anak),” kata Suyami pada diskusi daring ”Kembara Gembira: Ayo Dolan! Ayo Cerita!” yang diadakan Museum Sonobudoyo, Yogyakarta, Selasa (15/6/2021).
Suyami menambahkan, permainan di Pulau Jawa umumnya mengandung pesan dan nilai filosofis dari para tetua. Permainan ancak-ancak alis, misalnya, mengajarkan anak-anak tentang budidaya padi. Permainan itu juga mengajarkan bahwa ada proses panjang sebelum padi menjadi nasi.
Permainan lainnya adalah ri-uri yang mengajarkan kepada anak-anak bahwa hidup bukan hanya untuk hari ini. Itu sebabnya, anak-anak perlu belajar cara hidup yang baik untuk kehidupan bermasyarakat, baik dari tutur kata maupun perilaku. Adapun permainan bi bibi tumbas timun mendorong anak-anak belajar dari orang bijak agar kearifannya menurun pada mereka.
Permainan lain yang juga memiliki nilai filosofis, antara lain, cublak-cublak suweng, jonjang ther, sulur kangkung enet, ni thowok, dan tikus pithi yayi. Menurut Suyami, permainan tradisional perlu dikenalkan lagi kepada anak-anak untuk membangun karakter yang punya jiwa sosial tinggi, daya juang, dan kompetisi positif.
”Saat ini kita perlu menggali kembali kekayaan berbagai permainan tradisional. Ini dikenalkan ke generasi penerus, baik dalam wujud tulisan maupun festival,” ucapnya.
Menurut Kepala Museum Sonobudoyo, Setyawan, menanamkan budi pekerti kepada anak tidak perlu dilakukan secara kaku melalui buku atau institusi formal. Anak bisa diajak bermain dengan gembira sambil dikenalkan aspek budaya pada permainan.
”Pendidikan anak dengan pendekatan kebudayaan dianggap bisa menjawab tantangan disrupsi media dan globalisasi. Kebudayaan dan nilai lokalitas diharapkan mengantar anak tumbuh menjadi peka terhadap komunitas dan pelestarian warisan budaya,” kata Setyawan.
Saat ini, kita perlu menggali kembali kekayaan berbagai permainan tradisional. Ini dikenalkan ke generasi penerus, baik dalam wujud tulisan maupun festival.
Perkembangan anak
Psikolog Yayasan Kemuning Kembar, Indria Laksmi Gamayanti, mengatakan, ada enam aspek perkembangan anak yang perlu terus distimulasi. Keenamnya adalah aspek kognitif, emosi, sosial, bahasa, motorik, dan karakter. Permainan anak dapat memfasilitasi kebutuhan tersebut.
Selain itu, permainan juga mendukung pematangan kemampuan sensorik anak, antara lain keseimbangan, visual, pendengaran, perencanaan gerak, dan pendengaran. Indria pun menyarankan agar anak-anak tetap didampingi orang dewasa atau teman sebaya saat bermain.
”Permainan bisa menstimulasi tumbuh kembang anak secara keseluruhan, baik kemampuan motorik, kognitif, maupun kemampuan berbahasa, sosial, hingga mendorong untuk belajar gotong royong dan moral,” tuturnya.