Perkawinan anak hingga kini masih dianggap biasa di masyarakat, padahal membahayakan masa depan anak. Maka, peran media seperti televisi sangat penting untuk mengedukasi publik dan bersama mencegah perkawinan anak.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
Kompas/Hendra A Setyawan
Kualitas sinetron yang masih di bawah standar menjadi keprihatinan masyarakat yang dituangkan dalam mural di kawasan Cisauk, Tangerang, Banten, Senin (15/3/2021). Hasil Riset Indeks Kualitas Program Siaran TV Periode II-2019 yang dirilis Komisi Penyiaran Indonesia pada 2019 menyatakan kualitas program-program siaran tersebut dalam lima tahun terakhir masih rendah karena memuat kekerasan, tidak memiliki kepekaan sosial, topiknya tidak relevan, dan kurang menghormati norma sosial serta kehidupan pribadi.
Praktik kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terus berlangsung pada masa pandemi Covid-19 seharusnya mendorong media untuk turut berkontribusi mencegah hal itu terjadi. Media semestinya menyebarluaskan pesan-pesan bernilai edukasi yang mendorong perlindungan terhadap perempuan dan anak, bukan sebaliknya.
Tayangan sinetron ”Suara Hati Istri-Zahra” yang menuai kritik publik sebaiknya menjadi pelajaran berharga bagi industri penyiaran dan media massa pada umumnya.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Rita Pranawati menilai, dengan menampilkan anak perempuan berusia 15 tahun sebagai pemeran istri ketiga dari laki-laki dewasa berusia 39 tahun, sinetron itu bukan hanya tidak mendidik, tetapi mempertontonkan praktik perkawinan serta bermuatan poligami.
”Sinetron ini juga menampilkan beberapa adegan kekerasan dalam rumah tangga dan intimidasi,” kata Rita pada awal Juni 2021.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) akhirnya meminta Indosiar dan Mega Kreasi Film (MKF) mengevaluasi sinetron tersebut dan menghentikan sementara tayangan tersebut karena dinilai berpotensi melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) KPI 2012.
Indosiar tidak menghentikan tayangan sinetron tersebut, tetapi hanya mengganti pemeran anak dengan pemeran dewasa.
Menurut Naswardi, Komisioner Lembaga Sensor Film (LSF), pemeran diganti dengan aktris berusia dewasa, alur cerita dan judul sinetron diganti. ”Tugas dan kewenangan LSF adalah melakukan penyensoran. Penetapan pameran utama dan lain-lain, sepenuhnya menjadi kewenangan rumah produksi,” ujar Naswardi.
Isi cerita
Kendati pemerannya sudah diganti, Ketua Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andi Yentriyanti, menilai, sinetron SHI-Zahra bukan hanya bermasalah di pemerannya yang melibatkan anak-anak, melainkan juga plot ceritanya. Sinetron ini membangun cerita yang menormalkan praktik eksploitasi anak yang miskin ke dalam perkawinan anak dengan paksaan di tengah impitan ekonomi dan desakan untuk berbakti pada keluarga.
Kisah itu jadi penggambaran pelanggaran hak anak, sekaligus hak konstitusional untuk memasuki perkawinan secara bebas yang dilindungi dalam UU Perkawinan. Bahkan, tayangan itu mendorong perkawinan anak dengan membumbui hubungan tersebut dengan romansa.
Padahal, perkawinan anak berisiko besar pada kesehatan reproduksi dan mental anak, kesempatan pendidikan, memungkinkan pengalaman kekerasan dalam rumah tangga.
Karena itu, penyelesaian protes sinetron ini tidak bisa dengan sekadar mengganti pemainnya, tetapi menghentikan siaran tersebut. ”Dengan mengganti pemain utama, kita hanya menyelesaikan satu individu anak untuk tidak terlibat dalam proses pekerjaan yang menempatkannya sebagai obyek seksual dan bentuk-bentuk perundungan lainnya terkait poligami,” kata Andi, Minggu (13/6/2021).
Tinjau ulang
Tayangan sinetron SHI-Zahra hanyalah potret kecil dari tayangan sinetron-sinetron di televisi ataupun live streaming yang sarat dengan berbagai pesan tidak mendidik bahkan sarat dengan adegan kekerasan dalam rumah tangga.
Berdasarkan evaluasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), tayangan sinetron seperti itu belum memperhatikan prinsip-prinsip pemenuhan hak dan perlindungan anak sehingga skenarionya perlu ditinjau kembali.
”Televisi swasta yang menayangkan sinetron seperti itu dapat dianggap telah menyampaikan ketidakbenaran,” ujar Deputi Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA Nahar.
Sinetron yang menampilkan peran istri oleh anak di bawah umur adalah bentuk stimulasi pernikahan usia dini yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah yang mengatur batas usia perkawinan perempuan dan laki-laki minimal 19 tahun.
Adegan-adegan anak yang berperan sebagai istri ketiga, yang sering mendapatkan kekerasan psikis berupa bentakan dan makian dari pemeran pria serta pemaksaan melakukan hubungan seksual juga dianggap mempromosikan kekerasan psikis dan seksual terhadap anak.
Dampak lebih jauhnya adalah bisa memengaruhi masyarakat untuk melakukan perkawinan usia anak, kekerasan seksual, dan tindak pidana perdagangan orang.
”Tayangan ini secara tidak langsung akan memengaruhi kondisi psikologis masyarakat dan menimbulkan toxic masculinity sehingga akan terbangun konstruksi sosial bahwa pria identik dengan kekerasan, agresif secara seksual, kekerasan, dan perendahan terhadap perempuan,” kata Nahar.
Dengan mengganti pemain utama kita hanya menyelesaikan satu individu anak untuk tidak terlibat dalam proses pekerjaan yang menempatkannya sebagai obyek seksual dan bentuk-bentuk perundungan lainnya terkait poligami.
Ketua KPI Agung Suprio mengatakan, Peraturan KPI tahun 2012 yang memuat aturan terkait anak-anak dalam penyiaran sedang direvisi. ”Peraturan ini sedang direvisi, eksploitasi anak tidak boleh dilakukan, termasuk eksploitasi perempuan akan diatur lebih rinci. Nanti akan ada uji publik, dan minta pendapat semua pihak,” ujarnya.
Revisi pedoman tersebut juga akan mengakomodasi berbagai regulasi, termasuk UU Perkawinan dan UU Perlindungan Anak. Agung juga akan memastikan adanya regulasi yang mengatur rumah produksi yang memproduksi sinetron yang mengeksploitasi anak dan sarat dengan kekerasan. Harapannya, ke depan tayangan-tayangan sinetron di Indonesia berkualitas.
Pinky Saptandari, antropolog dari Universitas Airlangga Surabaya, menilai, sudah saatnya tayangan sinetron yang tidak mendidik dihentikan seterusnya, bukan sementara.
”Pemerintah harus hadir menghentikan tontonan tanpa tuntunan yang tidak ada muatan pendidikan dan berpotensi merusak masa depan anak bangsa,” ujarnya.
Indonesia membutuhkan tontonan yang edukatif yang membawa pesan-pesan merayakan keragaman serta menebarkan nilai-nilai toleransi dan perdamaian.