Mengejar Mimpi ke Perguruan Tinggi
Memilih jurusan dan menjalani ujian agar diterima di kampus idaman menghadirkan lika-liku tersendiri. Ada yang memilih jurusan sesuai keinginan hati, sekadar memenuhi pilihan orangtua, ada juga yang salah pilih.
Girang bukan main rasa hati Edis Nabila Ramadhani (17), pelajar SMAN 2 Samarinda, saat mengetahui dirinya lolos Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri, Senin (14/6/2021). Edis diterima di Program Studi Teknik Informatika Institut Teknologi Kalimantan di Balikpapan, kampus idamannya sejak lama.
Kampus tersebut diproyeksikan sebagai ITS-nya Kalimantan. Pengajarnya rata-rata dosen Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.
Bagi Edis dan keluarga, perguruan tinggi ini sangat menolong siswa sepertinya. Mereka bisa mendapatkan pendidikan yang kredibel tanpa harus merantau ke Jawa dan mengeluarkan biaya besar yang tentu saja menyedot penghasilan orangtuanya.
Tidak mudah untuk bisa masuk ke perguruan tinggi negeri itu. Agar bisa diterima, Edis harus rajin belajar hingga larut malam. Proses itu ia jalani hingga menjelang hari H. ”Saya ikut ujian tertulis berbasis komputer (UTBK) gelombang kedua di Samarinda bulan April. Sehari sebelum tes, saya belajar dari buku-buku sampai pukul 12 malam biar lebih mantap menghadapi ujian,” kata Edis.
Baca juga : Punya Pengetahuan dan Keahlian Spesifik Tak Cukup
Hal serupa dirasakan Yosephina Agitya Intan Dewi Utari (17), pelajar asal Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Setelah lulus dari SMA Negeri 7 Banjarmasin tahun ini, Agitya memutuskan melanjutkan kuliah ke Universitas Brawijaya (UB), Malang, Jawa Timur, mengambil jurusan Sastra China.
Intan sempat mempertimbangkan beberapa program studi pilihan, antara lain hukum, hubungan internasional, psikologi, dan sastra. Setelah setahun mempertimbangkan, akhirnya ia memantapkan hati memilih jurusan Sastra China.
”Saya memilih Sastra China karena di era global sekarang kita dituntut untuk bisa berbahasa asing. Secara khusus, saya mau memperdalam bahasa Mandarin. Dengan belajar kesusastraan, saya juga bisa mempelajari politik, sosial budaya, bisnis, dan pemerintahan suatu negara,” tuturnya.
Baca juga : Yang Diterima di Perguruan Tinggi Semringah, Yang Gagal Enggan Menyerah
Sementara itu, bagi sebagian generasi milenial, kuliah bidang pertanian dianggap kurang keren dan ketinggalan zaman. Namun, Shakilla Ananda Dwi Rahma (17) mematahkan stigma itu. Alumnus SMA Negeri 6 Palembang, Sumatera Selatan, itu diterima di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Sriwijaya.
Ananda beranggapan kuliah jurusan pertanian mempunyai prospek cerah. ”Indonesia negara agraris. Jadi, lapangan pekerjaan untuk jurusan ini pasti selalu ada. Peluang untuk mengembangkan hasil-hasil pertanian juga pasti besar,” ujarnya.
Pilihan orangtua
Memilih kuliah yang pas dengan hasrat hati jadi titik awal untuk membuka pintu kesuksesan dalam dunia kerja. Tak harus ikut-ikutan karena takut dicap memilih program studi yang tidak popular ataupun dengan alasan demi membahagiakan orangtua. Namun, realitasnya, menentukan pilihan kuliah yang sesuai potensi, bakat, dan minat tak selalu mulus, seringkali menimbukan rasa galau di hati dan pikiran serta mengubah strategi.
Indonesia negara agraris. Jadi, lapangan pekerjaan untuk jurusan ini pasti selalu ada. Peluang untuk mengembangkan hasil-hasil pertanian juga pasti besar.
Naja (21), mahasiswa semester VI Ilmu Ekonomi di Universitas Diponegoro, mengatakan, ia kuliah di jurusan yang ditentukan orangtuanya. Ia mengaku tidak senang kuliah ekonomi karena minatnya ada di bidang sosial.
Naja berkali-kali berpikir untuk berhenti atau pindah jurusan. Saat kuliah semester II, ia mengikuti ujian SBMPTN lagi, tetapi gagal. Di sisi lain, orangtuanya berusaha meyakinkan Naja untuk melanjutkan studi.
”Sebenarnya aku bisa mengikuti materi kuliah. Tapi, ada titik ketika aku ingin menyerah, apalagi saat indeks prestasiku tidak sesuai keinginan. Itu bikin aku capek banget,” kata Naja.
Salah memilih jurusan juga dialami Zahra (24), alumnus jurusan komunikasi Universitas Negeri Sebelas Maret yang lulus pada Maret 2021. Padahal, ia punya minat di bidang seni, seperti arsitektur dan desain interior.
”Sebelumnya, aku kuliah D-3 di Universitas Indonesia jurusan komunikasi penyiaran. Aku pilih jurusan ini karena sepertinya seru dan merasa bukan jurusan yang berat. Itu tanpa pertimbangan panjang alias asal pilih,” ucap Zahra.
Ia menyesal tidak mempertimbangkan masak-masak pilihannya. Setelah lulus, ia baru merasa salah jurusan. Ia sadar kemampuannya bukan di bidang komunikasi. Dulu, ia memilih komunikasi periklanan karena ada materi tentang desain, hal yang dia minati.
”Waktu itu, aku kurang edukasi dan tidak memperdalam lagi (apa yang ditawarkan) jurusan-jurusan kuliah,” kata Zahra.
Pendiri & CEO Rencanamu.id, Rizky Muhammad, yang sudah mendampingi sekitar 2,5 juta anak-anak SMA sederajat dan mahasiswa Indonesia untuk memahami aspirasi karier lewat pilihan prodi kuliah dan transisi menuju dunia kerja, mengatakan, sebagian besar pilihan anak-anak muda masih kovensional. Padahal, banyak peluang kerja baru yang potensial yang belum terpikirkan akibat ketidaktahuan mereka.
Baca juga : Membaca Peluang di Era Kecerdasan Buatan
Faktor kunci yang menginspirasi anak-anak muda ini, utamanya keluarga dan sekolah, juga masih belum memahami perkembangan dan perubahan yang terjadi. Selain itu, ada tabrakan pola pikir antara anak dan orangtua.
Bekerja tidak seperti di masa lalu, sekarang bisa bekerja di mana saja, bahkan lintas negara. Profesi software engineer, misalnya, bisa tetap tinggal di Indonesia, tetapi bekerja untuk perusahaan luar negeri dengan bayaran dollar.
”Masa depan dunia kerja, banyak muncul pekerjaan baru. Sepertinya anak-anak lebih tertarik jadi profesional yang independen, freelance. Bisa di bidang fesyen, desain, kuliner, dan banyak lagi. Keluarga dan sekolah harus membantu anak-anak memahami aspirasi karier yang sesuai dengan diri mereka,” ujar Rizky.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nizam mengatakan, di Indonesia pilihan pekerjaan terbuka. Orang yang bekerja tidak sesuai dengan program studinya bukan berarti salah pilihan. Sebab, ada kompetensi yang sesuai dengan bidang pekerjaan. Sarjana ilmu fisika, misalnya, bisa saja bekerja di perbankan karena ada kemampuan analitisnya sehingga bisa menyesuaikan diri. (JUM/CIP/DIA/SKA/TAM)