Mengenang Toeti Heraty, Sang Penggerak Suara Ibu Peduli
Tokoh perempuan, Toeti Heraty Noerhadi Roosseno, tutup usia, Minggu (13/6/2021). Semasa hidupnya, ia dikenal sebagai intelektual sekaligus budayawan dan penyair yang terlibat aktif dalam berbagai gerakan sosial.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·2 menit baca
KOMPAS/AMANDA PUTRI NUGRAHANTI
Toeti Heraty Noerhadi Roosseno, filsuf, budayawan, seniman, guru besar filsafat Universitas Indonesia.
JAKARTA, KOMPAS—Kepergian tokoh perempuan Indonesia, Prof Toeti Heraty Noerhadi Roosseno meninggalkan kenangan bagi para aktivis perempuan di Tanah Air. Sosok Toeti tokoh yang berperan dalam berbagai gerakan sosial dan gerakan perempuan-perempuan dalam mendorong perubahan dan perlindungan perempuan terutama korban-korban kekerasan.
“Kita semua dalam gerakan perempuan merasa kehilangan sosok soko guru dalam pemikiran, juga gerak solidaritas dan advokasi. Almarhumah Toeti mempunya andil besar dalam Gerakan Suara Ibu Peduli yang menjadi kekuatan moral dalam mendorong reformasi bergulir,” ujar Ketua Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andy Yentriyani, Minggu (13/6/2021).
Toeti Heraty dikenal sebagai seorang penyair, dosen, pakar filsafat, dan kebudayaan. Perempuan kelahiran Bandung, 27 November 1933, yang juga Guru Besar Filsafat di Universitas Indonesia meninggal dunia pada Minggu (13/6/2021) pagi di RS MMC Jakarta karena sakit.
Almarhumah Toeti mempunya andil besar dalam Gerakan Suara Ibu Peduli yang menjadi kekuatan moral dalam mendorong reformasi bergulir.
Semasa hidup, Toeti melalui karya-karya sastra dan pemikirannya menginspirasi banyak kawan muda dalam mendalami isu feminisme dalam berbagai isu dan aspek. Toeti juga kerap menjadi kawan dalam mengembangkan aksi solidaritas, termasuk dukungannya pada gagasan Pundi Perempuan, wadah filantropi untuk mendukung pendampingan bagi perempuan korban kekerasan.
Tokoh perempuan Indonesia yang juga Ketua Komnas Perempuan pertama, Prof Saparinah Sadli mengaku sangat kehilangan dan sedih atas kepergian almarhumah Toeti.
“Saya enggak sanggup, enggak bisa ngomong apa-apa, selain saya merasa sangat sedih, kehilangan dia. Tiga hari lalu saya masih telepon-telepon sama dia. Dia cerita punya masalah di perut. Makanya, saya kaget sekali, tadi pagi diberitahu dia meninggal,” ujar Saparinah dengan kesedihan mendalam, karena dia tidak bisa melayat almarhumah.
Bagi Saparinah, Toeti adalah sosok yang hebat dalam di bidangnya. “Saya kehilangan teman dan saudara. Ibunya saudara saya. Meskipun saya tidak kerja sama dengan dia, karena lebih di bidang filsafat dan kebudayaan, tapi saya enggak bisa ngomong apa-apa kecuali merasa sedih banget dan kehilangan,” ujar Saparinah.
Bagi Henny Supolo, aktivis perempuan di bidang pendidikan yang juga Ketua Yayasan Cahaya Guru, Toeti adalah perempuan tangguh yang menjalankan apa yang menjadi pemikirannya secara mandiri. Ia memiliki jiwa merdeka, tidak ada yang bisa membuat dirinya berhenti termasuk pandemi ini.