Seberapa Siap Kamu Menikah?
Kesiapan menikah bukan semata memenuhi syarat usia. Butuh sejumlah bekal keterampilan hidup untuk siap menikah dan membina rumah tangga.
Di tengah stabilnya jumlah perkawinan, kasus perceraian naik hampir dua kali lipat dalam satu dekade terakhir. Kurangnya kesiapan menikah membuat perceraian begitu mudah diputuskan.
Kabar perceraian tokoh publik begitu mudah ditemukan di media hampir tiap hari, lengkap dengan segala konflik yang menyertainya. Di media sosial, banyak duda dan janda muda tak lagi malu mendeklarasikan status perkawinan mereka, suatu hal yang dianggap tabu di masa lalu.
Sementara di masyarakat, pertentangan anak bujang yang ingin menikahi duda atau janda dengan orangtua mereka yang kurang setuju dengan status calon pasangan anak mereka juga makin mudah ditemukan.
Data Kementerian Agama menyebut ada sekitar 2 juta perkawinan setiap tahunnya. Jumlah perceraian pada 2010 sebanyak 251.208 kasus melonjak menjadi 480.618 perceraian atau naik 91,3 persen hanya dalam waktu sepuluh tahun.
Paparan informasi perceraian dari berbagai media itu membuat perceraian makin menjadi fenomena biasa di masyarakat. ”Tanpa disadari, orang-orang belajar bahwa perceraian adalah penyelesaian yang wajar saat terjadi masalah rumah tangga,” kata peneliti perkawinan yang juga dosen psikologi Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Hepi Wahyuningsih, Jumat (4/6/2021).
Selain itu, secara global memang sedang terjadi pendangkalan makna perkawinan. Pernikahan tak lagi dianggap sebagai hal yang sakral atau suci hingga putusan cerai begitu gampang diambil.
Sebagian besar perceraian itu terjadi pada usia perkawinan kurang dari lima tahun. Situasi itu tentu memprihatinkan karena sebagian besar perkawinan sebenarnya terjadi di usia yang sudah layak untuk menikah.
Baca juga: ”Swinger” dan Pudarnya Kesetiaan pada Pasangan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No 1/1974 tentang Perkawinan menyebut batas minimal usia menikah laki-laki dan perempuan adalah 19 tahun. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional pun mengampanyekan usia ideal pernikahan adalah 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki.
Sementara Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2017 menunjukkan, median umur kawin pertama adalah 21,8 tahun untuk perempuan dan 24,6 tahun untuk laki-laki. Mereka yang tinggal di perkotaan dan makin tinggi tingkat pendidikan dan status ekonominya, makin tinggi pula median umur kawin pertamanya.
Lalu, mengapa angka perceraian tinggi meski usia menikah sudah sesuai ketentuan?
Studi dua dosen Fakultas Psikologi Universitas Bina Nusantara Jakarta, Pingkan CB Rumondor dan Farah M Djalal, yang dipresentasikan pada International Conference on Biospheric Harmony and Advanced Research (Icobar) 2020 di Jakarta, Juni, 2020, menemukan anak muda usia 17-20 tahun, yang sebagian besar perempuan, masih memandang pernikahan sebagai hal normatif yang positif.
”Pandangan anak muda tentang pernikahan cukup realistik, tidak banyak berbunga-bunga,” kata Pingkan yang merupakan psikolog klinis peneliti hubungan romantis, Sabtu (5/6/2021).
Baca juga: Balada Rumah Tangga di Tengah Pandemi
Dari penelitian tersebut, tiga hal utama yang ada dipikiran anak muda tentang perkawinan, yaitu hubungan dua pihak yang menyatu, didasari oleh komitmen, dan adanya ikatan yang sah secara hukum dan agama. Ketiganya mirip dengan definisi perkawinan yang ada di UU No 1/1974.
Hal lainnya yang dipikirkan anak muda soal perkawinan adalah upaya yang melibatkan cinta, ada perjanjian, bersifat sukarela, guna membentuk keluarga, untuk hidup bersama pasangan, ibadah dan memiliki keturunan. ”Pandangan ini sekaligus menguatkan besarnya peran religiositas yang mendorong anak muda dalam menikah,” kata Pingkan.
Selain itu, anak muda yang merasa puas dan bahagia dengan hidupnya juga memandang pernikahan sebagai hubungan timbal balik. Namun, mereka yang tidak puas dan bahagia dengan hidupnya justru melihat perkawinan sebagai solusi guna mencari kebahagiaan alias sebagai pelarian. Padahal, tanpa disadari, pernikahan bisa jadi sumber masalah baru.
Baca juga: Membangun Ketahanan Keluarga
Dalam praktiknya, sama seperti pasangan usia lain, anak muda usia 20-25 tahun yang menikah, kata Hepi, pasti akan menjalani proses saling mengenal dan menyesuaikan dengan pasangannya. Bayangan ideal mereka tentang pernikahan lambat laun akan disesuaikan dengan realitas yang ada. ”Semua pernikahan pasti ada fase ’bulan madu’-nya yang biasanya hanya bertahan beberapa bulan,” katanya.
Perkembangan
Meski pandangan anak muda Indoensia tentang pernikahan masih normatif positif dan banyak dipengaruhi religiositas mereka, pada saat bersamaan juga terjadi kemunduran perkembangan dan kematangan mental anak muda. Studi di Amerika Serikat pada tahun 1960-an menunjukkan, seseorang berumur 18 tahun sudah dianggap dewasa. Mereka akan keluar rumah orangtua, bekerja, mandiri secara finansial, berjuang sendiri, hingga akhirnya siap menikah.
Nyatanya, studi terbaru dari berbagai ahli psikologi perkembangan di negara-negara Barat pada sekitar tahun 2000 menunjukkan banyak anak muda berumur 20-an tahun yang situasinya berkebalikan dengan ciri perkembangan mereka beberapa dekade sebelumnya. Mereka banyak yang masih tinggal dan berada dalam asuhan orangtua, bahkan pengambilan keputusan pun banyak yang ditentukan orangtua.
Jika dewasa dimaknai sebagai kemampuan seseorang mandiri mengambil putusan untuk diri sendiri, punya kejelasan dan tujuan hidup, serta mampu memikirkan orang lain, itu belum sepenuhnya terjadi pada anak muda usia 18-25 tahun sekarang. Mereka justru banyak yang masih dalam proses pencarian jati diri serta fokus mengeksplorasi potensi dan keinginan diri di antara berbagai opsi yang mereka miliki, termasuk dalam soal karier dan percintaan.
Baca juga: Pernikahan Anak Usia 14 Tahun Terjadi di Musi Banyuasin
”Kini, umur 18-25 tahun dikelompokkan sebagai emerging adulthood, fase saat mereka akan masuk sebagai manusia dewasa. Artinya, mereka belum dewasa penuh,” kata Pingkan. Meski studi perkembangan anak muda ini banyak dilakukan di Barat, masalah serupa akan mudah ditemui pada anak muda Indonesia.
Dengan kondisi perkembangan psikologis tersebut, anak muda umur 20-25 tahun yang menikah akan memiliki tantangan lebih berat. Di saat mereka belum selesai dengan urusan diri sendiri, mereka sudah harus memikirkan orang lain, baik itu pasangan, anak, mertua, maupun keluarga besar yang terbentuk akibat pernikahan. Persoalan itu akan makin rumit jika seseorang menikah bukan atas kehendak sendiri, melainkan tekanan pihak lain, baik akibat perjodohan maupun terpaksa dinikahkan akibat kehamilan di luar pernikahan.
Untuk mampu menjaga dan mempertahankan perkawinan, setiap calon pengantin perlu memiliki sejumlah keterampilan hidup. CH Wiryasti dalam tesisnya, ”Modifikasi dan Uji Validitas dan Reliabilitas Inventori Kesiapan Menikah”, Universitas Indonesia, 2004, menyebut kemampuan individu yang dibutuhkan saat menyandang peran baru sebagai suami atau istri itu antara lain kemampuan berkomunikasi, mengelola keuangan, pengasuhan anak, serta pembagian peran suami dan istri.
Kini, umur 18-25 tahun dikelompokkan sebagai emerging adulthood, fase saat mereka akan masuk sebagai manusia dewasa. Artinya, mereka belum dewasa penuh.
Kompetensi lain yang dibutuhkan untuk menikah adalah memahami latar belakang pasangan dan relasinya dengan keluarga besar, persoalan agama, serta pemahaman dan penyelarasan minat dan pemanfaatan waktu luang. Dibutuhkan pula kemampuan memahami perubahan sikap pasangan dan pola hidup baru akibat perkawinan, serta mengelola perbedaan latar belakang suku pasangan.
”Saat menikah, seseorang diharapkan sudah memiliki keterampilan tersebut walau belum sempurna karena sejatinya pernikahan adalah proses tumbuh bersama,” kata Pingkan. Namun, jika seseorang yang menikah masih dalam tahap mempelajari kemampuan tersebut sesuai perkembangan psikologis anak muda, tentu pernikahan akan menjadi lebih menantang.
Baca juga: Pastikan Konseling Pranikah Berkualitas
Berbagai keterampilan hidup untuk menikah itu tidak bisa dipelajari mendadak. tetapi dibentuk sejak mereka masih anak-anak atau remaja. Dalam keterampilan berkomunikasi, misalnya, anak perlu diajarkan bagaimana mengungkapkan perasaannya tanpa melukai orang lain atau menjadi pendengar yang baik. Sementara kemampuan meregulasi diri bisa dibiasakan dengan mengenali dan mengelola emosinya sejak dini meski otaknya belum matang.
Upaya mengenalkan anak dengan keterampilan hidup itu sebenarnya menjadi materi utama dalam pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas di sekolah. Namun, pendidikan ini sudah telanjur disalahpahami sebagian besar masyarakat hingga kerap dituding justru mengajarkan seks bebas.
Kurangnya berbagai keterampilan hidup itu membuat seseorang lebih mudah merasa tidak puas hingga kurang bahagia dengan pernikahan yang dijalani. Jika pernikahan menjadi kurang memuaskan dan tidak bahagia, risiko perceraian menjadi makin besar. ”Perceraian terkadang sulit dihindari karena perceraian juga bisa menjadi kunci perkembangan seseorang dan membuka kesempatan bagi seseorang untuk tumbuh menjadi individu lebih baik,” kata Pingkan.
Saat menikah, seseorang diharapkan sudah memiliki keterampilan tersebut walau belum sempurna karena sejatinya pernikahan adalah proses tumbuh bersama.
Namun, perceraian pun kerap menimbulkan persoalan dilematis karena pasti akan mengorbankan anak. Namun, orangtua yang mempertahankan pernikahan yang tidak bahagia demi anak juga bisa berakibat buruk bagi kesejahteraan orangtua yang dampaknya akan berimbas pada anak. Pada kondisi inilah kemampuan orangtua menilai dampak buruk suatu tindakan diperlukan.
Dalam situasi ini, religiositas yang mendorong pernikahan seharusnya juga lebih mampu menyelematkan perkawinan. Dari studi Hepi, pernikahan yang didasari atas pemahaman agama yang tinggi umumnya akan menghasilkan komitmen tinggi dalam pernikahan. Komitmen itu akan membuat seseorang rela berkorban demi pasangan dan keluarganya hingga meningkatkan kualitas perkawinan. ”Agama berperan penting dalam memelihara perkawinan,” katanya.
Karena itu, umur seseorang sulit dijadikan patokan untuk menentukan kesiapan seseorang untuk menikah. Kedewasaan berpikir, kematangan emosional, kesiapan finansial, hingga bekal keterampilan hidup yang memadai bisa dijadikan pertimbangan untuk menentukan seberapa siap seseorang menjalani pernikahan dan membina rumah tangga.
Jadi, seberapa siap kamu untuk menikah sekarang?