Di tengah minimnya penggunaan aksara lokal, semangat melestarikan aksara Jawa masih membara di Daerah Istimewa Yogyakarta. Semua ikhtiar itu dianggap menjadi bagian proses membangun kembali peradaban.
Oleh
HARIS FIRDAUS/GREGORIUS M FINESSO
·5 menit baca
Saat penggunaan bahasa lokal kian minim di era mondial, semangat pelestarian aksara Jawa masih membara di Daerah Istimewa Yogyakarta. Hanya, jika dulu dongeng Aji Saka sudah cukup menarik anak-anak belajar, kini upaya literasi didorong kian kreatif.
Tiga perempuan duduk di salah satu sudut Sanggar Seni Kinanti Sekar, Kota Yogyakarta, Jumat (11/6/2021) sore. Di tangan mereka, terdapat selembar kertas dengan tulisan aksara Jawa. Sesudah membaca larik demi larik, mereka mulai mengalihaksarakan tulisan tersebut ke huruf Latin.
“Kalau sudah selesai, nanti kita nyanyikan sama-sama ya tembang ini,” tutur pengajar kursus aksara Jawa di Sanggar Seni Kinanti Sekar, Tio Cahya Sadewa (23), kepada tiga perempuan peserta kursus membaca dan menulis aksara Jawa di Sanggar Seni Kinanti Sekar.
Tio mengaku metodenya mengajar seperti di sekolah pada umumnya. Selain dengan menulis di papan tulis, dia juga menyiapkan materi tertulis. “Lalu biasanya saya beri soal. Kalau ada yang salah, nanti kami bahas bareng,” ujar Tio, lulusan program studi Sastra Jawa Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Di sanggar itu, saat ini juga ada mahasiswi Ekuador yang sedang belajar aksara Jawa.
Monica Kusumaningrum (34), salah satu peserta kursus, mengaku tertarik mengikuti kursus aksara Jawa karena ingin ikut melestarikan aksara peninggalan nenek moyang itu. Setelah mahir membaca dan menulis aksara Jawa, Monica juga ingin mengenalkan aksara tersebut ke anaknya.
“Saya ingin ikut nguri-nguri (melestarikan) budaya Jawa. Setelah saya bisa, saya juga ingin mengajarkan ke generasi berikutnya biar aksara Jawa ini enggak hilang. Kalau kita enggak melestarikan, siapa lagi yang mau,” kata ibu rumah tangga yang tinggal di Kabupaten Sleman, DIY, itu.
Monica mengaku, faktor lain yang mendorongnya belajar aksara Jawa adalah mulai banyaknya tempat di DIY yang memakai aksara Jawa. Salah satunya untuk papan nama jalan dan instansi pemerintahan.
Saya ingin ikut nguri-nguri (melestarikan) budaya Jawa. Setelah saya bisa, saya juga ingin mengajarkan ke generasi berikutnya biar aksara Jawa ini enggak hilang. Kalau kita enggak melestarikan, siapa lagi yang mau. (Monica Kusumaningrum)
Pengajaran aksara Jawa secara rutin juga diberikan kepada para abdi dalem di Keraton Yogyakarta. Seperti Selasa (8/6/2021) siang, sekitar 30 abdi dalem duduk bersila di sebuah ruangan dengan busana tradisional Jawa. Meski kebanyakan berusia lanjut, mereka semangat mengeja kata demi kata dari sebuah buku yang ditulis dengan aksara Jawa.
“Keraton Yogyakarta itu kan pusat budaya Jawa. Jadi, abdi dalem yang mengabdi di keraton itu tidak elok kalau tidak bisa menulis aksara Jawa,” ujar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Rintaiswara, salah seorang pengajar pelatihan aksara Jawa untuk abdi dalem Keraton Yogyakarta.
Pelatihan itu digelar sejak beberapa tahun lalu secara periodik dengan jumlah peserta sekitar 30 orang per angkatan. Satu angkatan biasanya menjalani pelatihan selama tiga bulan dengan frekuensi pertemuan dua kali seminggu, yakni setiap Selasa dan Kamis pukul 10.00-12.00.
Sebelum pandemi Covid-19, pelatihan itu bisa digelar hingga tiga angkatan dalam setahun. Namun, saat pandemi melanda, pelatihan terhenti sekitar setahun dan baru digelar kembali beberapa waktu terakhir dengan protokol kesehatan. “Pelatihan ini sekarang sudah masuk angkatan ke-13,” tuturnya.
Selain untuk abdi dalem, Keraton Yogyakarta juga menggelar pelatihan aksara Jawa untuk masyarakat umum yang digelar saban Jumat sore secara gratis. Namun, selama pandemi, kegiatan itu sementara mandek.
M Sofian (51), pengajar Bahasa Jawa di salah satu SMP di Kota Yogyakarta mengakui, hampir dua dekade terakhir, minat siswa belajar aksara dan Bahasa Jawa semakin kecil. Padahal, sudah ada Peraturan Gubernur Provinsi DIY No 64 Tahun 2013 tentang Mata Pelajaran Bahasa Jawa Sebagai Muatan Lokal Wajib di Sekolah atau Madrasah.
“Anak-anak biasanya belajar sambil lalu saja. Mungkin pengajarannya mesti lebih kreatif. Kalau dulu, dengan cerita Aji Saka saja, satu kelas pasti sudah tertarik,” ujar Sofwan. Dia melanjutkan, “Target kami tidak muluk-muluk. Yang penting, anak-anak ini tidak lupa akar budayanya.”
Dalam buku Dari Pujangga ke Penulis Jawa (1995), Linus Suryadi menulis, pembelajaran aksara Jawa kepada anak-anak, tak bisa dipisahkan dari mitologi Aji Saka. Meski demikian, secara historis, Poerbatjaraka dalam Kepustakaan Djawa (1957) memaparkan, aksara Jawa Baru adalah evolusi dari aksara Pallawa yang dipengaruhi kedatangan orang-orang India sekitar abad VII. Adapun aksara Jawa Baru yang terdiri dari dua puluh kata: ha-na-ca-ra-ka//da-ta-sa-wa-la//pa-dha-ja-ya-nya//ma-ga-ba-tha-nga, mulai ditemukan dalam sejumlah kitab pada awal abad XVI.
Pelatihan aksara Jawa secara kreatif, misalnya dihelat komunitas Geberjawa Semesta Mahardhika. Komunitas yang terbentuk sejak Desember 2020 itu rutin menggelar pelatihan aksara Jawa untuk anak-anak di Kelurahan Bausasran, Kecamatan Danurejan, Kota Yogyakarta.
“Geberjawa itu akronim dari gembira beraksara Jawa. Jadi, kami ingin mengajak belajar aksara Jawa dengan semangat kegembiraan,” ujar Sekretaris Geberjawa Semesta Mahardhika, Syafaat Noor Rahman (45).
Syafaat menuturkan, pembelajaran oleh Geberjawa memakai metode khusus yang disebut Prahana. Metode tersebut diciptakan Joko Elysanto, pegiat aksara Jawa yang juga personel grup musik Genk Kobra. Dalam Metode Prahana, pembelajaran aksara Jawa dimulai dari 11 huruf, yakni ha, pa, ya, sa, ra, na, ma, dha, ngi, ja, wa.
Sebelas huruf itu kemudian dibagi menjadi empat kategori berdasarkan bentuknya, yakni lengkung, lingkaran, gerigi, dan runcing. Metode ini membuat pembelajaran aksara Jawa lebih mudah. Saat mengajarkan aksara Jawa pada anak-anak, para pegiat Geberjawa juga memadukan Metode Prahana dengan mewarnai dan bermain untuk menarik minat mereka.
Berbagai upaya kekinian melestarikan aksara Jawa, tak hanya mengenalkan kembali produk budaya itu ke masyarakat. Semua ikhtiar itu adalah proses membangun kembali peradaban. Sebab, saat suatu masyarakat tak lagi menggunakan aksaranya, mereka sedang menghapus peradabannya sendiri. (Setya Amrih Prasaja).
Selain secara konvensional, ada juga komunitas di DIY yang berfokus pada digitalisasi aksara Jawa, misalnya komunitas Seneng Gaul Jawa Budaya Linuhung (Sega Jabung). Komunitas yang resmi berdiri tahun 2019 itu aktif memperkenalkan pemakaian aksara Jawa di telepon pintar dan komputer. Melalui kegiatan itu, diharapkan aksara Jawa makin akrab dengan generasi milenial.
Seperti disampaikan pendiri Sega Jabung, Setya Amrih Prasaja (39). Berbagai upaya kekinian melestarikan aksara Jawa, tak hanya mengenalkan kembali produk budaya itu ke masyarakat. Semua ikhtiar itu adalah proses membangun kembali peradaban. Sebab, saat suatu masyarakat tak lagi menggunakan aksaranya, mereka sedang menghapus peradabannya sendiri.