Layanan Terpadu bagi Pekerja Migran Belum Berperspektif HAM dan Jender
Perempuan pekerja migran memiliki kerentanan saat mulai persiapan berangkat hingga berada di luar negeri. Upaya yang memastikan mereka melalui proses resmi melalui layanan terpadu satu atap diharapkan melindungi mereka.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Layanan terpadu satu atap yang diselenggarakan pemerintah di sejumlah daerah dinilai belum berperspektif hak asasi manusia dan jender. Padahal, layanan itu diberikan kepada para pekerja migran yang mayoritas perempuan. Sejauh ini, layanan tersebut belum terpadu dan hanya dipahami sebatas layanan administrasi.
Sosialisasi tentang layanan tersebut pun masih minim. Akibatnya, pengetahuan kalangan para calon pekerja migran Indonesia (PMI) juga rendah. Begitu juga pengetahuan pemerintah desa tentang layanan terpadu satu atap (LTSA) masih sekitar 20 persen.
Demikian hasil riset ”Pelindungan Pekerja Migran Indonesia melalui Layanan Terpadu Satu Atap Berperspektif HAM dan Jender” yang dilakukan Jaringan Buruh Migran (JBM), yang diluncurkan Kamis (10/6/2021). Pada penelitian yang dilakukan di Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Karawang, dan Kabupaten Lombok Timur, masih belum terlihat aspek responsif jender dalam penyelenggaraan LTSA.
”Padahal, sudah lama kita punya perhatian untuk pengarusutamaan jender melalui Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000, tetapi sampai sekarang masih sulit diterapkan. Jadi, aspek responsif jender belum kelihatan dari LTSA walaupun kebanyakan dari calon PMI yang akan keluar negeri itu perempuan juga,” ujar Avyanthi Azis, Peneliti Utama dalam diskusi yang dipandu Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Mike Verawati terkait hasil penelitian ”Perlindungan PMI melalui LTSA yang Berperspektif HAM dan Jender”.
Dari penelitian juga ditemukan ada kedekatan LTSA dengan pihak swasta, yang diindikasikan melanggengkan perantaraan dalam layanan terhadap PMI. LTSA tidak diakses mandiri oleh calon PMI yang mayoritas perempuan, tetapi PMI masih dibawa oknum calo atau petugas perusahaan penempatan PMI (P3MI).
Melanggengkan eksploitasi
Savitri Wisnuwardhani, Sekretariat Nasional JBM, memaparkan, LTSA merupakan amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan PMI. Layanan yang diadakan pemerintah provinsi/kabupaten diharapkan mengurangi masalah dan menghilangkan praktek intermediasi oleh broker informal (calo) yang selama ini berkontribusi pada langgengnya praktik eksploitatif terhadap PMI di tiap tahapan migrasi kerja.
”Hingga kini LTSA ada di 45 daerah di tingkat provinsi dan kabupaten. Dari pantauan yang terindentifikasi organisasi pekerja migran dan organisasi pemerhati pekerja migran Indonesia, masih banyak ditemukan praktik yang minim perlindungan sehingga fungsi LTSA tidak berjalan maksimal,” ujar Savitri.
Dari pantauan yang terindentifikasi organisasi pekerja migran dan organisasi pemerhati pekerja migran Indonesia, masih banyak ditemukan praktik yang minim perlindungan.
Sebagai contoh, ada indikasi LTSA justru mempermudah broker informal untuk mengurus dokumen kerja pekerja migran Indonesia dibandingkan pekerjanya sendiri, PMI tidak banyak yang mengetahui adanya keberadaan dan kegunaan LTSA, belum ada loket pengaduan di LTSA, dan masih banyak lagi.
Dari penelitian ditemukan, hanya 43 responden (20,6 persen) mengetahui tentang LTSA, sedangkan 166 orang (79,4 persen) calon PMI/PMI tidak mengetahui ada LTSA. Mayoritas (42,9 persen) dari 43 responden yang mengetahui LTSA mendapat informasi dari P3MI. Sisanya mengetahui dari serikat atau komunitas PMI, teman PMI dan dari internet/media massa.
Sudaryanto, Senior Program Officer Yayasan TIFA, menilai perempuan masih rentan dalam tata kelola migrasi di Indonesia. Padahal, kesetaraan dan keadilan jender menjadi aspek penting, yang perlu mendapat perhatian penuh dalam berbagai kebijakan terkait buruh migran.
Oleh karena itu, Anwar Maarif, Sekretaris Jenderal DPN Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), mendesak pemerintah segera menerbitkan aturan turunan sesuai amanat UU Perlindungan PMI. Pemerintah juga harus melakukan sosialisasi secara masif tentang pedoman pemda dalam LTSA dan layanan yang berperspektif jender.