Polda Jatim Periksa Pengelola SMA Selamat Pagi Indonesia
Babak baru penyelidikan kasus kejahatan seksual, penganiayaan, dan atau eksploitasi ekonomi di SMA Selamat Pagi Indonesia, Batu. Pengelola sekolah kini diperiksa.
Oleh
AMBROSIUS HARTO DAN DEFRI WERDIONO
·5 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Tim penyidik Kepolisian Daerah Jawa Timur memeriksa Kepala dan Pembina SMA Selamat Pagi Indonesia sebagai saksi di Surabaya, Senin (7/6/2021). Pemeriksaan untuk mengungkap dugaan kejahatan seksual, penganiayaan, dan atau eksploitasi ekonomi yang dilaporkan oleh alumni sekolah berbasis asrama di Batu itu.
”Dua orang sedang diperiksa, yakni Kepala dan Pembina SMA Selamat Pagi Indonesia,” kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jatim Komisaris Besar Gatot Repli Handoko di Surabaya, Senin petang. Keduanya diperiksa sebagai saksi dengan perkiraan pertanyaan seputar pendirian sekolah, pola pendidikan, dan mekanisme pengawasan.
Kasus itu mencuat ketika masuknya laporan dari tiga perempuan lulusan Selamat Pagi Indonesia (SPI) ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu Polda Jatim, Sabtu, 29 Mei. Mereka melaporkan pendiri sekolah, warga Surabaya berinisial JEP, atas dugaan kejahatan seksual, penganiayaan, dan atau eksploitasi ekonomi. Ketiga saksi melapor dengan pendampingan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) serta Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Kependudukan Batu.
Gatot membenarkan, ketiga korban yang melapor kemudian menjalani visum et repertum dan pemeriksaan sebagai saksi. Dalam seminggu terakhir, langkah ketiga korban diikuti pula oleh 12 korban lainnya. Dengan demikian, sudah ada 15 korban yang mengikuti visum et repertum dan pemeriksaan untuk berkas penyelidikan.
”Korbannya dewasa, kebanyakan perempuan, ada juga yang lelaki,” kata Gatot. Mereka melaporkan dugaan kejahatan oleh terlapor JEP ketika masih menempuh pendidikan di SMA SPI.
Gatot juga membenarkan, saluran pengaduan yang dibuka oleh Polda Jatim dan Kepolisian Resor Batu terus menerima laporan dari kalangan masyarakat yang mengaku turut menjadi korban JEP. Ada lebih dari 40 laporan yang masuk melalui saluran pengaduan itu. Laporan secara lisan itu akan lebih baik jika ditindaklanjuti oleh korban dengan membuat laporan tertulis dan visum et repertum.
”Pendalaman kasus masih berlangsung, termasuk hari ini pemeriksaan terhadap pengelola sekolah,” kata Gatot.
Secara terpisah, Ketua Umum Komnas PA Arist Merdeka Sirat mengatakan berkoordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban untuk keamanan dan keselamatan para pelapor. ”Ternyata korban terus bertambah, dilihat dari pelaporan ke hotline (saluran pengaduan) sehingga keselamatan mereka perlu dijamin,” katanya.
Ternyata korban terus bertambah, dilihat dari pelaporan ke hotline sehingga keselamatan mereka perlu dijamin.
Arist meminta masyarakat mengawal pengusutan kasus tersebut. Selain itu, memahami pentingnya keselamatan para pelapor agar mereka dapat memberikan keterangan tanpa ada tekanan. Masyarakat juga patut membantu Polri dengan melaporkan dugaan tekanan dari berbagai pihak yang terindikasi ingin menghambat pengusutan kasus tersebut.
Demo
Sementara itu, sejumlah anggota organisasi masyarakat Pemuda Pancasila (PP) Kota Batu menggelar aksi damai di depan SMA SPI, Senin pagi. Tidak hanya berorasi, mereka juga membentangkan sejumlah poster, antara lain berbunyi ”Tutup SPI”, ”Usut SPI Sampai Tuntas”, ”Stop Pelecehan Seksual”, dan ”Hukum Seberat-beratnya Pelaku Pelecehan”.
Anggota PP sekaligus Wakil Ketua II DPRD Kota Batu Heli Suyanto mengatakan, pihaknya berupaya memberikan dukungan bagi siswa-siswi SPI. Untuk proses hukum yang saat ini ditangan Polda Jatim, pihaknya menyerahkan sepenuhnya kepada kepolisian.
”Pertama, kami ingin memastikan, kondisi anak-anak di sini seperti apa? Kami memberikan dukungan moral, rasa aman dan nyaman kepada siswa. Kedua, kami bantu adik-adik yang masih tinggal di sini untuk melaporkan kalau memang terjadi dugaan pelecehan,” ujarnya.
Menurut Heli, dugaan kasus pelecehan seksual yang menimpa alumni SPI di Batu sangat ironis karena hal itu terjadi di sekolah unggulan. Hal seperti ini tidak boleh terjadi lagi, termasuk di tempat lain.
Dalam aksi kali ini, perwakilan PP juga berdialog dengan pihak sekolah dan siswa. Namun, mereka tidak bertemu kepala sekolah karena yang bersangkutan tengah menjalani pemeriksaan di Polda Jatim bersama salah satu manajer sekolah.
SMA SPI berstatus swasta dan berbasis asrama (boarding school) seperti SMA pondok pesantren dan seminari. Siswa-siswi belajar dan tinggal bersama selama proses pendidikan. Meski berbasis asrama, SMA ini tidak tertutup bagi pengawasan oleh masyarakat atau pemerintah. Selain itu, bagian program double track atau jalur ganda yang diinisiasi oleh Pemprov Jatim pada 2018 untuk menekan penganggur lulusan SMA. Program jalur ganda berupa pemberian berbagai keterampilan sesuai minat pelajar dengan memanfaatkan kegiatan ekstrakurikuler pada tahun terakhir.
Para pelajar di SMA SPI diseleksi dari keluarga miskin di seluruh Nusantara sehingga dibebaskan dari biaya pendidikan. Selama bersekolah, siswa dan siswi mengikuti pengembangan bakat kewirausahaan. Mereka ikut mengelola unit-unit usaha, yakni akomodasi, konsumsi, transportasi, dan penyelenggaraan acara, sehingga diberi uang saku. Pelajar yang menonjol dan berprestasi diberi apresiasi lebih, antara lain wisata edukasi ke mancanegara.
Arist mengatakan, sebenarnya model pengajaran di SMA SPI amat baik dan seolah tanpa cela. Namun, keyakinan Komnas PA terhadap kebaikan institusi pendidikan itu luntur ketika ada laporan dari alumni yang merasa menjadi korban kejahatan multidimensi ketika bersekolah. ”Dugaan kejahatan yang terjadi di sana luar biasa sehingga harus diusut tuntas dengan seterang-terangnya,” ujarnya.
Sementara itu, salah satu guru Bahasa Inggris SMA SPI, Akhiyat, menyebutkan, selama 14 tahun mengajar di tempat ini, dirinya tidak pernah mendengar ada kabar soal ada siswa yang mengalami pelecehan seksual dan kekerasan terhadap anak. ”Tidak ada,” katanya.
Setelah berita dugaan pelecehan seksual dan eksploitasi kerja anak muncul 10 hari terakhir, menurut Akhiyat, pihaknya langsung menanyai para siswa. ”Mereka mengatakan di sini enjoy-enjoy saja, senang-senang saja, ujian juga seperti biasa, makan juga seperti biasa,” ujarnya.
Namun, saat ditanya lebih lanjut apakah pihak sekolah juga membuka posko atau semacam tempat pengaduan bagi mereka yang mengalami tindakan kurang menyenangkan, Akhiyat mengatakan, kepala sekolah yang bisa menjawab pertanyaan itu.
Adapun Ani, salah satu siswa SPI, kepada perwakilan aksi mengatakan, kabar dugaan pelecahan itu ternyata sampai juga ke telinga orangtua mereka di luar daerah. Orangtua pun menelepon dan menanyakan peristiwa yang sebenarnya terjadi.
”Sebelum ada berita, orangtua kami support karena ini mengajarkan kami soal kemandirian,” ujarnya. Menurut Ani, selama di SPI dirinya mendapat perlakuan baik. Senin sampai Jumat mengikuti proses pembelajaran, sedangkan Sabtu dan Minggu praktik kewirausahaan (entrepreneurship).
Pihak SMA SPI hingga kini tak berkomentar. Mereka tak membalas pernyataan wartawan, baik lewat telepun maupun pesan singkat.
Sebelumnya, kuasa hukum pihak sekolah, Recky Bernardus & Partner’s, dalam siaran pers yang diberikan kepada awak media, menanggapi tuduhan yang disangkakan kepada JPE terkait kekerasan seksual, kekerasan fisik, dan kekerasan ekonomi.
Recky menyatakan, laporan tersebut belum terbukti dan akan mengikuti semua proses hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pihaknya juga meminta semua pihak dapat menghormati proses hukum yang berjalan dengan tidak mengeluarkan pendapat atau opini yang tidak dapat dipertanggungjawabkan serta dapat menimbulkan dampak negatif bagi kliennya.