Tayangan Sinetron ”Suara Hati Istri: Zahra” Dihentikan Sementara
Tayangan sinetron ”Suara Hati Istri-Zahra” dikhawatirkan akan menyuburkan praktik perkawinan anak, dan berdampak lain yang mengarah pelanggaran hak anak. KPI harus menghentikan sinetron yang sejenis.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
Kompas/Hendra A Setyawan
Kualitas sinetron yang masih di bawah standar menjadi keprihatinan masyarakat yang dituangkan dalam mural di kawasan Cisauk, Tangerang, Banten, Senin (15/3/2021). Hasil Riset Indeks Kualitas Program Siaran TV Periode II-2019 yang dirilis Komisi Penyiaran Indonesia pada 2019 menyatakan, kualitas program-program siaran tersebut dalam lima terakhir masih rendah karena memuat kekerasan, tidak memiliki kepekaan sosial, topik tidak relevan, dan kurang menghormati norma sosial serta kehidupan pribadi.
JAKARTA, KOMPAS — Pascasorotan publik, tayangan sinetron ”Suara Hati Istri: Zahra” akhirnya akan dihentikan sementara oleh stasiun televisi Indosiar. Penghentian tayangan itu dilakukan setelah Komisi Penyiaran Indonesia mengevaluasi sinetron itu melalui pembahasan dengan Indosiar dan Mega Kreasi Film selaku rumah produksi dari sinetron tersebut,
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melalui keterangan pers yang dikeluarkan pada Jumat (4/6/2021) malam menyatakan, dari evaluasi tersebut, tayangan tersebut dihentikan. Wakil Ketua KPI Mulyo Hadi Purnomo menyampaikan keputusan itu diambil setelah pertemuan antara KPI dengan Indosiar dan Mega Kreasi Film, sehari sebelumnya, Kamis (3/6/2021).
Pada pertemuan itu, KPI meminta adanya evaluasi secara menyeluruh terhadap Mega Series Suara Hati Istri: ”Zahra” yang dinilai memiliki muatan yang berpotensi melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) KPI 2012.
Evaluasi tersebut di antaranya mencakup jalan cerita dan kesesuaiannya dengan klasifikasi program siaran yang ditentukan serta penggunaan artis yang masih berusia 15 tahun untuk berperan sebagai istri ketiga. ”Dari data media sosial KPI menunjukkan sentimen negatif yang cukup tinggi atas sinetron ini sejak 25 Mei lalu,” ujar Mulyo.
Pada pertemuan dengan KPI, pihak Indosiar yang diwakili Direktur Program Harsiwi Ahmad berkomitmen untuk mengubah jalan cerita dari sinetron Zahra. Pihak Indosiar memahami masukan terkait kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan juga romantisme yang dibangun dalam cerita ini. Namun, kalau dianggap sinetron ini menjadi promosi pernikahan dini, Harsiwi tidak sepakat karena dalam sinetron Zahra diceritakan telah lulus SMA.
Dari data media sosial KPI menunjukkan sentimen negatif yang cukup tinggi atas sinetron ini sejak 25 Mei lalu.
Sementara terkait poligami, ide awalnya ingin memberikan gambaran proporsional poligami yang bisa memicu masalah dan intrik. Meski demikian, pihak Indosiar bersiap mengganti pemeran Zahra dengan artis lain yang usianya sudah bukan remaja, sehingga memenuhi kepantasan usia atas peran yang diberikan dan alur cerita yang sesuai jam penayangan.
Terkait dengan sinetron itu, Naswardi, Komisioner Lembaga Sensor Film mengungkapkan pihaknya telah berdialog dengan Mega Kreasi Film (MKF) pada Jumat siang. Hasil dari dialog itu meliputi antara lain, MKF mengganti pameran Zahra di Sinetron tersebut dengan aktris yang tidak lagi berusia anak. ”MKF akan mengubah alur cerita dan mengganti judul sinetron itu,” kata Naswardi.
Bisa pengaruhi masyarakat
Secara terpisah, Deputi Perlindungan Khusus Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nahar mengungkapkan, tayangan sinetron Zahra berisiko memengaruhi masyarakat untuk melakukan perkawinan usia anak, kekerasan seksual dan tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Karena pada tayangan itu diceritakan bahwa Zahra sebagai pemeran utama dinikahkan dengan alasan untuk membayar utang keluarganya. Jika nanti ditemukan kasus serupa di lapangan dan setelah digali peristiwa tersebut merupakan bentuk imitasi dari yang disiarkan oleh stasiun televisi, pihak stasiun televisi terkait bisa dipidanakan sesuai peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itu, KemenPPPA akan memastikan jangan sampai tayangan sinetron tersebut justru menyuburkan praktik perkawinan anak, dan berdampak lain yang mengarah pada pelanggaran hak anak.
Sementara itu, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto menyatakan, sebagai respons dan tindak lanjut keluhan dari masyarakat, Kamis lalu, KPAI telah bertemu secara daring dengan pihak KPI, Lembaga Sensor Film, KemenPPPA, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta Kantor Staf Presiden.
Rapat itu menghasilkan delapan poin antara lain perlu ditingkatkan kualitas perlindungan anak di lembaga penyiaran dan jaringan media sosial milik lembaga penyiaran; memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak dalam pengembangan bakat dan minat, sebagai pekerja seni termasuk memperhatikan peran dan adegan yang dilakukan oleh anak harus sesuai dengan tahapan usia dan perkembangannya; serta memastikan perlindungan anak dalam proses perencanaan produksi, produksi dan penayangan.
Hingga Jumat, Masyarakat Sipil yang tergabung dalam gerakan pencegahan perkawinan anak atau biasa disebut jaringan Koalisi 18+ terus menggalang petisi melalui surat terbuka, agar KPI dan Kominfo menurunkan seluruh episode tayangan siaran ”Suara Hati Istri: Zahra”.
Tayangan menggambarkan pelaku kawin anak, pelaku poligami dan pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang tayang setiap hari pukul 18.00 WIB dari arsip TV, Youtube, Twitter, Google, Instagram, dan media sosial lainnya yang dapat mengakses siaran tersebut, harus dihentikan.
”Sebenarnya kritikan dari berbagai komunitas itu tidak ingin hanya direspons dengan mengganti pemain. Yang lebih dikritisi adalah dari sisi alur cerita yang sangat tidak mengedukasi masyarakat. Tayangan yang melanggengkan praktik perkawinan anak, apalagi pada jam tayang yang masih sore dimungkinkan anak-anak yang akan ikut menonton alur cerita orang dewasa,” ujar Evie Permatasari dari Lembaga Partisipasi Perempuan (LP2).