Siaran Televisi tentang Kehidupan Pribadi Abaikan Kepentingan Publik
Penyiaran televisi Indonesia masih diwarnai konten tentang kehidupan pribadi pesohor. Tayangan yang menggunakan frekuensi publik ini mengabaikan kepentingan masyarakat.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Staf analis memonitor siaran televisi nasional di ruag Analisa Pemantauan Langsung Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Jakarta, Rabu (1/8/2018).
JAKARTA, KOMPAS — Konten yang mengumbar kehidupan pribadi para figur publik masih kerap ditayangkan sejumlah stasiun televisi. Selain tidak sesuai dengan pedoman perilaku penyiaran, hal ini juga turut mengabaikan kepentingan publik.
Isu ini mengemuka di diskusi daring berjudul ”Zero Privasi Tayangan Selebritas: Perspektif Gender dan Media”, Kamis (3/6/2021). Diskusi ini menyoroti penayangan kehidupan pribadi para pesohor di televisi yang mulai sejak tahun 1990-an.
Menurut pegiat media penyiaran Lestari Nurhajati, hal ini bertentangan dengan Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 01/P/KPI/03/2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran. Peraturan itu menyebutkan hak privasi atas kehidupan pribadi. Kehidupan pribadi yang tidak berkaitan dengan kepentingan publik sepatutnya tidak disiarkan.
Adapun kehidupan pribadi yang dimaksud, antara lain, meliputi perkawinan, perceraian, perselingkuhan, konflik keluarga, konflik pribadi, keyakinan beragama, rahasia pribadi, dan hubungan asmara.
”Hal yang bersifat pribadi itu masih banyak dan menjadi konsumsi publik. Padahal, itu tidak layak muncul di televisi yang menggunakan frekuensi publik,” ujar Lestari, yang juga pengajar Institut Komunikasi dan Bisnis London School of Public Relations (LSPR).
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Seorang pedagang makanan menonton sinetron yang disiarkan di televisi, Senin (15/3/2021) di Jakarta. Sinetron jadi salah satu hiburan warga yang mudah diakses dan gratis.
Sebelumnya, pada April 2021, pernikahan artis Aurel Hermansyah-Atta Halilintar dikritik lantaran disiarkan dengan frekuensi publik selama 3,5 jam. Pernikahan sejumlah artis sebelumnya pun tak luput dari kritik.
Kehidupan pribadi pesohor yang diumbar di televisi tidak berkontribusi buat kepentingan publik. Informasi yang disajikan pun dinilai tidak edukatif. Lestari menilai, tayangan ini tetap muncul karena ada pembiaran dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
KOMPAS/FAJAR RAMADHAN
Raharjo (78), warga RT 008 RW 004 Kelurahan Palmerah, Palmerah, Jakarta Barat, saat menonton tayangan televisi di kios bensinnya pada Minggu (14/3/2021) siang. Raharjo mengaku bersemangat menerima vaksin, tapi kesulitan untuk mendaftar.
Di sisi lain, mengumbar kehidupan pribadi dinilai sebagai strategi media untuk meningkatkan rating televisi. Namun, sistem rating tidak menggambarkan kondisi penonton di Indonesia karena hanya menyorot kota-kota besar di Indonesia.
Ini mengacu pada Nielsen Television Audience Measurement (TAM) yang dilakukan di 11 kota, yaitu Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surakarta, Surabaya, Denpasar, Medan, Palembang, Makassar, dan Banjarmasin. Penilaian dilakukan terhadap penonton berusia di atas lima tahun.
Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Mike Verawati mengatakan, tayangan kehidupan pribadi dapat disiarkan bila disisipkan aspek edukasi. Ini agar penonton mendapat inspirasi, jawaban, atau pembelajaran dari perspektif para pesohor.
”Mesti ada aspek penyeimbang saat mengangkat hal pribadi. Misalnya, bila artis A menerima kekerasan dalam rumah tangga, sebaiknya ada informasi tentang apa yang seharusnya dilakukan bila menerima KDRT. Namun, yang terjadi adalah sosok artisnya di-blow up besar-besaran,” ucap Mike.
Kompas/Priyombodo
Pedagang pasar Santa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, menyaksikan siaran langsung melalui televisi proses penyuntikan vaksin Covid-19 kepada Presiden Joko Widodo, Rabu (13/1/2021). Presiden Joko Widodo menjadi orang pertama yang mendapatkan vaksin Covid-19 produksi Sinovac Biotech, China. Indonesia memulai vaksinasi Covid-19 massal tahap pertama yang pemberiannya diprioritaskan kepada kelompok paling rentan terpapar Covid-19, seperti petugas kesehatan, pelayanan publik, serta warga lansia.
Pengurus Divisi Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta Marina Nasution mengatakan, AJI Jakarta tidak sepakat dengan tayangan-tayangan tersebut karena merampas hak publik. Hal itu pun tidak sesuai dengan kode etik jurnalistik.
Pada Kode Etik Jurnalistik Pasal 9, wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik. Menurut Marina, kode etik ini kerap diabaikan sehingga tayangan yang mengumbar kehidupan pribadi pesohor tetap mendapat tempat.
”Di sisi lain, tayangan seperti ini membuat publik jauh dengan isu substansial yang sebenarnya lekat dengan kehidupan mereka. Muatan yang berguna dibutuhkan sehingga masyarakat mendapat sesuatu, serta bisa membuat keputusan di kehidupannya sebagai warga negara,” kata Marina.
Secara kelembagaan, KPI berkali-kali melayangkan teguran kepada sejumlah program siaran di stasiun televisi. ”Tidak semua hal yang viral di media sosial mesti masuk ke dalam ruang siaran. Televisi saat ini banyak yang terlalu ceroboh mengambil muatan viral di media sosial demi sesuatu yang sensasional agar ditonton. Mestinya dilihat dan dipertimbangkan apa dampak dan manfaatnya bagi masyarakat. Bagaimana pun televisi sebagai ruang publik ini harus dimanfaatkan sebesar-besar untuk kepentingan masyarakat lewat informasi dan siaran yang baik serta berkualitas,” kata Wakil Ketua KPI Pusat Mulyo Hadi Purnomo dalam laman kpi.go.id