Mendampingi Pendidikan Anak-anak Penghayat Kepercayaan
Banyak sekolah yang masih belum paham, bahkan merasa kaget jika ada penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa ada di negeri ini. Meski perlahan, pelayanan terhadap siswa para penghayat mulai dijalankan.
Setelah lama terabaikan, mulai 2017 pemerintah baru memberikan jaminan adanya layanan pendidikan kepercayaan kepada anak-anak penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sebelumnya, anak-anak penghayat yang bersekolah di sekolah formal ”dipaksa” untuk mengikuti pelajaran agama enam agama yang diakui pemerintah.
Dalam memperjuangkan hak anak-anak penghayat mendapatkan pendidikan sesuai keyakinan diperlukan peran penyuluh atau guru yang menyampaikan pendidikan kepercayaan. Mereka tak hanya mendampingi anak-anak untuk belajar tentang pendidikan kepercayaan, tetapi juga terlibat untuk mengadvokasi orangtua dan anak penghayat saat berhadapan dengan sekolah.
”Di satu sekolah ada satu atau dua anak penghayat. Mereka berhak untuk mendapatkan pendidikan agama yang disebut pendidikan kepercayaan. Saat ada yang meminta, saya mendampingi orangtua untuk menjelaskan ke sekolah. Banyak sekolah yang masih belum paham. Bahkan, merasa kaget jika ada penganut Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa ada di negeri ini,” ujar Ujang Sumarna, penyuluh pendidikan kepercayaan di SMAN 25 Bandung, akhir Mei 2021.
Banyak sekolah yang masih belum paham. Bahkan merasa kaget jika ada penganut keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa ada di negeri ini. (Ujang Sumarna)
Ujang merupakan salah satu penyuluh dari program percontohan Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Ditjen Kebudayaan Kemendikbud Ristek pada 2017. Secara sukarela, Ujang yang sebenarnya guru TIK di salah satu SD swasta di Bandung ini menjalankan tugas dari organisasinya, Aliran Kebatinan Perjalanan, untuk ikut menjadi pengajar bagi anak-anak penghayat yang sebelumnya tidak mendapatkan pendidikan agama sesuai keyakinan.
Menurut Ujang, anak penghayat di sekolah umum yang ingin mendapatkan pendidikan agama sesuai keyakinan harus membuat permohonan. Untuk tingkat SD-SMP diajukan orangtua, sedangkan yang SMA/SMK hingga perguruan tinggi mengajukan sendiri dengan persetujuan orangtua.
Dari situlah terungkap, ada sekolah yang memahami tentang hak anak-anak penghayat, tetapi ada juga sekolah yang belum paham. ”Kami dampingi orangtua untuk berdiskusi dengan pihak sekolah. Butuh waktu, tapi sekolah cukup terbuka jika dijelaskan dengan baik. Ada yang mengizinkan pembelajaran di sekolah anak, ada yang kemudian mengizinkan anak-anak bergabung dengan siswa lain di sanggar,” kata Ujang.
Baca juga: Para Penghayat Kepercayaan Masih Terpinggirkan
Tak lelah menyosialisasikan
Bagi Ujang, tidak boleh ada kata lelah untuk terus menyosialisasikan keberadaan anak-anak penghayat di antara anak-anak Indonesia lainnya yang memeluk agama arus utama yang sudah lama diakui pemerintah. Apalagi, status mereka yang sebagai penyuluh sering kali membingungkan pihak sekolah dan dianggap tidak setara dengan guru agama.
Padahal, para penyuluh ini mendapatkan pelatihan dan bimbingan teknis untuk mampu mengajar. Para penyuluh ini disertifikasi Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Ada yang disertifikasi sebagai penyuluh terampil dan ahli.
”Ada sekolah yang keberatan dengan kehadiran penyuluh karena nanti harus memberi honor. Sebab, sekolah sudah merasa berat membiayai guru honor dari Bantuan Operasional Sekolah. Padahal, kami para penyuluh sudah dapat insentif. Namun, dengan dialog dari ketidaktahuan sekolah, akhirnya jadi tahu dan terbuka mendukung anak penghayat mendapatkan pendidikan sesuai keyakinan,” cerita Ujang.
Penyuluh lainnya, Rela Susanti, mengajar pendidikan kepercayaan untuk siswa SD di kawasan Lembang, Bandung, sejak 2019. Rela yang berlatar belakang pendidikan teknik merasa terpanggil dengan permintaan dari organisasi Budi Daya untuk bisa mengajar anak-anak penghayat.
”Jumlah anak-anak penghayat yang terbuka untuk mendapatkan pendidikan kepercayaan semakin tumbuh. Negara sudah menjamin, tetapi pengajar kurang. Saya merasa terpanggil ikut melayani anak-anak penghayat untuk mendapatkan haknya seperti anak-anak beragama lain,” kata Rela, yang juga aktif di Puan Hayati, organisasi perempuan penghayat kepercayaan.
Rela mengisahkan banyak anak penghayat yang terpaksa memilih suatu agama tertentu saat mengisi kolom agama. Di suatu sekolah negeri, misalnya, si anak perempuan juga berhijab karena sekolah mewajibkan. Ketika ada payung hukum yang menjamin anak penghayat berhak mendapatkan pendidikan sesuai keyakinan, tetap saja ada kegamangan dalam diri anak dan orangtua siswa.
”Orangtua ingin anak medapatkan pendidikan kepercayaan sesuai keyakinan. Tidak mudah untuk bisa meyakinkan pihak sekolah karena sebelumnya si anak mengisi agama tertentu. Akhirnya, dengan pendampingan, saya bisa memastikan anak mendapatkan pendidikan kepercayaan. Namun, ada beban psikologis juga bagi anak untuk melepas pakaian keagamaan karena merasa aneh jika berbeda dari teman-teman lain,” cerita Rela.
Rela tak menampik ada pengalaman diskriminatif bagi penghayat kepercayaan sejak di sekolah. Bahkan, ada guru di sekolah yang mempertanyakan tentang penghayat keeprcayaan kepada anak penghayat di depan kelas dengan nada merendahkan.
Sebagai penyuluh, Rela menemukan jalan untuk memperjuangkan hak anak-anak penghayat mendapatkan pendidikan kepercayaan yang kadang tak selalu mulus. Ada sekolah yang menolak kedatangan penyuluh karena dianggap tidak berlatar belakang pendidikan dan diragukan kompetensinya. Padahal, para penyuluh ini sudah mendapatkan surat tugas dari pemerintah dan disertifikasi secara nasional.
”Saya berharap agar sosialisasi tentang pengakuan terhadap penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sampai ke akar rumput,” tambahnya.
Harapan senada disampikan Ujang. Dia berharap ada keterbukaan dinas pendidikan di semua daerah untuk menginformasikan ke sekolah agar paham bahwa para penganut kepercayaan adalah bagian dari masyarakat Indonesia.
Ujang pun bergabung dengan Sekolah Guru Kebinekaan yang digelar Yayasan Cahaya Guru. Sekolah ini mempertemukan guru-guru yang berbeda agama dan bidang studi untuk memperkuat keberagaman, kemanusiaan, dan kebangsaan di sekolah masing-masing. Para guru saling berbagi dan membuka diri untuk melepas prasangka.
”Jadi, memang harus ada perjumpaan untuk saling mengenal,” kata Ujang.
Ujang berusaha untuk berbesar hati menerima ketidakpahaman, lalu menjadikan kesempatan itu untuk bisa menginformasikan tentang keberadaan para penghayat. Ia mencontohkan, ada mahasiswa penghayat kepercayaan yang sekolah di bidang kesehatan. Ia awalnya sulit untuk mendapatkan izin dari pihak kampus untuk mengenyam pendidikan sesuai keyakinan.
Alasannya, jika kelak lulus jadi perawat, mahasiswa tersebut harus bersumpah sesuai keyakinan dengan didampingi pemuka agama. Ujang pun dengan sabar menjelaskan bahwa pihak kampus bisa meminta pada organisasi penghayat yang juga memiliki pemuka agama untuk dapat mendampingi mahasiswa saat pengabulan sumpah profesi.
Dukungan pemerintah
Menurut Sjamsul Hadi, Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME) dan Masyarakat Adat, Kemendikbud Ristek telah menginisiasi beberapa komitmen berupa regulasi degan menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 27 Tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan terhadap Tuhan YME pada Satuan Pendidikan. Terbitnya Permendikbud tersebut menjadi payung hukum dalam pelaksanaan pembelajaran bagi peserta didik penghayat kepercayaan di sekolah.
Kemendikbud Ristek bermitra dengan Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan YME (MLKI) sebagai wadah nasional bagi penghayat kepercayaan. Sosialisasi Permendikbud dan keberadaan penghayat, baik kepada pihak sekolah maupun pemerintah daerah dilakukan.
Perumusan Permendikbud di atas meliputi sejumlah hal, mulai dari layanan pendidikan kepercayaan, pendataan peserta didik penghayat dan pendidiknya, pemberian insentif kepada tenaga pendidik kepercayaan, penyiapan pendidikan kurikulum kepercayaan, penyediaan buku teks pelajaran bagi siswa kelas 1-12 dan buku pegangan guru, hingga penyiapan bahan peningkatan kompetensi pendidik kepercayaan (penyusunan rencana pembelajaran, penjadwalan, penilaian hasil belajar, dan pelaporan kerja). Ada juga penyusunan buku pedoman pembuatan modul materi pendamping pelajaran pendidikan Tuhan YME, serta pemantauan dan advokasi layanan pendidikan kepercayaan.
Layanan pendidikan kepercayaan terhadap Tuhan YME diberikan karena ada kebutuhan dari peserta didik penghayat kepercayaan pada jenjang PAUD, dasar, menengah, dan kesetaraan. Peserta didik penghayat memenuhi pendidikan agama melalui Pendidikan Kepercayaan dengan lingkup kurikulum meliputi sejarah kepercayaan, keagungan Tuhan, budi pekerti, martabat spiritual, serta larangan dan kewajiban.
Berdasarkan data Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan YME dan Masyarakat Adat, pada awal 2021 tercatat sebanyak 2.868 peserta didik penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME. Mereka tersebar di 15 provinsi, yaitu Aceh, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Utara.
Data per Februari 2021, ada 173 organisasi Kepercayaan Tuhan YME di tingkat pusat yang tersebar di 15 provinsi. Dari jumlah total tersebut, ada 12 organisasi yang tidak aktif. Adapun di tingkat cabang ada 1.000 organisasi yang tersebar di 27 provinsi.
Para peserta didik mendapatkan layanan pendidikan kepercayaan melalui guru yang disebut penyuluh kepercayaan. Kompetensi pendidik kepercayaan terhadap Tuhan YME dalam tugas mengajar mendapat sertifikasi oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi. Tahun 2021 ini, jumlah pendidik kepercayaan di sekolah maupun sanggar sebanyak 145 orang.
”Jumlahnya akan bertambah sesuai kebutuhan. Juga disiapkan pembentukan program studi kepercayaan terhadap Tuhan YME yang dapat mencetak para sarjana pendidikan untuk pemenuhan guru pendidikan kepercayaan sesuai kompetensinya lewat program beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) 2021,” kata Sjamsul.
Sjamsul mengatakan, persebaran peserta didik penghayat kepercayaan tidak merata, ada wilayah yang peserta didiknya banyak dan adapula yang sedikit. ”Berapa pun peserta didik, satu orang atau lebih, yang mengajukan permohonan untuk mendapatkan pembelajaran pendidikan kepercayaan berhak untuk dilayani dan sekolah wajib memfasilitasi pembelajaran tersebut dengan bermitra dengan MLKI untuk menyiapkan tenaga pendidik,” ujarnya.
Anak-anak penghayat biasanya juga bagian dari masyarakat adat yang masih kuat memegang tradisinya. Menurut Sjamsul, peserta didik penghayat selain mendapatkan pengajaran pendidikan kepercayaan secara umum, juga diberikan materi pendamping berupa nilai-nilai tradisi, kearifan loal yang dimiliki sesuai dengan kelokalannya.
Sekolah adat
Pendidikan layanan khusus untuk masyarakat adat juga dapat dikembangkan dengan mengacu Permendikbud No 72 Tahun 2013 tentang Pendidikan Layanan Khusus. Tetapi realitasnya, keberadaan masyarakat adat di Indonesia sangat beragam karena terkait dengan kondisi geografis, kontak-kontak dengan budaya luar dan akses terhadap pendidikan. Hal ini menjadikan pendidikan layanan khusus untuk masyarakat adat sangat bervariasi.
Pendidikan bagi masyarakat adat di luar sekolah formal tidak dapat diperlakukan secara seragam. Karena itu, Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Kemendikbud Ristek mengembangkan konsep kurikulum yang bersifat kontekstual dengan memberikan ruang sekolah-sekolah adat yang didirikan oleh masing-masing masyarakat adat. Mereka dapat menyusun kurikulumnya sendiri yang berbasis kearifan lokal setempat.
Pada April 2021 telah disusun capaian pembelajaran Pendidikan kepercayaan Tuhan YME pada pendidikan khusus yang menjadi acuan pendidik dalam pemberian layanan pendidikan bagi peserta didik penghayat dengan kemampuan intelektual kognitif di bawah rata-rata (tunagrahita).
Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan YME dan Masyarakat Adat mendorong dan memberikan ruang bagi para penghayat dan masyarakat adat serta komunitas tradisi untuk terus menyosialisasikan diri, terlibat dalam berbagai forum diskusi dan ajang ekspresi budaya. Mereka juga didorong untuk meningkatkan kompetensinya dalam berorganisasi, bermasyarakat, membangun jejaring dengan berbagai organsiasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, maupun kementerian/lembaga terkait.
”Kami juga menjalankan program pendataan, pemutakhiran data, advokasi, serta pemberdayaan para penghayat dan masyarakat adat,” kata Sjamsul.