Penghayat Kepercayaan Ambil Bagian dalam Penguatan Toleransi
Kemanusiaan perlu dijunjung sesuai amanat Pancasila. Masyarakat yang toleran terhadap keberagaman pun perlu dibangun bersama.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penghayat Kepercayaan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa berkomitmen untuk berkontribusi terhadap toleransi dalam masyarakat. Ini berangkat dari pemahaman bahwa setiap warga negara berhak menerima perlindungan dan perlakuan sama terlepas dari agama atau kepercayaan yang dianut.
Menurut Ketua Persatuan Warga Sapta Darma (Persada) Pusat Naen Soeryono, penghayat Sapta Darma didorong aktif berkontribusi di lingkungan sosial. Penghayat dinilai harus berperan menciptakan toleransi di masyarakat.
”Para penghayat punya prinsip bahwa di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Jiwa dan negara kami untuk negara. Sebab, kami makan, menghirup udara, dan minum di negara ini,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (29/5/2021).
Para penghayat punya prinsip bahwa di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Jiwa dan negara kami untuk negara. Sebab, kami makan, menghirup udara, dan minum di negara ini. (Naen Soeryono)
Ini sesuai dengan Wewarah Tujuh yang merupakan pedoman penghayat Sapta Darma. Dalam Wewarah Tujuh, penghayat diajarkan untuk berbakti pada negara dan patuh pada hukum. Ajaran Sapta Darma juga mendorong penghayatnya menolong siapa pun tanpa pamrih.
Prinsip itu dipegang walau penghayat kepercayaan rentan terhadap diskriminasi. Mereka kerap menerima perlakuan yang berbeda, baik untuk mengurus administrasi kependudukan maupun mengakses layanan publik. Diskriminasi juga didapat dari lingkungan sosial, pendidikan, dan pekerjaan karena kepercayaan yang mereka anut.
Keadaan mulai membaik setelah Mahkamah Konstitusi menginstruksikan agar data penghayat kepercayaan dicantumkan pada KTP elektronik pada 2017. Hal itu secara tak langsung mengakui kesetaraan penghayat kepercayaan dengan penganut agama lain. Namun, subyektivitas oknum aparat pemerintah dinilai rentan melanggengkan diskriminasi.
Ketua Puan Hayati Pusat Dian Jennie Cahyawati mengatakan, Indonesia dibangun dengan mengakui nilai-nilai keberagaman. Kemanusiaan perlu dijunjung sesuai amanat Pancasila. Masyarakat yang toleran terhadap keberagaman pun perlu dibangun bersama.
”Di Pancasila ada nilai kemanusiaan dan ketuhanan. Setiap ajaran ketuhanan mengakui perbedaan, cinta kasih, dan keadilan. Ini dasar kami untuk bersikap dan bernegara,” kata Dian.
Menurut data Setara Institute, pada 2007-2018 terjadi 2.400 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) di Indonesia. Tiga daerah dengan peristiwa terbanyak adalah Jawa Barat (269), Jawa Timur (270), dan DKI Jakarta (291).
Pada 2019 terjadi 200 peristiwa pelanggaran KBB dengan 327 tindakan. Sementara pada 2020 ada 180 peristiwa pelanggaran KBB dengan 422 tindakan.
Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan mengatakan, pemerintah perlu menangani kelompok intoleran di Indonesia secara serius. Jika tidak, intoleransi akan meluas.
”Ini perlu ditangani secara komprehensif. Pemerintah punya peran besar di sini, begitu pula tokoh masyarakat dan tokoh agama,” tutur Halili, Kamis.
Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Gomar Gultom mengatakan, gereja perlu ikut menyuarakan hak semua orang apa pun keyakinannya. Semua warga negara berhak diakui keberadaannya, dilindungi, dan dipenuhi hak-haknya oleh negara.
”Semua penganut agama di Indonesia harus mampu menghargai keyakinan setiap orang, termasuk penghayat kepercayaan, serta siap bekerja sama membangun bangsa,” katanya, Jumat.