Penghayat Kaharingan Tetap Berjuang agar Diakui Negara
Penghayat Kaharingan masih terasing di ”kampung”-nya sendiri. Mereka mesti berjuang untuk diakui agar mendapat perlindungan yang sama dengan agama lainnya. Bagi mereka, menjadi agama yang utuh adalah jawaban.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Berbagai cara sudah dilakukan para penghayat Kaharingan agar diakui sebagai agama. Bagi mereka, diakui menjadi agama merupakan solusi dari segala bentuk intoleransi ataupun ketikdakadilan terhadap penganut kepercayaan.
Sejak tahun 2012, Ketua Majelis Agama Kaharingan Indonesia (MAKI) Suel sudah bolak-balik ke Jakarta untuk memperjuangkan Kaharingan menjadi sebuah agama. Ia bahkan membawa 86 penghayat untuk bertandang ke Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, hingga kantor DPR RI. Namun, hasilnya masih nihil.
”Usaha kami sudah maksimal. Itu pun sampai sekarang kami masih terus berupaya semua jalan sudah kami lalui dan masih akan terus berjalan,” ungkap Suel di Palangkaraya, Selasa (1/6/2021).
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Penghayat Kaharingan di Palangkaraya sedang melaksanakan ibadah balian pada Jumat (28/5/2021).
Suel menjelaskan, sampai saat ini para penghayat Kaharingan masih kesulitan menikah. Meskipun menikah di catatan sipil, dalam kolom agama ditulis Hindu. ”Kami dikasih blanko, kami tulis Kaharingan yang keluar Hindu,” ujarnya.
Tak hanya soal menikah. Masih banyak penghayat Kaharingan yang akhirnya juga enggan membuat KTP meski Mahkamah Konstitusi sudah memberikan kesempatan untuk menuliskan kepercayaannya masing-masing. Hal itu berdampak pada banyak penghayat yang tidak bisa mengakses bantuan apa pun dari pemerintah, juga akses pelayanan publik lainnya.
Dampaknya, kian banyak penghayat memilih untuk pidah agama. Mereka kemudian mulai belajar agama lain. Namun, bagi yang teguh seperti Suel dan keluarganya, kepercayaan adalah hak dasar yang tak bisa begitu saja diubah.
Suel bahkan mendatangi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) untuk memperjuangkan Kaharingan menjadi agamanya. Ia bercerita, saat bertemu beberapa pejabat di Kementerian mereka malah disarankan untuk bergabung dengan Hindu.
Kalau kami diminta pindah ke agama lain, itu sama saja menodai agama lain. Kami juga takut dosa. (Suel)
”Kalau kami diminta pindah ke agama lain, itu sama saja menodai agama lain. Kami juga takut dosa,” kata Suel.
Suel bahkan diminta untuk menghilangkan kata ’agama’ pada lembaganya jika ingin mendapatkan pembinaan dai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Karena kata tersebut, lembaganya diminta untuk ke Kementerian Agama, di sana mereka malah diminta untuk bergabung dengan lembaga Hindu, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) atau dalam konteks lokal di Kalimantan Tengah terdapat Majelis Besar Hindu-Kaharingan Indonesia. Hal itu ditolak MAKI.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Penghayat Kaharingan yang tergabung dalam Komunitas Adat Kereng Bangkirai di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, pada Jumat (28/5/2021), sedang beribadah yang disebut balian untuk menghormati para leluhur.
Bagi penghayat Kaharingan, mereka mengenal Tuhan Yang Maha Esa dengan sebutan Ranying Hatala Langit. Mereka memiliki kitab suci yang bernama Kitab Panaturan.
Di Kalteng, sejak awal tahun 1980, pemerintah mengintegrasikan Kaharingan dengan Hindu agar bisa diakui menjadi agama. Hindu-Kaharingan pun terbentuk. Lambat laun, upaya ini mengundang begitu banyak kontroversi. Walakin, mereka tetap berada di jalannya masing-masing.
Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Kalimantan Tengah tidak memiliki data jumlah penganut Kaharingan di Kalteng. Data yang dimiliki adalah penganut agama Hindu, termasuk Hindu-Kaharingan. Jumlah umatnya mencapai 23.404 orang dengan jumlah rohaniwan mencapai 728 orang, dan memiliki 698 rumah ibadah termasuk Balai Basarah.
Kepala Bidang Bimbingan Masyarakat Hindu di Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Kalimantan Tengah Sisto Hartati menjelaskan, selama ini masyarakat Hindu, Hindu-Kaharingan, tak memiliki masalah intoleransi ataupun diskriminasi. Dengan adanya integrasi antara Hindu dan Kaharingan, hak-hak mereka terpenuhi, termasuk pendidikan agama Hindu.
”Keinginan untuk integrasi itu datang dari tokoh adat yang memperjuangkan Kaharingan menjadi agama sejak tahun 1970-an, lalu muncul ide untuk integrasi. Hindu dipilih karena menjadi yang paling dekat dengan Kaharingan,” kata Sisto.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Salah satu rumah penghayat Kaharingan yang tergabung dalam Komunitas Adat Kereng Bangkirai di Palangkaraya, Kalteng, Jumat (28/5/2021).
Menurut Sisto, dalam ajaran Kaharingan banyak ritual atau doa yang serupa dengan Hindu. Mulai dari ritual tujuh bulanan anak masih dalam kandungan hingga kematian. Itu menjadi salah salah satu alasan integrasi.
Antropolog Dayak Marko Mahin menyebutkan, pada dasarnya orang Dayak terbuka pada agama apa pun. Hal itu juga tersirat dalam falsafah huma betang (rumah adat khas Dayak) yang mengandung arti keberagaman dan semangat gotong royong.