Keputusan Mahkamah Konstitusi dianggap sebagai kemajuan untuk mengakui status penghayat kepercayaan. Hal itu memulihkan keyakinan mereka untuk menekuni kembali kepercayaan yang mereka imani.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
Penghayat Kepercayaan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa bersorak ketika kepercayaan mereka dapat dicantumkan di KTP. Artinya, status mereka di mata negara sudah sah, setara dengan pemeluk enam agama resmi lainnya.
Hal itu memberi mereka kepercayaan diri. Sebab, keputusan Mahkamah Konstitusi itu menjamin hak dan perlindungan mereka sebagai warga negara.
Ketua Persatuan Warga Sapta Darma (Persada) Pusat Naen Soeryono, Sabtu (29/5/2021), mengatakan, anak-anak penghayat kini sudah bisa menerima pendidikan Kepercayaan terhadap Ketuhanan YME di sekolah. Pencatatan pernikahan dan hak kependudukan lainnya pun kini bisa dilakukan.
Menurut Ketua Puan Hayati Pusat Dian Jennie Cahyawati, keputusan MK itu merupakan kemajuan untuk mengakui status penghayat kepercayaan. Hal itu memulihkan keyakinan mereka untuk menekuni kembali kepercayaan yang mereka imani.
Regenerasi penghayat kepercayaan pun menemukan titik terang. Sebelumnya, sejumlah penghayat meninggalkan kepercayaannya karena banyak faktor, termasuk diskriminasi dan kesulitan mengakses hak kependudukan.
Sebagian orangtua memutuskan tidak menurunkan ajaran kepercayaan pada anaknya agar tidak terdampak situasi itu. Ada pula generasi muda yang ragu menjadi pewaris kepercayaan.
Jumlah organisasi penghayat kepercayaan tercatat turun. Menurut Dian, ada 250 organisasi pada 2010, kemudian menyusut jadi 188 organisasi pada 2021. Jumlah anak-anak yang mengikuti pendidikan Kepercayaan terhadap Ketuhanan YME hingga dewasa pun hanya sekitar 40 persen.
Kendati demikian, putusan MK pada 2017 memompa semangat baru bagi para penghayat kepercayaan. Ini tampak dari munculnya sejumlah organisasi penghayat kepercayaan baru.
Ini hal penting bagi kami, yakni mengembalikan generasi penghayat yang sempat hilang akibat diskriminasi di masa lalu. (Dian Jennie Cahyawati)
”Ini hal penting bagi kami, yakni mengembalikan generasi penghayat yang sempat hilang akibat diskriminasi di masa lalu. Ini juga pelajaran penting buat kami bahwa intoleransi bertentangan dengan nilai kemanusiaan. Kami tidak lagi menangisi masa lalu. Sekarang bagaimana kami bekerja ke depan untuk berkontribusi bagi pembangunan bangsa,” kata Dian.
Menurut dia, perempuan penghayat punya peran penting untuk ini. Perempuan tidak hanya menurunkan kepercayaan mereka pada anak-anak, tetapi juga menanamkan nilai toleransi. Ia meyakini bahwa masyarakat yang toleran berawal dari didikan keluarga.
Para penghayat kepercayaan juga berencana aktif bergaul dengan kelompok-kelompok lintas iman. Mereka berharap lebih banyak berkontribusi ke negara.
”Kami akan kejar ketertinggalan kami di masa lalu. Saya harap masyarakat penghayat tidak lagi menonton dari pinggir karena tidak punya kepercayaan diri. Kondisi sekarang berbeda karena sudah ada pengakuan (dari negara),” kata Dian.
Peran agama
Menurut Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Gomar Gultom, tidak mudah mengikis diskriminasi yang mengakar dalam di masyarakat. Intoleransi perlu ditangani bersama, termasuk umat beragama.
”Semua umat hendaknya bahu-membahu mengembangkan cara beragama yang otentik dan tidak dogmatis untuk membangun keadaban publik,” kata Gomar, Jumat (28/5/2021).
Gomar mengatakan, PGI menjalin relasi baik dengan penghayat kepercayaan. Kedua pihak saling mengundang dan menghadiri acara satu sama lain. PGI pun turut aktif mengadvokasi hak-hak penghayat kepercayaan sebagai warga negara.