Sunda Wiwitan, Potret Diskriminasi terhadap Minoritas
Di tengah berbagai penghargaan, masyarakat Sunda Wiwitan di Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, masih mengalami diskriminasi. Salah satunya, pernikahan yang belum diakui oleh negara.
Menjelang pernikahannya, Ajat Sudrajat (26) dan Anih Kurniasih (21) malah dirundung kekhawatiran. Ikrar pasangan warga negara Indonesia ini hampir pasti tidak diakui negara. Beragam persoalan pun menghantui mereka.
”Kalau pernikahan belum bisa tercatat di KUA (kantor urusan agama), kami kecewa. Itu, kan, hak warga negara. Kenapa kami, yang minoritas, dipersulit? Padahal, kami melaksanakan kewajiban sebagai warga negara,” kata Ajat, Sabtu (29/5/2021), saat dihubungi dari Cirebon, Jawa Barat.
Ajat dan Anih merupakan penghayat Sunda Wiwitan, ajaran spiritual leluhur Sunda yang menjaga cara-ciri manusia dan bangsa serta mengedepankan hubungan manusia, Tuhan, dan alam. Pusatnya di Paseban Tri Panca Tunggal, Kelurahan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jabar.
Baca juga : Masyarakat Adat Sunda Wiwitan Lapor Komnas HAM
Cikal bakal ajaran ini adalah Agama Djawa Sunda (ADS) pada 1800-an yang didirikan Pangeran Madrais Sadewa Alibassa Kusuma Wijaya Ningrat (1832-1939). Meskipun sudah ada sebelum NKRI, masyarakat Adat Karuhun Urang (Akur) Sunda Wiwitan ini belum sepenuhnya diakui negara.
Itu sebabnya, pernikahan Ajat dan Anih yang direncanakan tahun depan hampir pasti hanya tercatat secara adat. Persis seperti perkawinan kakaknya dua tahun lalu dan orangtuanya sekitar dua dekade lalu. Tidak ada akta perkawinan.
Akibatnya berdampak luas. Misalnya, keduanya bakal kesulitan mengurus kartu keluarga dan akta kelahiran jika punya anak. Kalaupun ada akta, di dalamnya tertulis kalimat seperti ”Anak dari seorang perempuan yang telah diakui oleh seorang laki-laki sebagai ayahnya”.
Tidak jarang pengurusannya seperti bola pingpong, saling lempar dari kantor kecamatan ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Kuningan. ”Pertanyaannya selalu sama. Sunda Wiwitan teh apa?” ucap Ajat yang kolom agama di kartu tanda penduduk (KTP)-nya hanya ditandai garis datar.
Stigma pun bermunculan, seperti pernikahan liar karena tidak diakui negara. Tanpa akta perkawinan, Ajat juga tidak akan menikmati tunjangan keluarga setelah menikah. ”Orang lain dapat dispensasi, saya enggak,” kata pekerja pabrik tekstil di Bandung tersebut.
Pembedaan status kependudukan dan pencatatan sipil tersebut hanyalah satu dari sekian diskriminasi yang pernah Ajat rasakan. Sebelumnya, ketika lulus SMA negeri di Kuningan, nilai mata pelajaran Agama di rapornya dikosongkan.
”Saya protes. Gurunya jawab, Sunda Wiwitan belum diakui pemerintah, makanya nilainya kosong,” kenangnya. Ia pun tidak bisa mengikuti program bebas tes ke kampus negeri karena nilainya kurang.
Kisah Anih lebih pedih. Sejak SD, ia terpaksa memilih kolom Katolik agar bisa bersekolah. Saat mata pelajaran Agama, Anih belajar keyakinan orang lain. Begitu pula ketika ujian. Padahal, pihak Sunda Wiwitan telah mengirim soal ujian Agama.
”Waktu UN (ujian nasional) di SMP swasta, saya disuruh pilih salah satu dari enam agama yang diakui pemerintah. Kalau masih Sunda Wiwitan, kata gurunya, enggak bisa ikut UN. Saya pilih Katolik saja,” ujarnya.
Meski demikian, ia tidak pernah menjalankan ritual keagamaan Katolik di Gereja. ”Tetapi, dari situ saya tahu bahwa Katolik dan Sunda Wiwitan itu punya beberapa kesamaan, seperti cara berdoa dan ajaran untuk berbuat baik,” lanjut mahasiswa di STIKes Santo Borromeus, Bandung, itu.
Kini, pengalaman diskriminatif kembali menghantuinya sebelum menikah. Anih tidak ingin seperti orangtuanya yang diminta ijab kabul ulang untuk membuat akta kelahiran adiknya.
Nikah adat
Padahal, menurut Dewi Kanti, Girang Pangaping (pendamping) masyarakat Akur Sunda Wiwitan, pernikahan dalam komunitasnya merupakan hal sakral yang sejatinya bisa dipisahkan oleh ajal. Itu sebabnya, banyak tahapan sebelum menikah. Minimal memakan waktu enam bulan, lebih lama dibandingkan bimbingan pranikah di KUA.
Pertama, totoongan atau masa penjajakan lalu nanden omong atau meniti pesan untuk melihat kesiapan calon pengantin. Kemudian meungkeu taneh, yakni proses mengikat dua keluarga besar untuk mengenal satu sama lain.
Tahap selanjutnya adalah masar, seperti pendidikan pranikah oleh sesepuh adat. Materinya, antara lain, cara bekerja sama hingga masak bersama di dapur. ”Ini bentuk kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam Sunda Wiwitan,” kata Dewi.
Tahap berikutnya, ngeuyeuk seureuh atau pelajaran dari orangtua sebelum ikrar pernikahan. Kemudian, ada upacara sungkem kepada orangtua kedua mempelai sebelum janji suci pernikahan. Semua itu, lanjut Dewi, untuk mematangkan calon pengantin, mencegah kekerasan dalam keluarga, dan sebisa mungkin menghindari perceraian.
Pernikahan hanyalah satu tradisi Sunda Wiwitan yang sarat makna. Ritual yang telah mendunia (sering dihadiri wisatawan luar negeri) adalah Seren Taun. Tradisi masyarakat Sunda ini mengungkap rasa syukur atas hasil bumi. Puncak peringatannya setiap 22 Rayagung tahun Saka Sunda.
Selain keselarasan hidup bersama alam, tradisi ini juga mengingatkan indahnya toleransi. Salah satu rangkaian acaranya adalah kidung spiritual, yakni ketika para pemuka agama dan beberapa perwakilan aliran kepercayaan memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam keseharian, masyarakat Akur Sunda Wiwitan hidup harmoni dengan warga Cigugur yang berbeda agama. Dalam satu rumah, ada berbagai keyakinan. Makam mereka pun menyatu, ada Islam dan Kristen.
Aneka penghargaan menjadi bukti, seperti Apresiasi Prestasi Pancasila 2019 oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila dan Piagam Penghargaan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kepada Djatikusumah sebagai pelestari adat pada 2018.
Sayangnya, berbagai pengakuan itu tidak lantas membuat pernikahan Ajat dan Anih, serta penghayat lainnya, tercatat oleh negara. Bahkan, hak untuk mengekspresikan keyakinan kini terancam, seperti saat Pemkab Kuningan menyegel bakal makam sesepuh Sunda Wiwitan, Pangeran Djatikusumah dan istrinya, Ratu Emalia Wigarningsih, Juli 2020.
Alasannya, tugu makam tidak dilengkapi izin mendirikan bangunan (IMB) meskipun masyarakat Akur sudah berupaya mengurusnya. Segel tersebut dilepas setelah pemkab didesak oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan berbagai pihak.
”Sejak Agustus 2020, kami mengajukan izin penetapan kawasan pemakaman, tetapi sampai sekarang belum ada hasilnya. Padahal, itu lahan kami,” kata Dewi.
Dewi juga menyesalkan pandangan pejabat DPRD Kabupaten Kuningan saat audiensi terkait polemik bakal makam tersebut. ”Pejabat itu bilang, minoritas (Sunda Wiwitan) itu sebaiknya memahami mayoritas. Seharusnya, kan, mayoritas melindungi minoritas,” katanya.
Pejabat itu bilang, minoritas (Sunda Wiwitan) itu sebaiknya memahami mayoritas. Seharusnya, kan, mayoritas melindungi minoritas.
Setelah polemik bakal makam tersebut, Pemkab Kuningan tidak mengakui permohonan komunitas Sunda Wiwitan sebagai masyarakat hukum adat (MHA) karena tidak memenuhi persyaratan. Padahal, tanpa itu, pihaknya kesulitan mempertahankan tanah adat karena tidak memiliki legal standing (kedudukan hukum) saat sengketa tanah.
Sekretaris Daerah Kabupaten Kuningan Dian Rachmat Yanuar memastikan tidak mendiskriminasi Sunda Wiwitan. ”Apabila ada data atau fakta yang valid terkait keberadaan masyarakat Akur Sunda Wiwitan sebagai MHA, kami akan tindak lanjuti sesuai peraturan. Ini waktunya tidak terbatas,” katanya.
Beginilah nasib penjaga nilai Pancasila yang seakan terasing dari tanahnya sendiri. Namun, para penghayat akan terus berjuang mempertahankan Sunda Wiwitan. ”Ini bukan buat kami, tetapi generasi selanjutnya,” kata Ajat.
Baca juga : Tidak Diakui, Ruang Hidup Masyarakat Sunda Wiwitan Terancam