Para Penghayat Kepercayaan Masih Terasing di Negeri Sendiri
Pengakuan negara terhadap para penghayat kepercayaan belum optimal. Sebagian penghayat kepercayaan masih terkendala untuk mengakses layanan publik, seperti warga negara Indonesia pada umumnya.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengakuan negara terhadap para penghayat kepercayaan dinilai belum optimal. Kendati pemerintah telah menginstruksikan pencantuman data penghayat kepercayaan di kartu identitas penduduk, hal itu belum sepenuhnya dipahami aparat negara di lapangan. Sebagian penghayat kepercayaan pun terkendala untuk mengakses layanan publik.
Sebelumnya, pada 2017, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Dengan ini, penghayat dapat mencantumkan kepercayaannya di kartu tanda penduduk (KTP) elektronik dan mengosongkan kolom agama. Ini terangkum pada putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016.
Dian Jennie Cahyawati, Ketua Puan Hayati Pusat, yaitu organisasi perempuan penghayat kepercayaan, Rabu (26/5/2021), mengatakan, para penghayat kepercayaan telah mengurus catatan kependudukan. Sebagian berhasil mencantumkan kepercayaannya di KTP elektronik. Sebagian lainnya masih kesulitan karena petugas di lapangan belum memahami putusan MK tersebut.
Sebagian besar sudah mengganti identitas kepercayaan, tapi belum seluruhnya. Sosialisasi putusan MK belum menyentuh semua kelurahan atau kota/kabupaten. Kami masih dapat laporan bahwa ada daerah yang belum paham peraturan itu. (Dian Jennie Cahyawati)
”Sebagian besar sudah mengganti identitas kepercayaan, tapi belum seluruhnya. Sosialisasi putusan MK belum menyentuh semua kelurahan atau kota/kabupaten. Kami masih dapat laporan ada daerah yang belum paham peraturan itu,” ucap Dian, Minggu (30/5/2021), saat dihubungi dari Jakarta.
Penghayat kepercayaan seharusnya bisa langsung mengurus KTP di dinas kependudukan dan catatan sipil setempat. Namun, menurut Dian, sejumlah penghayat kepercayaan dimintai surat rekomendasi RT, RW, kelurahan, hingga kecamatan. Padahal, surat rekomendasi tidak diperlukan.
Upaya penghayat kepercayaan untuk mengganti identitasnya pun terkendala. Padahal, identitas penting untuk mengakses layanan dasar sebagai warga negara, seperti pendidikan hingga pernikahan.
”Mediator dibutuhkan untuk menjembatani kebijakan ini. Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI), organisasi yang memayungi penghayat kepercayaan, kerap turun (ke lapangan) dan memberikan pemahaman,” kata Dian.
Menurut Ketua Persatuan Warga Sapta Darma (Persada) Pusat Naen Soeryono, masih ada aparat pemerintah di daerah yang belum paham hak penghayat kepercayaan sebagai WNI. Subyektivitas aparat menghambat mereka mengakses layanan publik.
”Ada yang tidak mau tahu dan menganggap agama hanya ada enam. Kadang-kadang diskriminasi muncul dari subyektivitas. Masih ada ’ketidaksenangan’ terhadap penghayat kepercayaan meski sudah ada putusan MK,” ucapnya, Sabtu (29/5/2021).
Menurut Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan, putusan MK menunjukkan pengakuan negara terhadap penghayat kepercayaan. Itu sekaligus jaminan pemerintah agar penghayat kepercayaan bisa mengakses haknya sebagai warga negara.
Regulasi-regulasi turunan dari putusan MK tersebut juga dinilai akomodatif terhadap hak penghayat kepercayaan. Contohnya, anak-anak kini mendapat pendidikan kepercayaan terhadap Tuhan YME. Ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 27 Tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada Satuan Pendidikan.
Walakin, pengakuan negara dinilai belum optimal. Ini karena urusan penghayat kepercayaan ada di ranah Direktorat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
”Secara kelembagaan, seharusnya ini kewenangan Kementerian Agama. Ada kesan bahwa rekognisi dari negara masih setengah hati,” ucap Halili, Kamis (27/5/2021).
Stigma negatif ke penghayat kepercayaan juga perlu segera diatasi. Rapat Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Aliran Keagamaan (Rakor Pakem) pun tidak lagi relevan. Rakor itu dinilai mengukuhkan stigma kepercayaan sebagai hal yang patut diwaspadai.
Sebelumnya, penghayat kepercayaan kerap menerima stigma negatif dari publik. Kepercayaan kepada Tuhan YME kerap diasosiasikan sebagai aliran sesat dan musyrik. Penganutnya pun kerap dianggap tidak punya nilai ketuhanan. ”Rakor Pakem seharusnya dibubarkan,” kata Halili.