Diskriminasi terhadap Penghayat Sunda Wiwitan Terus Terjadi
Praktik diskriminasi terhadap penghayat Sunda Wiwitan di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, terus terjadi. Mulai dalam hal pencatatan dokumen sipil hingga ekspresi berkeyakinan.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·5 menit baca
KUNINGAN, KOMPAS — Praktik diskriminasi terhadap penghayat Sunda Wiwitan di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, belum usai. Selain status kependudukan dan catatan sipil yang belum diakui sepenuhnya oleh negara, masyarakat Adat Karuhun Urang Sunda Wiwitan juga kesulitan mengekspresikan kepercayaannya.
”Kami meyakini diskriminasi belum berakhir,” ucap Dewi Kanti, Girang Pangaping (pendamping) masyarakat Akur Sunda Wiwitan, saat ditemui di Cigugur, Kuningan, Selasa (25/5/2021). Kasus terbaru adalah keputusan Pemkab Kuningan yang tidak mengakui permohonan komunitas Sunda Wiwitan sebagai masyarakat hukum adat (MHA).
Penolakan itu berdasarkan surat Bupati Kuningan Nomor 189/3436/DPMD pada 29 Desember 2020. Alasannya, Sunda Wiwitan tidak memenuhi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 terkait pengakuan MHA, yakni sejarah, wilayah adat, hukum adat, harta kekayaan dan/atau benda-benda adat, serta kelembagaan/sistem pemerintahan adat.
Padahal, lanjut Dewi, berbagai dokumen terkait MHA sudah diserahkan kepada Pemkab. Penolakan itu dinilai mengancam tanah adat yang merupakan sumber pangan masyarakat. Pihaknya juga kesulitan mempertahankan tanah adat karena tidak memiliki legal standing (kedudukan hukum) saat sengketa tanah.
Ini ironis karena masyarakat Akur Sunda Wiwitan sudah ada sebelum NKRI berdiri. Cikal bakal Sunda Wiwitan berasal dari Agama Djawa Sunda (ADS) pada 1800-an yang didirikan Pangeran Madrais Sadewa Alibassa Kusuma Wijaya Ningrat (1832-1939). Ajaran spiritual leluhur Sunda ini, antara lain, menjaga cara-ciri manusia dan bangsa.
Seperti agama lainnya, ajaran Sunda Wiwitan juga mengakui keesaan atau ketunggalan Tuhan. Ini terpatri di dalam penamaan rumah adat Sunda Wiwitan yang diberi nama Paseban Tri Panca Tunggal. Kini, cucu Pangeran Madrais, Pangeran Djatikusumah, memimpin Sunda Wiwitan.
Sebelum persoalan MHA, penghayat Sunda Wiwitan juga merasa didiskriminasi saat Pemkab Kuningan menyegel bakal makam Pangeran Djatikusumah dan istrinya, Ratu Emalia Wigarningsih, Juli 2020 lalu. Alasannya, tugu makam tidak dilengkapi izin mendirikan bangunan (IMB) meskipun masyarakat Akur sudah berupaya mengurusnya.
Segel tersebut dilepas setelah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Cirebon Anti Diskriminasi mendesak Pemkab Kuningan. ”Sejak Agustus 2020, kami mengajukan izin penetapan kawasan pemakaman. Tetapi, sampai sekarang belum ada hasilnya. Padahal, itu lahan kami,” katanya.
Dewi khawatir, tanpa perizinan itu, kasus penyegelan yang turut melibatkan sejumlah organisasi masyarakat, seperti tahun lalu, bakal berulang. ”Bisa saja kalau orangtua atau salah satu dari kami meninggal, jenazah kami ditolak,” ucap Dewi, anak bungsu Djatikusumah.
Ia juga menyesalkan pandangan pejabat DPRD Kabupaten Kuningan saat audiensi terkait polemik bakal makam tersebut. ”Pejabat itu bilang, minoritas (Sunda Wiwitan) itu sebaiknya memahami mayoritas. Seharusnya, kan, mayoritas melindungi minoritas,” katanya.
Sekretaris Daerah Kabupaten Kuningan yang juga Ketua Panitia MHA Kuningan Dian Rachmat Yanuar memastikan tidak mendiskriminasi Sunda Wiwitan, termasuk dalam pengajuan MHA. ”Apabila ada data atau fakta yang valid terkait keberadaan masyarakat Akur Sunda Wiwitan sebagai MHA, kami akan tindak lanjuti sesuai peraturan. Ini waktunya tidak terbatas,” katanya.
Pernikahan
Kasus diskriminasi lainnya dialami masyarakat Akur adalah status pernikahan yang belum diakui negara. Selama ini, pernikahan dalam komunitas Sunda Wiwitan hanya tercatat secara adat, bukan dalam dokumen pencatatan sipil. Sebab, Sunda Wiwitan tidak termasuk dalam organisasi penghayat yang tercatat oleh pemerintah.
”Konsekuensinya, bagi perempuan ada stigma bahwa dia menikah secara liar,” lanjut Dewi. Selain itu, akta kelahiran anaknya juga seolah tidak mengakui ayah kandungnya. Misalnya, dalam akta tertulis ’telah lahir seorang anak bernama X, anak kedua dari seorang perempuan bernama Y (ibunya) yang telah diakui oleh seorang laki-laki bernama Z (ayahnya)”.
“Dampaknya, lagi-lagi, stigma anak lahir di luar nikah. Hubungan ayah dan anak juga bisa terputus,” katanya. Itu sebabnya, menurut Dewi, meskipun kartu tanda penduduk masyarakat Akur tidak lagi dikosongkan atau garis datar, diskriminasi dalam pencatatan sipil dan kependudukan masih mereka alami.
Dalam bidang pendidikan, Dewi mengaku belum menerima laporan diskriminasi bagi anak-anak Sunda Wiwitan. Sebelumnya, mereka mengalami perundungan hingga harus memilih satu dari enam agama yang diakui pemerintah untuk bersekolah.
Kini, pihaknya telah bekerja sama dengan berbagai sekolah. Saat ujian agama, pihaknya mengirimkan soal dengan materi kepercayaan Sunda Wiwitan di sekolah tersebut. Dengan begitu, diskriminasi bagi anak Sunda Wiwitan saat ujian agama tidak lagi terjadi.
”Saya tidak mengalami (diskriminasi) itu. Sunda Wiwitan bagi saya itu setiap hari harus belajar soal kemanusiaan. Setiap hari belajar soal kehidupan, seperti bersyukur,” kata Anjar (14), penghayat Sunda Wiwitan yang menempuh sekolah negeri di Kuningan. Ia belajar ajaran itu, antara lain, dengan berlatih kecapi, musik tradisional Sunda.
Dewi menilai, kemajuan teknologi informasi turut meningkatkan kesadaran akan toleransi di dunia pendidikan. Upaya Sunda Wiwitan memperluas jaringan dengan pemeluk agama dan kepercayaan lain juga turut membangun toleransi.
Upaya itu dimulai sejak awal kemerdekaan melalui Badan Kongres Kebatinan Indonesia. Sayangnya, pada 1960-an, penghayat Sunda Wiwitan dituduh komunis, tidak beragama. Penganutnya lalu memeluk agama Katolik dan sebagian lainnya beragama Islam. Perayaan adat Seren Taun bahkan dilarang selama 17 tahun pada masa Orde Baru.
Penghayat Sunda Wiwitan kembali berani berekspresi ketika masa Presiden Gus Dur, termasuk bergabung dalam Masyarakat Dialog Antar-Agama dan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP). Pangeran Djatikusumah pun sempat menjadi salah satu pengurus bersama tokoh agama dan kepercayaan lainnya.
”Kami disatukan oleh nilai kemanusiaan. Kami merawat (jaringan) yang sudah lama dan membangun yang baru,” kata anggota Komnas Perempuan tersebut.
Aneka penghargaan menjadi bukti, seperti Apresiasi Prestasi Pancasila 2019 oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila dan Piagam Penghargaan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kepada Djatikusumah sebagai pelestari adat pada 2018.
Kini, solidaritas tetap tumbuh untuk Sunda Wiwitan. Salah satunya dari Masyarakat Cirebon Anti Diskriminasi yang mendesak pelepasan segel bakal makam sesepuh Sunda Wiwitan tahun lalu. ”Enggak ada sama sekali permintaan dukungan dari Sunda Wiwitan. Kami sudah sensitif kalau ada hal-hal yang diskriminatif,” kata KH Husein Muhammad, salah satu inisiator gerakan itu.
Pengasuh Ponpes Dar al-Tauhid Arjawinangun, Cirebon, itu sejak tahun 2000-an membangun jaringan dengan penghayat Sunda Wiwitan. Salah satu pendiri Institut Studi Islam Fahmina ini juga memberikan akses seluas-luasnya bagi mahasiswa penghayat Sunda Wiwitan.
KH Husein menilai, semua kelompok memiliki hak untuk hidup dan mengekspresikan keyakinannya, termasuk penghayat Sunda Wiwitan. Oleh karena itu, ia mengingatkan, mayoritas harus melindungi minoritas. ”Kalau sebaliknya, suatu saat kita akan merasa minoritas karena kita antikemanusiaan,” ungkapnya.