Mereka Korban Relasi dan Hierarki Jender yang Timpang
Keterlibatan perempuan dan anak dalam beberapa aksi terorisme terakhir seharusnya menjadi perhatian khusus. Perlu penanganan dan pendampingan yang berperspektif jender terhadap mereka.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
Ketika perempuan dan anak terlibat dalam aksi terorisme, keprihatinan dari berbagai pihak muncul. Perempuan dan anak yang terpapar paham ekstremisme sejatinya adalah korban. Karena itulah pendampingan terhadap mereka perlu mendapat perhatian khusus dari negara.
Diseminasi dua makalah kebijakan ”Penanganan dan Pendampingan Deportan dan Returni Perempuan dan Anak Terpapar Paham Radikal Terorisme di Jawa Barat dan Jawa Timur” yang dilakukan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Senin (24/5/2021), menemukan bahwa para deportan dan returni perempuan dan anak merupakan korban dari gerakan radikalisasi global yang dilakukan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
”Mereka menjadi korban karena adanya relasi dan hierarki jender yang timpang serta doktrin kepatuhan yang melemahkan posisi tawar perempuan di tengah budaya maskulin yang ada dalam lingkaran jaringan kelompok radikal,” ujar Direktur Eksekutif INFID Sugeng Bahagijo. Tidak hanya itu, dua makalah yang disusun oleh Dete Aliyah dan Riri Khariroh itu juga menyatakan bahwa hingga saat ini belum ada peraturan yang khusus mengatur tentang penanganan deportan dan returni perempuan dan anak dari tingkat pemerintah pusat sampai ke tingkat daerah.
Dua makalah yang didesiminasi tersebut merupakan bagian akhir dari program ”Meningkatkan Sistem Reintegrasi untuk Penanganan dan Pendampingan Deportan dan Returni Perempuan dan Anak Korban Radikalisme di Kota Bandung dan Surabaya” bagi pemerintah daerah, ormas keagamaan, dan organisasi masyarakat sipil yang dilakukan INFID akhir Juni 2020 hingga 31 Mei 2021.
Sebelum makalah disusun, dengan dukungan Harmoni, INFID yang bermitra dengan PW Fatayat NU Jawa Barat dan PW Fatayat NU Jawa Timur telah bekerja sama melakukan riset bersama Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ). Penelitian tersebut memetakan penanganan dan pendampingan deportan dan returni perempuan dan anak terpapar radikal ekstremisme di Bandung dan Surabaya.
Penelitian yang dipimpin Debbie Afianti dari UMJ tersebut, salah satunya, merekomendasikan perlunya buku panduan penanganan dan pendampingan deportan dan returni perempuan dan anak terpapar paham radikal terorisme.
”Perlu dipastikan adanya delegasi wewenang dari pemerintah pusat ke daerah. Selama ini saling lempar, pusat pikir tugas daerah, sebaliknya daerah pikir ini tugasnya pusat. Sementara para deportan dan returni juga perlu mendapat pendamping khusus. Rehabilitasi sebulan tidak cukup,” ujar Debbie.
Kelanjutan hidup para perempuan yang suaminya meninggal dan dipenjara perlu mendapat perhatian. Sebab, mereka tidak bisa membuka usaha, melamar kerja pasti masuk daftar hitam, dan tidak bisa mengakses layanan bank. Sementara anak-anak dan dirinya membutuhkan dukungan untuk melanjutkan hidup.
”Pemerintah seharusnya menerapkan kebijakan penanganan dan pendampingan perempuan korban kelompok ekstremisme yang berperspektif jender, memberikan bantuan, dan membuka akses serta dukungan kependudukan, pendidikan, kesehatan, dan bantuan sosial,” kata Debbie.
Pada akhir 2021, Mira Kusumarini akhirnya menyusun buku panduan ”Pedoman Teknis Penanganan dan Pendampingan Deportan dan Returni Perempuan dan Anak Terpapar Paham Radikal Terorisme bagi Pemerintah Daerah, Ormas Keagamaan, dan Organisasi Masyarakat Sipil”.
Pemerintah seharusnya menerapkan kebijakan penanganan dan pendampingan perempuan korban kelompok ekstremisme yang berperspektif jender, memberikan bantuan, dan membuka akses serta dukungan kependudukan, pendidikan, kesehatan, dan bantuan sosial.
Adapun istilah returni dan deportan akhir-akhir ini mengemuka dalam sejumlah seminar dan pertemuan, yang terkait ekstremisme dan radikalisme. Menurut Dete, ’returni’, seperti yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia, mengacu pada warga negara yang berhasil menyeberang ke Suriah atau Irak dan secara sukarela kembali, terkadang karena kecewa. Mereka termasuk siapa saja yang bergabung dengan milisi, pro-NIIS atau anti-NIIS, tetapi juga termasuk Salafi yang mengirimkan bantuan kemanusiaan dan milisi lainnya. ”Returni” tidak secara otomatis berarti ”kombatan pro-NIIS”.
Sementara ’deportan’ kebanyakan adalah orang-orang yang tidak pernah menginjakkan kaki di Suriah karena mereka ditangkap sebelum bisa melakukannya. Ada satu atau dua kasus orang yang sudah sampai di Suriah memutuskan untuk pergi dan tertangkap lalu dideportasi.
Berbicara soal deportan, dibandingkan provinsi lain, saat ini Jawa Barat adalah provinsi dengan deportan paling banyak, yakni 201 orang. Mereka belum didampingi pemerintah kecuali oleh organisasi PeaceGen. Itu pun yang didampingi hanya 15 deportan (2 laki-laki dewasa, 9 perempuan dewasa, 3 anak laki-laki, dan 1 anak perempuan) yang tersebar di tujuh wilayah, yaitu Bogor, Depok, Tangerang, Subang, Bandung, Majalengka, dan Tasikmalaya.
Pada saat yang sama, petugas, organisasi masyarakat sipil, dan organisasi keagamaan di Jabar belum berpengalaman menangani dan mendampingi deportan dan returni. Pemerintah daerah juga tidak dilibatkan dalam pemulangan 201 deportan tersebut dan tidak memiliki pengalaman dalam menangani hal seperti itu. Untuk itu, diperlukan peningkatan kapasitas, baik dalam penguatan isu maupun keterampilan.
”Belum ada organisasi yang khusus menangani deportan dan returni, terutama perempuan dan anak yang terpapar paham radikalisme terorisme,” kata Dete.
Kecuali satu keluarga, Jabar memiliki returni (jumlahnya tidak tercatat) yang sudah kembali ke kampung halamannya dan belum didampingi. ”Aturan hukum yang mendukung penanganan deportan dan returni sudah banyak, tetapi belum ada badan atau satgas khusus yang menangani dan mendampingi deportan dan returni,” ujar Dete.
Tantangan lain yang dihadapi adalah standar operasional yang ada belum memuat langkah penanganan dan pendampingan yang komprehensif dari hulu ke hilir.
Menyikapi kondisi tersebut, sejumlah rekomendasi telah disampaikan terutama kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak agar mereka berperan aktif bersama dengan Kementerian Sosial untuk menangani deportan dan returni perempuan dan anak, baik pada fase rehabilitasi maupun reintegrasi sosial.