Mengenang Umbu Landu Paranggi, Merayakan Kehidupan Sang Guru
Sebentuk perayaan bagi Umbu Wulang Landu Paranggi digelar di Gedung Kriya Taman Budaya Bali, Kota Denpasar, Selasa (25/5/2021). Acaranya, antara lain, peluncuran buku antologi sajak ”Blengbong” dan pameran sketsa.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·4 menit baca
Pelataran Gedung Kriya Taman Budaya Bali, Kota Denpasar, Selasa (25/5/2021) malam, bertaburan rasa. Sebagian rasa duka karena berpulangnya Umbu Wulang Landu Paranggi pada 6 April 2021 dan sebagian rasa lainnya berupa kecintaan dan kenangan yang melekat dari Umbu Wulang Landu Paranggi, kuda putih yang menunjukkan jalan kehidupan bagi ratusan penyair di Bali.
Sebentuk perayaan bagi Umbu Wulang Landu Paranggi, sastrawan yang dijadikan mahaguru para muridnya, digelar di area Gedung Kriya Taman Budaya Bali, Selasa (25/5/2021). Pameran solo yang menampilkan 60-an lukisan sketsa karya I Nyoman Wirata dan juga peluncuran buku berjudul Blengbong, sebuah antologi sajak dari 58 penyair alumnus Pos Budaya.
Mereka, seniman yang menjadi murid ataupun sahabat dari Umbu Landu Paranggi, mengenang sekaligus merayakan kehidupan yang ditunjukkan Sang Guru melalui peluncuran buku antologi sajak dan pameran sketsa itu. Acara peluncuran buku antologi sajak dan pameran sketsa sebagai bentuk penghormatan bagi Umbu turut dihadiri Ni Putu Putri Suastini Koster, seniwati yang juga istri Gubernur Bali, Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar I Wayan Adnyana, dan sejumlah seniman serta penyair di Bali.
”Blengbong ini hadir karena rasa cinta kepada Umbu,” kata Putri Suastini Koster pada malam peluncuran buku antologi sajak penyair Pos Budaya dan pembukaan pameran sketsa karya Nyoman Wirata di depan Gedung Kriya Taman Budaya Bali, Denpasar, Selasa malam. ”Beliau itu putra Sumba. Namun, kita di Bali mencintainya,” ujar Putri Koster dalam pernyataan apresiasinya.
Sementara blengbong bermakna hujan yang sangat lebat di tengah laut. Tanda alam berupa langit yang berubah kelam, angin dan ombak yang menampakkan gelagat tidak biasa, memberikan dua pilihan bagi nelayan, yaitu mengalah dan kembali ke pantai atau melanjutkan pelayaran dengan risiko berjumpa hujan badai dahsyat.
Dalam catatan penyusun buku antologi itu dinyatakan, bagi nelayan yang nekat melanjutkan pelayaran meski berisiko menghadapi blengbong berpeluang akan menemui langit cerah, laut yang bersahabat, dan ikan-ikan yang mudah ditangkap karena kelaparan di akhir badai itu.
Penulis dan penyair, yang juga tim penyusun buku Blengbong, Ketut Syahruwardi Abbas mengungkapkan, blengbong adalah rasa dan pengalaman para penyair yang sedang berproses menuju Pos Budaya, rubrik sastra yang diasuh Umbu di surat kabar Bali Post. Proses yang harus dijalani para penyair agar karya mereka dimuat di rubrik sastra Pos Budaya itu diibaratkan blengbong.
”Inilah kawah Candradimuka yang dibangun Umbu,” kata Syahruwardi Abbas mengenang proses ”pendidikan” dari Umbu Landu Paranggi. ”Tempaan Umbu di Pos Budaya ini luar biasa. Mereka yang sabar dan terus menulis dan terus mengirmkan sajak ke Umbu terbukti sampai saat ini banyak yang masih terus menulis,” ujar Syahruwardi Abbas menambahkan.
Sementara pameran sketsa rupa menampilkan karya Wirata, pelukis sekaligus penyair, yang merespons sajak-sajak dalam buku antologi Blengbong itu. Lebih dari 65 sketsa karya Wirata dipajang dalam pameran tersebut. Pada sketsa itu digoreskan pula penggalan syair dari sajak tersebut.
Sebuah sketsa yang sudah mendekati sebuah lukisan yang berjudul ”Kuda Putih” (140 cm x 140 cm), Wirata menggambar sebentuk makhluk berkaki empat yang menyerupai badan kuda berwarna putih. Pada bagian kepala kuda putih tersebut terdapat sketsa wajah lelaki tua yang mengenakan ikat kepala warna putih dan gelang di tangan kirinya. Terselip kembang warna merah pada telinga lelaki tua itu.
Goresan sketsa itu mengingatkan pada rupa Umbu Landu Paranggi, sang guru yang telah berpulang ke ruang sunyi pada 6 April 2021. Sketsa berjudul ”Kuda Putih” itu diserahkan kepada pihak keluarga Umbu Landu Paranggi.
”Nyoman Wirata ini luar biasa,” ujar Syahruwardi Abbas. ”Mengetahui kami mengumpulkan sajak-sajak Pos Budaya untuk dibukukan, Pak Nyoman tanpa diminta membuatkan sketsa. Padahal, awalnya kami meminta Pak Nyoman untuk membuat gambar sampul (buku antologi),” kata Syahruwardi Abbas.
Adapun peluncuran buku antologi berjudul Blengbong memang direncanakan pada 25 Mei 2021, tanggal yang disiapkan Umbu sekaligus momen hari ulang tahun komunitas penyair di Bali, yang turut dibangun Umbu, yakni Jatijagat Kampung Puisi (JKP) Bali. Lurah JKP Bali Ngurah Arya Dimas Hendratno mengungkapkan, buku antologi Blengbong adalah persembahan bagi Umbu Landu Paranggi.
Dalam catatan penyusun buku antologi Blengbong, jumlah penyair yang lolos rubrik Pos Budaya, sebuah rubrik budaya yang diasuh Umbu Landu Paranggi di surat kabar Bali Post, lebih dari 100 orang. Penyusun kumpulan sajak itu mengambil periode satu dekade, yakni selama 1980 hingga 1990-an karena pada masa tersebut dinilai gairah perpuisian di surat kabar Bali Post mencapai puncaknya.
Pada malam peluncuran buku antologi Blengbong dan pembukaan pameran sketsa, dua penyair ”alumnus” Pos Budaya yang karyanya dimasukkan dalam kumpulan sajak penyair Pos Budaya era 1980-1990-an itu, yakni Warih Wisatsana dan Sri Rwa Jayantini, membacakan sajak mereka. Sebelumnya, GM Sukawidana bersama Aan Almaidah Anwar mengisi panggung dengan menyampaikan testimoni mereka tentang perkenalannya dengan Umbu Landu Paranggi.
Di pengujung testimoninya, Aan Almaidah menyebut, ”Umbu adalah teman jiwa saya dan teman jiwa bagi kita semua.”