Yayasan Bambu Lestari membangun sekolah lapang bambu pertama di Indonesia yang berlokasi di daerah Turetogo, Desa Ratogesa, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Ibu-ibu pemberdayaan kesejahteraan keluarga dari Desa Ratogesa, Kecamatan Golewa, Ngada, NTT, Senin (24/5/2021), sebagai ”mahasiswa” di Kampus Desa Bambu. Mereka akan belajar tentang bambu dari hulu sampai hilir, termasuk pemanfaatan bambu bagi lingkungan dan kehidupan ekonomi keluarga.
BAJAWA, KOMPAS — Yayasan Bambu Lestari, organisasi nirlaba, membangun Kampus Desa Bambu pertama di Indonesia yang berlokasi di daerah Turetogo, Desa Ratogesa, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. Kampus Desa Bambu Agroforestri Turetogo ini sebagai sekolah lapang bambu yang melibatkan ibu-ibu PKK, dengan kurikulum menyangkut berbagai aspek pengembangan bambu agroforestri, dari hulu hingga hilir. Masyarakat lokal harus diberdayakan dari sisi ekonomi melalui Kampus Desa Bambu ini.
Presiden Direktur Yayasan Bambu Lestari (YBL) Arief Rabik pada acara penandatanganan prasasti pendirian Kampus Desa Bambu pertama di Indonesia di Turetogo, Senin (24/5/2021), menyatakan Kampus Desa Bambu Agroforestri Turetogo sebagai lokasi sekolah lapang bambu (SLB). Ini SLB bagi individu, masyarakat desa, komunitas adat, organisasi perempuan, dan pemuda.
Kurikulum SLB, menurut Arief, menyangkut berbagai aspek pengembangan bambu agroforestri, wanatani dari hulu sampai hilir. Di hulu, bambu agroforestri mencakup pembibitan, perawatan, dan pemanenan yang sesuai dengan prinsip-prinsip hutan bambu lestari. Di tengah, bambu agroforestri mendorong lahirnya pabrik pengolahan bambu di tingkat desa, yang dikelola oleh koperasi petani atau BUMDes.
Gubernur NTT Viktor Laiskodat menandatangani prasasti pendirian Kampus Desa Bambu di Desa Ratogesa, Kecamatan Golewa, Ngada, Senin (24/5/2021).
Bagian hilir bambu agroforestri membangun kolaborasi dengan berbagai pihak untuk melahirkan produk-produk bambu yang inovatif dan memiliki nilai tambah bagi masyarakat dan semua pihak yang terlibat.
Pemberdayaan
Kelompok yang terlibat dalam kegiatan ini adalah ibu-ibu kelompok pemberdayaan kesejahteraan keluarga (PKK), tetapi tidak tertutup peluang bagi organisasi lain, termasuk pelajar sekitar. Mereka belajar soal bambu, dari hulu sampai hilir. Tiap desa mengirim 20 orang ibu, dengan masa belajar tujuh hari. Selama belajar, mereka menginap di lima guest house yang disiapkan YLB.
Tidak ada satu pun rumpun bambu yang ditebang selama proses pembangunan kampus. (Arief Rabik)
Mereka mendapatkan uang tunai Rp 2.500 per anakan bambu. Ada di antara ibu-ibu itu sampai menghasilkan 2.000 anakan bambu per tujuh hari atau Rp 5 juta per pekan. Selain itu, mereka juga mendapat tambahan pengalaman soal bambu.
Selain itu, YBL telah menjalin kerja sama dengan Sekolah Seniman Pangan guna membangun potensi pangan lokal, dengan melibatkan perempuan menganyam, ”Du Anyam”, serta gerakan perempuan petenun, ”Torajomelo”, guna mengembangkan produk-produk inovatif kreatif berbahan bambu.
Inilah Kampus Desa Bambu sebagai pusat pembelajaran ratusan bahkan ribuan ibu dari tujuh kabupaten di NTT. Selama belajar, mereka menginap di lima guest house milik desa. Mereka belajar soal bambu dari hulu sampai hilir. Hasil pembibitan anakan bambu dibeli Rp 2.500 per anakan oleh Yayasan Bambu Lestari.
Arief mengatakan, YBL sedang mencoba membangun sebuah ekosistem yang melahirkan industri bambu berbasis masyarakat, industri bambu yang menguntungkan bagi petani, juga industri bambu yang tidak hanya melindungi, tetapi juga meningkatkan kualitas lingkungan.
Kampus ini merupakan bagian penting dari ekosistem tersebut, yakni perwujudan mimpi almarhum ibunda Linda Garland, desainer interior yang mendirikan YBL, dan merintis pengembangan bambu di NTT.
”Tidak ada satu pun rumpun bambu yang ditebang selama proses pembangunan kampus. Penggunaan fondasi beton pun dibatasi agar tidak mengganggu sistem akar permukaan bambu,” ujar Arief.
Area kampus terdapat hutan bambu yang tetap terjaga kelestariannya. Wilayah pembibitan ditanami berbagai jenis bambu dan tanaman sela, seperti porang, dan tanaman pewarna tradisional untuk kepentingan bahan baku tenun ikat alami.
Gubernur NTT Viktor Laiskodat menanam anakan bambu bersama ibu-ibu dari Desa Ratogesa, Ngada, Senin (24/5/2021).
Pembangunan kampus ini melibatkan dua arsitek ternama Indonesia, yakni Andesh Tomo dan Andrea Fitrianto, serta tiga arsitek muda, yaitu Isabella van der Griend, Rakha Sonigya, dan Saka Suwirna. Andrea Fitrianto telah mendesain jembatan bambu di Davao (Filipina), Bogor, dan Solo.
Andrea Fitrianto mengatakan, semua bangunan di Kampus Desa Bambu Agroforestri dirancang sedemikian rupa agar lebih menonjolkan kekayaan kontur dan keindahan lanskap Turetogo. Ia juga merancang lima pondok wisata yang dibangun di antara hutan bambu dan kawasan pembibitan.
”Pondok wisata ini menjulang 7 meter dari atas tanah, ditopang oleh jalinan bambu petung utuh, yang diperoleh dari sekitar Turetogo. Pondok wisata ini akan selesai dibangun akhir Juli 2021,” katanya.
Peresmian prasasti pembangunan Kampus Bambu dilakukan Gubernur NTT Viktor Laiskodat, disaksikan Bupati Ngada Andreas Paru, Direktur Pengembangan Sosial Budaya dan Lingkungan Desa dan Perdesaan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Bito Wikantosa, dan sejumlah pimpinan organisasi perangkat daerah provinsi dan Kabupaten Ngada.
Ibu-ibu PKK melakukan pembibitan anakan bambu untuk kelestarian lingkungan. Mereka juga mendapatkan pemasukan dari Yayasan Bambu Lestari, yakni Rp 2.500 per anakan. Jika bisa membuat 2.000 bibit bambu, mereka bisa mengumpulkan uang Rp 5 juta.
Gubernur Laiskodat sempat meninjau bangunan dan fasilitas yang terdapat di kampus itu, antara lain fasilitas pengawetan bambu, pameran poster, rumah bambu lestari, serta bangunan berbahan bambu laminiasi, yang didesain untuk perumahan sosial dan rekonstrusksi pascabencana. Rumah bambu lestari didesain sebagai struktur bisa dibongkar, dikirim, dirakit dengan cepat dan murah.
”Terima kasih kepada mama-mama yang telah merawat bambu sampai tumbuh lestari. Bambu adalah kehidupan, juga masa depan. Mari dirawat, jaga, dan terus dilestarikan sampai anak cucu,” katanya.
Anggota staf YBL, Gustra Adnyana, mengatakan, YBL dan tim penggerak PKK NTT telah menjalin kemitraan dengan ibu-ibu dan menyediakan pembibitan bambu berbasis keluarga. Program awal melibatkan 208 ibu dari sejumlah desa di Ngada dan berhasil menghasilkan lebih dari 126.000 bibit pada awal Januari 2021.
Paling penting, bambu di wilayah itu dan desa sekitarnya dilestarikan dan masyarakat lokal diberdayakan dari sisi ekonomi. (Petrus Lobo Gora)
Program lanjutan akan melibatkan 350 ibu dari tujuh kabupaten di NTT dan bakal menghasilkan 2,8 juta bibit bambu. Dengan ini, YBL ingin mengeksplorasi model desa bambu sebagai wahana memberdayakan perempuan dan generasi muda. Eksplorasi lain yang sedang dikerjakan adalah menggunakan model desa bambu untuk pemberdayaan masyarakat adat, yang tinggal di sekitar kawasan konservasi.
Potensi bambu di Ngada cukup menjanjikan, tetapi selama ini tidak termanfaatkan. Kehadiran Kampus Desa Bambu di Ngada diharapkan dapat memanfaatkan potensi itu untuk kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat setempat.
Ke depan akan dilakukan kajian-kajian kultural, kearifan lokal khusus bambu. Selain itu, masyarakat Flores diajak untuk membangun rumah dengan konstruksi bambu. Potensi bambu di Flores tinggi, sementara Flores terkenal sebagai daerah rawan gempa tektonik.
”Bambu yang sudah dilaminasi sangat kokoh untuk rumah, kekuatannya sama dengan sebuah kayu papan, bisa puluhan tahun. Ini yang perlu dikembangkan masyarakat Flores,” kata Adnyana.
Petrus Lobo Gora (58), tokoh masyarakat Ngada, mengatakan, masyarakat senang kalau ada lembaga yang serius melestarikan dan mendayagunakan bambu di Ngada, tidak hanya untuk kepentingan lembaga itu, tetapi untuk kesejahteraan masyarakat setempat.
”Paling penting, bambu di wilayah itu dan desa sekitarnya dilestarikan dan masyarakat lokal diberdayakan dari sisi ekonomi,” kata Lobo.
Menurut dia, selama ini sudah cukup banyak pengusaha datang ke Ngada dengan tujuan mengelola hutan bambu di Ngada, tetapi tidak pernah terealisasi. Kini, sudah ada penandatanganan prasasti pendirian sekolah bambu desa. Namun, masyarakat tetap menunggu sampai kampus bambu itu benar-benar terealisasi seperti yang dijanjikan.