Pelestarian Warisan Budaya Jadi Alternatif Pembangunan Berkelanjutan
Warisan budaya tak benda dinilai sebagai jaminan terwujudnya pembangunan berkelanjutan. Ini diakui dalam Konvensi untuk Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda oleh UNESCO.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Warisan budaya tak benda berkaitan erat dengan pembangunan berkelanjutan. Kearifan lokal yang terkandung dalam warisan budaya mengajarkan masyarakat untuk mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan dan mendorong kohesi sosial.
Hal tersebut mengemuka pada diskusi daring ”Intangible Cultural Heritage (ICH) dan Pembangunan Berkelanjutan” oleh Center for Heritage Conservation (CHC), Departemen Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Jumat (21/5/2021). Diskusi ini merupakan bagian dari rangkaian kuliah daring musim panas yang mereka adakan tahun ini.
Antropolog dari Belanda Sandra Niessen mengatakan, wastra yang dibuat dengan cara tradisional merupakan cermin praktik produksi berkelanjutan, seperti ulos, wastra khas Sumatera Utara. Pemerintah Sumut pun mengusulkan ulos sebagai warisan budaya tak benda yang diakui UNESCO pada 2025.
Tugas kita bersama menjaga keunikan itu (budaya) sehingga bermanfaat bagi pembangunan negara.
”Ulos ibarat madu, sementara penenunnya adalah lebah. Mereka mengumpulkan material ulos dari lingkungan terdekat, misalnya kayu pohon untuk membuat alat tenun, lalu tanaman lokal untuk mewarnai dan memintal benang. Wastra dibuat sesuai daya dukung lingkungan,” ucap Niessen yang mempelajari tradisi tenun khas Batak selama lebih dari 40 tahun.
Di samping itu, ulos diproduksi dengan pengetahuan yang diperoleh secara turun-temurun. Warga umumnya membuat ulos dengan melibatkan anak cucu. Menurut Sandra, di situ ada proses transfer warisan budaya, peningkatan keterampilan, dan edukasi untuk menghormati orang yang lebih tua.
Ulos juga mencerminkan produk berbasis komunitas. Menurut dia, variasi desain ulos ditemukan secara organik oleh warga lokal, kemudian disetujui bersama. Aturan memakai ulos juga ditentukan menurut kesepakatan masyarakat.
”Penenun tradisional itu menenun lingkungan, pengetahuan, komunitas, dan sejarah. Ada banyak lapisan identitas pada ulos. Itu sebabnya kemungkinan ulos dibuang sangat kecil, tidak seperti komoditas industri lain,” kata Niessen.
Penelitian YouGov pada 2017 memperlihatkan 29 persen dari 7.349 responden di Indonesia membuang sepotong pakaian yang hanya digunakan sekali. Sebanyak 15 persen responden membuang setidaknya tiga pakaian yang dikenakan sekali.
Menurut Profesor Bakti Setiawan dari Departemen Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik UGM, pelestarian warisan budaya tak benda memerlukan peran masyarakat. Warga lokal perlu diberdayakan dengan pemberian otonomi untuk mengelola sumber daya alam di lingkungan mereka.
Langkah tersebut bisa mencegah eksploitasi sumber daya alam berlebihan karena masyarakat umumnya memiliki kearifan lokal untuk mengelola alam secara berkelanjutan.
Contohnya ialah sasi di timur Indonesia yang mengatur pengelolaan wilayah perairan. Masyarakat harus mematuhi aturan tersebut. Pelanggar akan diberi sanksi, baik fisik maupun nonfisik. Sasi telah terdaftar sebagai warisan budaya tak benda yang dikelola Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Kaum perempuan dengan gedogan (alat tenun tradisional) merampungkan pembuatan tenun ikat khas Baduy di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten, Rabu (27/1/2021). ”Otonomi perlu diberikan agar mereka bisa mengatur sumber daya alamnya sendiri. Ini penting untuk menjaga biodiversitas alam. Hal ini juga memberi peluang menyejahterakan warga lokal,” kata Bakti.
Arkeolog dan sejarawan seni dari Taipei National University of Arts, Taiwan, Kay Chiang, mengatakan, batik merupakan contoh warisan budaya tak benda yang lestari karena partisipasi masyarakat. Batik tidak hanya dilestarikan oleh perajin, tetapi juga institusi pendidikan, pemerintah, dan masyarakat umum dengan mengenakannya sehari-hari.
Chiang menambahkan, batik kini tidak hanya punya fungsi sosial dan budaya. Batik berkembang menjadi kegiatan ekonomi yang memberdayakan masyarakat.
”Batik berpotensi besar sebagai pendekatan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Inti dari pembangunan berkelanjutan adalah mempertahankan, bahkan memperluas partisipasi (masyarakat) dalam interpretasi budaya,” kata Chiang.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan, sebagai negara dengan lebih dari 17.000 pulau, Indonesia punya warisan budaya yang kaya. Ini bisa dimanfaatkan untuk pertumbuhan ekonomi kreatif nasional. ”Tugas kita bersama untuk menjaga keunikan itu (budaya) sehingga bermanfaat bagi pembangunan negara,” katanya.