Pandemi Covid-19 menyebabkan terbatasnya akses publik pada kebudayaan. Hal ini dikhawatirkan memengaruhi keragaman budaya dunia.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 turut membawa krisis ke sektor budaya dan dinilai berdampak pada keragaman budaya dunia. Padahal, keragaman budaya berperan penting bagi pembangunan masyarakat.
Hal itu disampaikan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres pada Hari Keragaman Budaya untuk Dialog dan Pembangunan Sedunia, Jumat (21/5/2021). Berdasarkan Resolusi PBB Nomor 57/249, Hari Keragaman Budaya diperingati setiap 21 Mei.
”Pandemi Covid-19 berdampak ke sektor budaya. Di seluruh dunia, museum, gedung musik, dan gedung teater ditutup, situs wisata terbengkalai, serta kegiatan budaya dikesampingkan,” kata Guterres dikutip dari laman PBB.
Krisis yang berlangsung karena pandemi dikhawatirkan membuat masyarakat semakin rentan. Sebagian dari mereka terancam kehilangan pekerjaan di sektor kebudayaan.
Dewan Internasional Museum (ICOM) pada November 2020 mencatat, 30,9 persen museum akan mengurangi jumlah staf permanen mereka. Sebanyak 46,1 persen museum mengurangi pekerja lepas dan pekerja kontrak.
Adapun Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) mencatat, setidaknya satu dari delapan museum dikhawatirkan tutup permanen akibat pandemi. Sebanyak 12 persen seniman pun dilaporkan mempertimbangkan opsi untuk meninggalkan sektor budaya. Ini merupakan ancaman jangka panjang bagi keragaman budaya.
Padahal sebelumnya, UNESCO mencatat, industri kreatif dan budaya menyediakan 29,5 juta lapangan pekerjaan di seluruh dunia. Industri kreatif dan budaya juga menyumbang 2,25 miliar dollar AS pada perekonomian global pada 2013. Angka itu setara dengan 3 persen dari produk domestik bruto (PDB) global.
”Dunia harus memastikan pemulihan dari pandemi mencakup kebutuhan lembaga budaya, seni, dan orang-orang dari dunia kreatif,” ucap Guterres.
Pandemi Covid-19 berdampak ke sektor budaya. Di seluruh dunia, museum, gedung musik, dan gedung teater ditutup, situs wisata terbengkalai, serta kegiatan budaya dikesampingkan
Ketidaksetaraan
Teknologi informasi kemudian jadi solusi untuk melanjutkan aktivitas kebudayaan. Namun, Direktur Jenderal UNESCO Audrey Azoulay mengatakan hal itu tidak cukup. Akses internet yang belum merata justru malah menciptakan masalah ketidaksetaraan baru.
”Teknologi daring hanya mencakup 5 persen museum di Afrika dan itu tidak sesuai untuk seremoni warisan budaya tak benda (di sana). Ada risiko penyeragaman budaya karena teknologi digital mereproduksi dan mengamplifikasi (budaya). Keragaman budaya dunia terdampak,” ucap Azoulay.
Keragaman budaya penting karena, menurut PBB, tiga perempat konflik di dunia berdimensi budaya. Menjembatani kesenjangan antarbudaya diperlukan untuk saling memahami, kemudian mencapai perdamaian, stabilitas, dan pembangunan.
Pada kesempatan berbeda, dosen di Chulalongkorn University, Thailand, Linina Phuttitam, mengatakan, masyarakat memiliki warisan budaya yang digunakan untuk pembangunan berkelanjutan. Contohnya adalah masyarakat suku Karen di Chiang Mai, Thailand.
”Mereka memiliki lahan yang diwarisi dari nenek moyang mereka sejak ratusan tahun lalu. Lahan itu yang digunakan untuk bercocok tanam. Mereka menggunakan sistem rotasi tanaman untuk mengembalikan kesuburan tanah. Mereka memanfaatkan alam secukupnya, tidak berlebihan,” kata Phuttitam pada diskusi daring ”Intangible Cultural Heritage (ICH) dan Pembangunan Berkelanjutan” oleh Center for Heritage Conservation (CHC) Universitas Gadjah Mada, Jumat (21/5/2021).
Suku Karen melaksanakan upacara adat untuk meminta restu roh alam dan roh nenek moyang untuk mengolah alam. Mereka percaya bahwa alam harus diperlakukan dengan hormat. Jika tidak, mereka akan mendapat musibah.