Jangan Cabut Hak Pendidikan Anak, Tingkatkan Edukasi ”Bermedsos”
Perkembangan teknologi informasi termasuk media sosial tidak bisa dihindari. Namun, edukasi dan literasi tentang bagaimana bermedia sosial yang bijak bagi anak-anak penting agar mereka tidak terjerumus masalah.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
Media sosial memberi ruang yang sangat bebas kepada siapa pun untuk berekspresi, termasuk menyampaikan pesan-pesan kepada publik. Namun, jika tidak berhati-hati dan bijak, media sosial bisa menjerumuskan orang ke dalam masalah, termasuk anak-anak sekalipun seperti yang dialami MS, siswa sekolah menengah atas di Bengkulu Tengah, Bengkulu.
Gara-gara unggahannya di media sosial Tiktok, siswi yang masih duduk di bangku kelas II SMA tersebut menghadapi masalah. Dianggap melakukan ujaran kebencian, siswi itu dikeluarkan dari sekolahnya.
Peristiwa tersebut mengundang keprihatinan karena menunjukkan betapa bermedia sosial bisa menjadi bumerang bagi anak-anak, ketika mereka tidak memahami dampak buruk akibat unggahannya.
Hukuman terhadap sang siswi itu pun menjadi viral di media sosial dan mengundang perhatian sejumlah kalangan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia pun angkat bicara.
Kendati perbuatannya dinilai sebagai sebuah kesalahan, seharusnya sekolah tidak mengambil tindak ekstrem seperti itu. Keputusan sekolah mengeluarkan anak dinilai sebagai bentuk perlakuan salah kepada anak karena sama saja dengan merampas hak anak untuk mendapat pendidikan yang layak.
Deputi Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA Nahar menegaskan, hak anak atas pendidikan merupakan hak dasar. Kesalahan yang diperbuat anak tidak boleh sedikit pun mengurangi haknya.
”Mengeluarkan anak dari sekolah adalah salah satu bentuk pelepasan tanggung jawab sekolah atas kesalahan anak. Seharusnya jika anak melakukan kesalahan tugas sekolah dan orangtua membinanya secara lebih intensif, bukan malah melepaskan tanggung jawab,” tegas Nahar, di Jakarta, Jumat (21/5/2021).
Anak yang mendapat perlakuan salah merupakan salah satu kategori anak yang membutuhkan perlindungan khusus (AMPK) sesuai yang tertera dalam Pasal 59 Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Itu sebabnya, Kementerian PPPA yang memiliki mandat memberi perlindungan kepada seluruh kategori AMPK tersebut memberi perhatian terhadap kasus di Bengkulu ini.
Mengeluarkan anak dari sekolah adalah salah satu bentuk pelepasan tanggung jawab sekolah atas kesalahan anak. Jika anak melakukan kesalahan, tugas sekolah dan orangtua membinanya secara lebih intensif, bukan malah melepaskan tanggung jawab.
Seperti diberitakan sejumlah media sejak awal pekan ini, kasus MS menjadi viral setelah MS diduga membuat rekaman ujaran kebencian terhadap Palestina berdurasi sekitar 8 menit dan mengunggah di akun Tiktok miliknya.
Unggahannya kemudian viral hingga membuat dinas pendidikan setempat turun tangan yang akhirnya berbuntut dikeluarkannya siswi tersebut dari sekolahnya. Sambil meminta maaf, MS mengaku bahwa tindakannya mengunggah ke Tiktok dilakukannya tanpa sengaja, hanya sebagai keisengan.
Kepentingan terbaik anak
Hingga Jumat siang, Nahar menegaskan, pihak Kementerian PPPA terus berkoordinasi dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3APPKB) Provinsi Bengkulu untuk memastikan kepentingan terbaik bagi anak yang bersangkutan.
Tidak hanya itu, harus dipastikan hak pendidikan anak tersebut tetap terpenuhi dan pendampingan pascakejadian harus dilakukan agar anak terhindar dari kekerasan dan diskriminasi.
”Kami terus memantau kondisi anak korban ini. Kondisi terakhir yang kami dapatkan, anak yang bersangkutan mendapat stigma dan perundungan dari lingkungan sekitarnya sehingga tidak berani keluar dari rumah,” tambah Nahar.
Sorotan atas kasus tersebut juga disampaikan Komisioner KPAI Retno Listyarti. Ia menegaskan, tindakan mengeluarkan peserta didik karena membuat konten Tiktok soal Palestina adalah merupakan bentuk sanksi yang tidak mendidik.
”KPAI sangat prihatin dengan dikeluarkannya MS. Karena artinya MS sebagai peserta didik kehilangan hak atas pendidikannya,” ujarnya,
Karena itu, KPAI mendorong Dinas Pendidikan untuk memenuhi hak atas pendidikan MS menyusul kekhawatiran bahwa viralnya unggahan MS di Tiktok akan membuat anak tersebut tidak diterima di sekolah lain.
Hingga kini, informasi terakhir yang diperoleh Kementerian PPPA bahwa siswi tersebut masih di rumah. Tindakannya mengunggah ujaran kebencian menjadi pelajaran bagi semua pihak, termasuk orangtua dan sekolah.
Adanya kasus semakin meneguhkan pentingnya edukasi dan literasi terkait penggunaan media sosial. Apalagi, anak-anak usia remaja merupakan kelompok yang paling rentan terpapar pengaruh media sosial. Pendampingan para guru, termasuk orangtua, menjadi kunci. Anak perlu diberi pemahaman dampak dan bahaya dari penggunaan media sosial jika salah memanfaatkannya.
Edukasi literasi bermedia sosial bagi anak-anak menjadi sangat penting karena kasus anak-anak mengakses media sosial dan mengunggah konten negatif yang menimbulkan reaksi publik yang luas bukanlah baru pertama kali terjadi. Bahkan, ada yang sampai berujung ke proses hukum. Mari, ajarkan anak-anak cerdas dan bijak bermedia sosial.