Anak Lima Tahun Dianiaya Ayahnya, Kementerian PPPA Turunkan Tim
Kekerasan terus membayangi anak-anak, baik sebelum terlebih saat pandemi Covid-19 . Pandemi kian memperburuk situasi perlindungan terhadap anak.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kekerasan terhadap anak terus terjadi, bahkan pada masa pandemi Covid-19 sekalipun. Menyusul informasi penganiayaan terhadap anak berusia lima tahun yang dilakukan WH (35), ayah kandungnya di Tangerang Selatan, Banten, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sejak Kamis (20/5/2021) malam, menerjunkan Tim Sahabat Perempuan dan Anak atau SAPA 129 ke wilayah tersebut.
Deputi Perlindungan Khusus Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA), Nahar, Jumat (21/5/2021), menyampaikan, setelah mendapat informasi tersebut, pihak Kemen-PPPA langsung berkoordinasi dengan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Tangerang Selatan, Polda Metro Jaya, dan Polres Tangerang Selatan.
”Kami mengecam keras tindakan penganiayaan yang dilakukan ayah kepada anak kandungnya. Guna menindaklanjuti kasus tersebut, kami langsung menerjunkan tim untuk memastikan proses hukum terhadap pelaku berjalan sesuai dengan hukum yang berlaku,” tegas Nahar.
Nahar juga menyatakan bahwa Tim SAPA 129 Kemen-PPPA akan berkoordinasi dengan P2TP2A setempat guna memastikan agar korban mendapatkan pendampingan dan layanan yang dibutuhkan dalam proses pemulihan dari kejadian tersebut.
Sejauh ini, dari hasil pendampingan dan asesmen Tim SAPA 129 Kemen-PPPA bersama Unit PPA Polres Tangerang Selatan dan P2TP2A Kota Tangerang Selatan, motif WH melakukan tindak kekerasan tersebut dilatarbelakangi oleh masalah keluarga. Sang anak menjadi korban pelampiasan emosi WH yang sedang berkonflik dengan istrinya.
Perbuatan pelaku melanggar Pasal 80 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman lima tahun penjara, ditambah sepertiga dari hukuman penjara tersebut karena pelaku merupakan orangtua korban sehingga akan terjadi pemberatan secara hukuman pidana.
Nahar menambahkan, Tim SAPA 129 Kemen-PPPA akan terus memantau proses asesmen oleh P2TP2A Kota Tangerang Selatan dan kondisi korban.
Kami mengecam keras tindakan penganiayaan yang dilakukan ayah kepada anak kandungnya. Guna menindaklanjuti kasus tersebut, kami langsung menerjunkan tim untuk memastikan proses hukum terhadap pelaku berjalan sesuai dengan hukum yang berlaku.
”Pihak Polres juga akan melakukan mitigasi dan pemulihan trauma korban melalui P2TP2A Kota Tangerang Selatan, dibantu pihak pusat melalui Kemen-PPPA,” kata Nahar yang berharap tidak ada lagi anak yang menjadi korban akibat masalah keluarga.
Pemantauan terus dilakukan Kemen-PPPA demi memastikan proses penanganan kasus berjalan sesuai dengan hukum yang berlaku, serta korban mendapatkan pendampingan dan layanan dalam proses pemulihannya. Dari informasi yang diperoleh Kemen-PPPA, pelaku (ayah) anak tersebut tinggal bersama anaknya, sementara sang ibu menjadi pekerja migran di Malaysia.
Pengasuhan anak
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Rita Pranawati mengecam dan menyesalkan penganiayaan yang dilakukan oleh ayah kandung pada anaknya. Dari informasi yang diperoleh KPAI, sang ayah mengasuh anaknya sendiri karena ibunya bekerja sebagai pekerja migran di luar negeri.
”Kami sangat menyesalkan tindakan itu. Kekesalan pelaku, tidak seharusnya dilampiaskan pada anak. Situasi pandemi saat ini memang tidak mudah, tetapi kondisi ini tidak kemudian menjadi alasan untuk melampiaskan emosi pada anak. Harusnya orangtua harus melindungi anaknya, bukan malah menganiaya,” kata Rita.
Menurut Rita, pengasuhan atas anak perlu mendapat perhatian terutama ketika salah satu orangtuanya bekerja, apalagi menjadi pekerja migran. Peran lingkungan juga sangat diharapkan untuk ikut melindungi anak-anak agar tidak menjadi korban penganiayaan.
Situasi perlindungan anak pada masa pandemi tergambar dalam Laporan Kinerja KPAI 2020 bertajuk ”Perlindungan Anak di Era Pandemi Covid-19” yang diluncurkan pada Februari 2021. Pada laporan tersebut tercatat selama tahun 2020, KPAI menerima 6.519 pengaduan kasus pelanggaran hak anak.
Dari semua laporan yang masuk, kasus di kluster keluarga dan pengasuhan alternatif yang paling tinggi, yakni sebanyak 1.622 kasus. Padahal, tahun 2019, angka laporannya hanya 896 kasus. Pada tahun-tahun sebelumnya, pengaduan yang paling tinggi adalah kasus anak berhadapan hukum (ABH).
”Data tersebut, menurut Rita, memberikan gambaran kondisi pandemi berdampak pada anak. Kasus pada kluster keluarga dan pengasuhan alternatif paling tinggi, memberikan gambaran dampak kondisi orangtua yang berkonflik berefek domino kepada anak.