Sistem pendidikan di negeri ini belum optimal mendorong literasi digital. Situasi ini mengakibatkan sejumlah anak tersesat di ranah digital dengan mengunggah hoaks dan ujaran kebencian.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Sejumlah pemuda mengikuti deklarasi ”Bandung Anti Hoaks” yang diadakan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) pada hari bebas kendaraan bermotor di Jalan Ir Djuanda, Kota Bandung, Jawa Barat, Minggu (31/3/2019).
Tingginya penggunaan internet di kalangan anak muda pada masa pandemi Covid-19 belum dibarengi upaya membangun literasi digital agar bijak menggunakan media sosial. Situasi itu membuat kasus anak mengunggah ujaran kebencian ataupun hoaks di media sosial bermunculan.
Hal itu perlu menjadi bahan evaluasi proses pembelajaran di sekolah. Kenyataannya, masalah itu kerap disikapi dengan pendekatan formal dan mengancam hak belajar anak.
Seorang siswa SMA di Kabupaten Bengkulu Tengah, Bengkulu, MS (18), Selasa (18/5/2021), dikeluarkan dari sekolah. Unggahan yang bernada kebencian di akun media sosialnya terhadap Palestina dinilai melanggar tata tertib sehingga diputuskan MS dibina orangtuanya alias tidak bisa lagi menimba ilmu di sekolahnya tersebut.
Dalam pengakuan MS, seperti dikutip dari Kompas.com dan Kompas TV, dia meminta maaf yang sebesar-besarnya, terutama kepada negara Palestina, warga negara Indonesia, Provinsi Bengkulu, dan Kabupaten Bengkulu Tengah (Benteng). ”Saya siap menerima risiko dari perbuatan saya. Saya sangat minta maaf yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang tersinggung atas perbuatan saya ini,” kata MS, seperti terlihat di tayangan Kompas TV.
Jangan anak-anak jadi korban dari tidak becusnya proses pendidikan pada anak. (Doni Koesoema)
MS terlihat memegang surat pernyataan bermeterai yang berisi pernyataan minta maaf. Sementara ibunya yang mendampingi memegang selembar kertas putih bertuliskan ”Indonesia Love Palestine, Palestine Love Indonesia”, seraya dilengkapi bendera kedua negara saling bersilangan.
Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah VIII Kabupaten Benteng Adang Parlindungan menjelaskan, keputusan mengeluarkan MS dari sekolah berdasarkan hasil rapat Cabang Dinas Pendidikan Wilayah VIII Kabupaten Benteng dan pihak sekolah, komite, wali kelas, serta unsur pengawas. Siswa dikeluarkan karena poin tata tertib sekolah sudah terlampaui sehingga MS akan dikembalikan kepada orangtua.
Oleh karena MS sudah meminta maaf secara terbuka, pihak kepolisian pun tidak lagi melanjutkan perkara MS atau tidak dibawa ke ranah pidana. Namun, MS harus dibina orangtuanya.
Evaluasi
Keputusan untuk mengeluarkan MS dari sekolah akibat unggahan bernada kebencian di akun media sosialnya menuai pro-kontra. Praktisi pendidikan karakter Doni Koesoema di Jakarta, Rabu (19/5/2021), menilai bermunculannya kasus anak sekolah yang berani mengunggah konten bernada hoaks atau ujaran kebencian di media sosial mesti menjadi evaluasi serius tentang proses pendidikan yang terjadi di sekolah, daerah, dan nasional.
”Proses pendidikan kita belum menyiapkan anak untuk mampu berpikir kritis. Jadi, bukan sekadar anak diajarkan literasi digital dan ancaman Undang-Undang tentang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik). Kemampuan berpikir kritis ini harus jadi upaya serius proses pendidikan di sekolah,” kata Doni yang juga anggota Badan Standar Nasional Pendidikan.
Menurut Doni, perlindungan hak belajar anak di Indonesia masih lemah. Pembahasan soal Palestina-Israel di Indonesia lebih dibawa ke ranah mempertajam perbedaan pandangan sehingga terdistorsi. Padahal, di sinilah peran tri pusat pendidikan (keluarga, sekolah, dan masyarakat) untuk bisa membawa anak-anak Indonesia berpikir kritis dalam konteks global tentang penjajahan dan perdamaian.
”Dalam menghadapi masalah anak, cobalah untuk memahami latar belakang anak dan mengapa melakukannya. Anak tidak langsung dihakimi, apalagi oleh warganet, sehingga berujung pada keputusan mengeluarkan anak bersangkutan dari sekolah. Jangan anak-anak jadi korban dari tidak becusnya proses pendidikan pada anak,” kata Doni.
Secara terpisah, Diena Haryana, pendiri Yayasan Sejiwa yang juga anggota Dewan Pengarah Siberkreasi, Gerakan Nasional Literasi Digital, mengatakan, anak-anak muda mudah hanyut dan ”tersesat” di ranah dunia digital. ”Betapa gawat darurat perlindungan anak di dunia digital. Untuk itu, orang dewasa, baik orangtua maupun guru di sekolah, harus memperkuat pendidikan digital untuk menyiapkan generasi muda masuk budaya digital bermutu,” ujarnya.
Anak-anak memiliki rasa ingin tahu yang besar dan cepat belajar dengan perkembangan digital. ”Masalahnya, apakah lingkungan di sekitar anak sudah mendampingi, melindungi, dan mengarahkan,” tambah Diena.
Kompas/Priyombodo
Anak-anak mencoba berselancar di dunia maya dalam acara peluncuran program tangkas berinternet (#tangkasberinternet) di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Senin (10/2/2020). Kegiatan yang digagas Google Indonesia ini dalam rangka memperingati Hari Aman Berinternet Sedunia atau Safe Internet Day yang diselenggarakan setiap tanggal 11 Februari.
Pada Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2021, program literasi digital nasional diluncurkan secara serentak di 16 stasiun televisi, 34 provinsi, dan 514 kabupaten/kota. Ada empat area yang dikuatkan, yakni kemampuan digital, etika digital, keamanan digital, dan budaya digital.
”Secara digital, etika warganet Indonesia dinilai amat bermasalah. Mereka memakai media sosial untuk menghujat atau mengeluarkan hal-hal yang tidak disukai. Padahal, tanpa disadari, dampaknya bisa berbalik ke diri sendiri dan reputasi jadi buruk dengan jejak digital. Inilah yang kerap tak disadari anak-anak muda,” tutur Diena.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti, mengatakan, KPAI prihatin dengan dikeluarkannya MS, pembuat konten Tiktok yang diduga menghina Palestina. Itu membuat MS kehilangan hak atas pendidikannya dan bisa jadi sekolah lain menolak MS karena kasusnya viral.
”Anak jangan jadi korban simpang siurnya berita dan pernyataan di medsos, sementara kemampuan analisis banyak anak masih terbatas dalam menyikapi peristiwa yang terjadi dan ramai di media sosial,” katanya.
Retno menambahkan, KPAI akan segera berkoordinasi dengan dinas pendidikan setempat untuk pemenuhan hak anak atas pendidikan MS. ”KPAI mendorong para orangtua untuk mengedukasi dan mengawasi anak-anaknya dalam menggunakan media sosial,” ujarnya.