Pergeseran nilai batik di mata masyarakat jadi tanda pentingya upaya melestarikan batik secara menyeluruh. Edukasi dan riset pun diperlukan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya melestarikan batik sebagai warisan budaya tak benda yang diakui UNESCO pada 2009 perlu terus dilakukan. Caranya, bisa melalui edukasi masyarakat secara terus-menerus, riset mendalam, dan membuat pusat data sebagai rujukan informasi batik Nusantara.
Penghageng KHP Nitya Budaya Keraton Yogyakarta Gusti Kanjeng Ratu Bendara mengatakan, kesalahan penerapan motif batik ke karya lain masih kerap ditemukan, misalnya pada eksterior bangunan ataupun film. Ketidaktepatan memajang kain batik pun masih ditemukan. Salah satu penyebabnya pemahaman publik tentang batik belum menyeluruh.
”Di Keraton Yogyakarta ada beberapa motif batik larangan, contohnya parang barong. Beberapa pihak salah menggunakan motif ini karena seharusnya (motifnya mengalir) ke bawah, bukan ke arah lain. Ada pula motif batik yang dijadikan ornamen lantai yang terinjak-injak,” kata GKR Bendara pada webinar Masa Depan Batik Indonesia: Upaya Pelestarian Melalui Museum, Rabu (19/5/2021).
Menurutnya, batik adalah karya seni yang harus dijunjung, dihargai, dan diperlakukan seperti seni. Selain seni, batik merupakan warisan budaya berusia ratusan tahun. Edukasi ke publik tentang batik jadi penting.
Upaya mengenalkan dan ”meremajakan” batik pun dilakukan. Ruang batik yang ada di kawasan Keraton Yogyakarta akan direnovasi setelah sekitar 30 tahun. GKR Bendara mengatakan, ruangan itu akan diubah menjadi ruangan bertema ”Daur Hidup” yang menggambarkan kehadiran batik dalam siklus kehidupan hingga kematian manusia.
Digitalisasi batik dan benda-benda seni lain di Keraton Yogyakarta juga akan dilakukan. Publik dapat mengaksesnya di laman Keraton Yogyakarta. Diseminasi informasi tentang batik, barang seni, dan budaya tak benda Keraton Yogyakarta juga dibagikan melalui Youtube, Instagram, dan Facebook.
”Selain itu, kami sedang mencoba meneliti lagi dan merekonstruksi motif-motif batik yang hilang, yakni sembagen ombaking toya, pusparaga, dan kawungsari. Ini berdasarkan manuskrip Keraton Yogyakarta yang dijarah pihak Raffles (Inggris) pada zaman dulu. Motif di manuskrip itu berupa tulisan, bukan gambar sehingga perlu kami teliti kembali,” ujar GKR Bendara.
Pergeseran nilai
Menurut Dekan Fakultas Teknologi Batik Universitas Pekalongan Zahir Widadi, nilai batik bergeser dari benda budaya menjadi komoditas bernilai ekonomi. Makna simbolis pada batik pun kini dipahami sebatas estetika dan aspek visual. ”Ini masalah batik secara nasional saat ini, baik di dalam maupun luar negeri,” ujarnya.
Ia mengatakan, kunci menghadapi masalah pemahaman publik terhadap batik adalah melalui narasi. Narasi bisa dibangun dengan memberikan informasi melalui museum, kemudian menunjukkan koleksi batik, dan melakukan lokakarya terkait batik.
Nilai budaya batik yang diakui UNESCO perlu disampaikan ke masyarakat. Adapun batik sebagai warisan budaya tak benda memenuhi tiga domain UNESCO, yakni batik sebagai tradisi dan ekspresi lisan, batik sebagai benda yang digunakan pada adat, ritual, dan perayaan sosial, serta batik sebagai kerajinan tangan tradisional.
”Dalam kondisi (pemahaman) batik yang sudah bergeser, Museum Batik Indonesia perlu menindaklanjuti makna, arti, bukti, dan kejelasan tiga domain ini sehingga batik menjadi warisan budaya tak benda,” kata Zahir.
Kami sedang mencoba meneliti lagi dan merekonstruksi motif-motif batik yang hilang, yakni sembagen ombaking toya, pusparaga,dan kawungsari. Ini berdasarkan manuskrip Keraton Yogyakarta yang dijarah pihak Raffles (Inggris) pada zaman dulu.
Museum Batik Indonesia
Merespons penetapan batik sebagai warisan budaya tak benda, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) membuat Museum Batik Indonesia. Museum ini dibangun sejak 2014 dan kini sedang tahap finalisasi. Museum ini memuat sekitar 137 koleksi kain batik dan diharapkan jadi pusat informasi menyeluruh tentang batik.
”Kita posisikan batik bukan hanya untuk dilindungi, tapi juga perlu memikirkan pengembangannya dan pemanfaatannya. Visi museum ini adalah mewujudkan pelestarian warisan dan identitas budaya untuk kesejahteraan masyarakat,” kata Direktur Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan (PTLK) Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud Ristek Judi Wahjudin.
Sementara itu, Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud Ristek Hilmar Farid berharap pelestarian batik jadi lebih baik dengan keberadaan museum ini. ”Kita dapat melakukan pameran hingga konservasi,” katanya. (SKA)