Dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang yang tidak menyadari jika mereka menjadi korban hubungan "beracun" dan terjebak dalam lingkaran kekerasan. Maka, pengetahuan soal hubungan beracun sangatlah penting.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
”Jangan biarkan sampai kamu tidak bisa membedakan perasaan cinta dengan kekerasan yang kamu alami. Luka itu nyata! Jika dibiarkan terus-menerus, kamu akan terjebak dalam siklus kekerasan. Tidak ada satu pun bentuk kekerasan yang wajar! Nyawamu taruhannya!”
Demikian petikan kalimat yang ditulis R Valentina Sagala, aktivis perempuan yang juga pendiri Institut Perempuan, dalam bukunya berjudul Cinta itu Bukan Luka:Rahasia Terbebas dari Tocix Relationship yang diluncurkan tepat pada Hari Kasih Sayang (Valentine\'s Day) 2021, 14 Februari 2021.
Dalam buku itu, Valentina, yang juga advokat, kolumnis, dan dosen, menegaskan bahwa kekerasan itu bukan cinta. Cinta itu bukan luka, dan cinta tidak pernah berwujud kekerasan, apalagi sampai mengancam nyawa seseorang.
Karena itu, penting sekali bagi seseorang (baik perempuan maupun laki-laki) untuk menyadari dan memahami jika dia berada atau terjebak dalam hubungan yang tidak sehat atau beracun (toxic relationship).
Sebab, kesadaran bahwa dirinya menjadi ”korban” (fisik, psikis, ekonomi, dan seksual) dari hubungan beracun akan mendorong dan memberi kekuatan pada seseorang (terutama perempuan) untuk keluar dari siklus kekerasan.
Tentu saja itu tidak mudah. Jangankan melepaskan diri, untuk bicara saja (speak up) dan menceritakan dengan orang lain apa yang dirasakan dan dialaminya selama ini tidaklah gampang. Apalagi, jika hubungan beracun tersebut terjadi dalam sebuah ikatan cinta (berpacaran). Atas nama rasa cinta, terkadang seseorang cenderung ”toleransi” atas perlakuan buruk dari pasangannya.
”Cinta buta” begitulah orang umumnya menyebutnya. Sebab, karena rasa cinta yang terlalu besar, bisa menutup mata seseorang dari segala hal yang dialaminya, sehingga sulit membedakan antara cinta dan kekerasan.
Ini berbahaya! Jika hubungan beracun sudah diwarnai kekerasan fisik, tidak ada jalan lain segeralah mencari pertolongan. Hubungan yang dipenuhi kekerasan, sungguh tidak perlu dipertahankan! —R Valentina Sagala
”Ini berbahaya! Jika hubungan beracun sudah diwarnai kekerasan fisik, tidak ada jalan lain segeralah mencari pertolongan. Hubungan yang dipenuhi kekerasan, sungguh tidak perlu dipertahankan!” tegas Valentina yang selama ini aktif mengawal Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.
Ketika pacaran yang diwarnai hubungan beracun pada fase yang mengancam, perlu keberanian dari seseorang yang menjadi korban untuk keluar dari situasi tersebut agar kekerasan dalam berpacaran (KDP) bisa dihentikan atau dihindari. Selain bicara, menghubungi psikolog, juga segera menghubungi lembaga layanan korban kekerasan jika mengalami menjadi korban kekerasan.
Bicara soal hubungan beracun, menurut Vitria Lazzarini Lafief, Psikolog, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) DKI Jakarta, kekerasan dalam relasi pacaran, bisa terjadi tidak hanya usia remaja, tapi juga berusia dewasa.
Bahkan, P2TPA pernah menerima pengaduan kekerasan dalam pacaran dari perempuan dewasa usia 45 tahun. Perempuan tersebut telah bercerai dengan suami pertama dan menjalin hubungan pacaran dengan seseorang kemudian mengalami kekerasan fisik, psikis, seksual, dan ekonomi, serta eksploitasi seksual. ”Pemanfaatan ekonomi sampai kira-kira ratusan juta. Karena korban sudah punya penghasilan, dan keuangannya disedot oleh pasanganya,” katanya.
Mengapa perempuan yang mapan ekonominya bisa terjebak dalam hubungan beracun, menurut Vitria, faktornya banyak, antara lain karena minimnya informasi relasi yang sehat dan seksualitas, dan sejumlah relasi dibangun dari perkenalan di dunia maya dalam waktu singkat, bahkan keluarga tidak tahu. Bahkan, ada sensasi romantisisme ”rahasia” dan eksklusif antara pelaku dan korban.
Persoalanya, kendati menjadi korban kekerasan, umumnya para perempuan tidak mengetahui cara melepaskan diri dari kekerasan tersebut dan justru makin terjebak dalam lingkaran kekerasan. Ada kekhawatiran jika melaporkan akan ada ancaman, intimidasi, apalagi sudah pernah melakukan hubungan seksual atau terjadi kehamilan yang tidak diinginkan.
Siklus kekerasan bisa berlanjut, bahkan ketika kasus dibawa ke pengadilan ada korban yang tidak merasa mengalami kekerasan dari pasangannya. Karena itu, dukungan terhadap korban menjadi penting, setidaknya ada rasa empati dan percaya, mendampingi, tidak menyalahkan korban. ”Hargai pilihannya dan beri dia waktu untuk pulih,” kata Vitria.
Mitos atau fakta
Melihat banyaknya korban KDP, meningkatkan wawasan perempuan bagaimana membangun hubungan yang sehat harus terus dilakukan. Menurut Valentina ada cara sederhana dalam mengenali lebih dekat hubungan beracun, yakni dengan membedakan mitos dan fakta terkait kekerasan dalam pacaran.
Misalnya, ”Cemburu maupun kekerasan dari pacar adalah bentuk perhatian dan tanda bahwa dia sangat mencintai kekasihnya”. Itu adalah mitos. Karena faktanya, itu sama sekali bukan bukti cinta. Tetapi upaya untuk mengontrol perempuan agar patuh, tunduk, dan selalu menuruti kemauan sang pacar. Cemburu sedikit bolehlah, tetapi kalau sudah berlebihan bahkan sampai pada pengekangan hingga kekerasan fisik dan psikis, jelas itu salah.
Ada juga mitos (dan ini sering terjadi dan menimpa perempuan): Kalau pacar yang melakukan kekerasan telah meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi lagi, maka kita sudah ”aman” dan boleh percaya dia tidak akan mengulangi perbuatannya lagi”.
Padahal, faktanya, kekerasan umumnya terjadi seperti siklus atau lingkaran tak berujung yang akan kembali pada pola lamanya. Jika sudah terjadi satu kali, umumnya akan ada kekerasan kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya.
Dan akhirnya siklus kekerasan pun tak kunjung berhenti karena umumnya korban biasanya merasa iba dan memaafkan serta menganggap pelaku sudah sadar atas perilaku kekerasan yang dilakukannya.
Kebanyakan perempuan menyatakan ketika awal terjadi kekerasan, sebenarnya mereka melawan dengan meminta kepada pasangannya untuk putus hubungan. Namun, dalam situasi itu pelaku akan meminta maaf dengan berbagai cara agar korban memaafkannya kembali, hingga akhirnya terjebak dalam spiral kekerasan yang tak berujung.
Oleh karena itu, selain sadar dirinya menjadi korban kekerasan dalam berpacaran, perempuan perlu memahami siklus kekerasan yang dialaminya. Sebab, jika itu berlanjut ke jenjang perkawinan akan semakin sulit korban melepaskan diri dari lingkaran kekerasan tersebut.
Maka, jangan takut untuk memutuskan hubungan beracun. Jangan pernah merasa sendirian karena ada banyak yang pernah mengalami hal seperti itu. Lalu, bagaimana jika sang pasangan mengajak berkomunikasi lagi? Jangan mau, sebelum kamu benar-benar move on sepenuhnya!