Kebiasaan membaca perlu ditumbuhkan sejak usia dini. Namun, praktik pendidikan praliterasi masih menekankan membaca, menulis, dan berhitung, secara langsung, sehingga siswa tertekan dan tak menyukai aktivitas literasi.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendidikan pra-literasi anak usia dini yang sesuai tahapan perkembangan anak dan dilakukan secara menyenangkan dapat mendorong anak suka membaca. Sayangnya, praktik pendidikan anak usia dini yang terjadi masih menekankan membaca, menulis, dan menghitung atau calistung secara langsung yang membuat anak tertekan sehingga sebagian tidak menyukai literasi.
Padahal, kebiasaan dan kesukaan membaca sejak dini dibutuhkan untuk menumbuhkan kemampuan berpikir kritis. Pada era arus informasi yang melimpah dan bermunculan kabar bohong atau hoaks, kemampuan berpikir kritis yang dibangun dari kebiasaan membaca mendorong orang terbiasa untuk menelaah kebenaran informasi dengan mencari rujukan yang dapat dipercaya.
”Kemampuan membaca bangsa kita masih lemah. Namun, keliru juga yang dilakukan dengan praktik calistung yang keliru di PAUD. Hasilnya, anak-anak bisa membaca, tetapi tidak suka membaca,” kata Ketua Umum Pengurus Pusat Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini Indonesia (Himpaudi) Netti Herawati dalam Webinar Peluncuran Gerakan Nasional Membaca Buku (Gernas Baku) Tahun 2021, di Jakarta, Senin (17/5/2021). Webinar diinisiati Himpaudi untuk merayakan Hari Buku Nasional 2021 sekaligus halalbihalal.
Netti mengatakan Himpaudi melanjutkan Gernas Baku yang sebenarnya sudah diluncurkan Kemdikbud pada 2018. Jika di awal peluncuran Gernas Baku untuk mengajak keluarga membiasakan membaca buku bagi anak-anak usia dini di rumah, Himpaudi memperluas dengan gerakan membacakan buku bagi anak-anak PAUD oleh guru atau berkolaborasi dengan orangtua di sekolah, dan membaca buku tiap hari di rumah oleh orangtua.
Gernas Baku, lanjut Netti, harus secara sadar dan konsisten dilakukan di sekolah, rumah, dan komunitas. Kondisi anak-anak Indonesia berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS) 2015, sebanyak 91,47 persen anak sekolah lebih suka menonton televisi, hanya 13,11 persen yang suka membaca. Padahal, pada abad ke-21, membutuhkan anak-anak yang mampu berpikir kritis, kreatif, komunikatif, dan mampu berkolaborasi. Kemampuan literasi yang dibutuhkan berkembang mulai dari baca-tulis, numerasi, sains, finansial, digital, serta budaya dan kewargaan.
Harris Iskandar, Widyaprada Ahli Utama di Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemdikbud Ristek), mengatakan pembelajaran calistung yang secara langsung dapat membuat anak terbebani dan tertekan.
Padahal, anak-anak akan mengulangi kegiatan yang menyenangkan, sebaliknya melupakan atau meninggalkan hal-hal yang tidak menyenangkan bagi mereka. ”Implikasi selanjutnya, minat baca dan daya baca anak menjadi rendah,” kata Harris.
Harris menjelaskan dalam pendidikan pra-literasi anak usia dini, penting bagi guru dan orangtua memperhatikan perkembangan anak, keunikan setiap anak, kecenderungan gaya belajar anak, dan hubungan dengan pengalaman yang telah dikonstruksi.
Kegiatan pra-literasi anak usia dini dimulai dengan motivasi literasi. Kegiatan yang dilakukan meliputi kegiatan membaca bersama, melakukan aktivitas membaca di depan anak, mendongeng, mengajak anak ke toko buku, menunjukkan buku-buku yang menarik, hingga kegiatan membaca dengan ekspresif dan jelas. ”Dengan mendongeng atau membaca nyaring, anak-anak mudah tertarik,” kata Harris.
Selanjutnya, dikembangkan dengan pengenalan suara, kosa kata dengan mengenalkan nama benda-benda di sekitar, dan menceritakan. Ketika masuk pada kesadaran literasi kegiatan yang dilakukan dengan mengajarkan anak cara memegang buku dan mengajarkan cara membuat tulisan. Lalu, anak-anak diajak untuk masuk dalam pengetahuan huruf, bisa dengan flash card atau tebak huruf.
Dengan mendongeng atau membaca nyaring, anak-anak mudah tertarik.
Di sekolah tentu harus tersedia buku-buku menarik sambil melakukan kegiatan membaca secara rutin, oleh guru maupun mengundang orangtua. Di rumah, para orangtua harus menjadi contoh dalam membaca buku bagi anak.
”Orangtua harus sabar untuk membuat anak menyukai buku yang sesuai kegemarannya. Cobalah membaca buku yang sama berkali-kali, hingga mengajak anak-anak ke perpustakaan,” ujar Harris.
Sementara itu, Bunda PAUD Jawa Barat Atalia Praratya mengatakan kebiasaan membaca masyarakat Jabar masuk kategori cukup. Namun, pada masa pandemi Covid-19, kebiasaan membaca menurun. Hal ini terlihat dari ketersediaan fasilitas membaca dan sumber informasi serta pemanfaatan bahan bacaan/sumber informasi yang menurun.
Atalia menuturkan, Kelompok Kerja Bunda PAUD mengembangkan program perpustakaan bergerak, perpustakaan jalanan, perpustakaan desa/kelurahan/kecamatan, taman bacaan masyarakat, perpustakaan pusat di 27 kabupaten/kota, dan perpustakaan keliling.
Kreativitas mendongkrak minat baca anak zaman sekarang dengan memanfaatkan teknologi digital. Perpustakaan Umum Jawa Barat mengembangkan aplikasi CANDIL yang menyediakan buku elektronik (e-book). Dalam tiga bulan, minat baca anak meningkat 288 anak per bulan melalui pertemuan daring secara kolaboratif dan kolektif bersama para siswa Taman Kanak-kanak.
Seribu Buku Anak
Netti mengatakan membacakan buku bagi anak usia dini oleh orangtua maupun guru menjadi kesempatan untuk menanamkan nilai-nilai baik sejak dini untuk membentuk karakter anak. Karena itu, kebiasaan membacakan buku untuk anak dalam rangka menumbuhkan minat baca anak butuh dukungan buku-buku berkualitas.
Menurut Netti, bersamaan dengan pencanangan Gernas Baku, Himpaudi juga mencanangkan Gerakan Seribu Guru Menulis Seribu Buku. Gerakan ini didukung Penerbit Erlangga melalui pelatihan menulis bagi guru PAUD.
Achi TM, Penulis Erlangga dan Instruktur Literasi Nasional Badan Bahasa Kemdikbud Ristek mengatakan anak-anak Indonesia butuh bahan bacaan baik dan bermutu. ”Akan lebih baik jika guru PAUD yang bergulat dengan anak, pola tingkah anak, bisa mulai menulis cerita anak,” kata Achi.
Sejumlah guru PAUD mulai mengembangkan kemampuan menulis. Huzaifah, guru di PAUD Kenanga Desa Kote, Kecamatan Singkep Pesisir, Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau, memulai karena terpilih untuk ikut lomba jambore pendidik dan tenaga kependidikan PAUD.
”Awalnya saya bikin yang sederhana, membuat mainan dari kerang menjadi miniatur aquarium laut. Lalu saya bikin tulis sesederhana mungkin versi saya, karena tidak punya ilmu menulis. Ternyata ini berguna dan menarik minat anak-anak,” kata Huzaifah.
Sementara itu, Emelda, pendidik di PAUD Al-FA’izin, Ngari Sawah Tangah, Sumatera Barat, membuat buku cerita anak berbasis budaya local. Dia membuat buku seri yang mengangkat nilai-nilai budaya Minangkabau untuk anak. ”Ada 12 buku Seri budaya, saya baru mulai satu,” kata Emelda.