Temanku SMP dalam Dua Tahun ini, Sudah Tiga Kali Bercerai
Perkawinan anak terus mengancam masa depan anak-anak terutama perempuan, termasuk di masa pandemi Covid-19. Untuk mencegahnya, anak-anak harus dilibatkan, untuk meyakinkan teman sebayanya melawan perkawinan anak.
Fenomena perkawinan anak di daerah bukanlah sesuatu baru. Melihat anak belasan tahun yang baru lulus sekolah dasar atau masih duduk di bangku sekolah menengah pertama menikah itu bukan hal aneh bagi masyarakat di sejumlah desa. Bahkan, pada masa pandemi Covid-19, perkawinan anak dianggap sebagai solusi untuk keluar dari problem ekonomi ataupun stigma sosial.
Namun yang terjadi bukan menyelesaikan masalah, melainkan menghadirkan persoalan baru. Ketidaksiapan dan belum matangnya seorang anak memasuki jenjang perkawinan membuat perkawinannya tidak berhasil. Kalaupun bertahan, itu hanya seumur jagung.
Dan, anak-anak perempuanlah yang menjadi korban dan terjerat siklus perkawinan semu, yakni menikah bercerai, kembali ke orangtua, dinikahkan lagi, bercerai, dan dinikahkan lagi, begitu seterusnya. Di sejumlah daerah, seperti Lombok, Nusa Tenggara Barat, fenomena kawin cerai korban perkawinan anak masih terus berlangsung.
”Saya terbiasa melihat kekerasan anak di sekitar dusun di desa saya, bahkan perkawinan usia anak sudah menjadi tontotan di sini karena sudah terlalu banyak perkawinan anak di sini. Bahkan, teman sebaya saya waktu SMP dulu saat ini, dalam dua tahun belakangan ini dia itu sudah menjadi janda tiga kali,” ujar Rama Sayudhia, perwakilan Kelompok Perlindungan Anak Desa (KPAD) di Kabupaten Lombok Barat, NTB, pada Dialog Kebijakan Praktik Perkawinan Anak Setelah Pengesahan UU Nomor 16 Tahun 2019 di 7 Kabupaten/Kota, Selasa (4/5/2021), yang digelar Koalisi Perempuan Indonesia bersama Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia).
Saya terbiasa melihat kekerasan anak di sekitar dusun di desa saya, bahkan perkawinan usia anak sudah menjadi tontotan di sini, karena sudah terlalu banyak perkawinan anak di sini.
Melihat situasi yang dialami teman-temannya, sebagai remaja, Rama mengaku hatinya tergerak. Ia tidak ingin lagi ada teman-teman perempuannya yang drop out (putus sekolah) dan masa depannya hancur, kehidupannya di masa anak-anak pun terenggut.
Baca juga: Kartini dan Momentum Perkuat Gerakan Pencegahan Perkawinan Anak
Bersama dengan teman-temannya, Rama yang sebelumnya mengikuti kegiatan Plan Indonesia ”Yes I Do” yang berfokus pada pencegahan perkawinan usia anak dan kehamilan remaja, beberapa tahun terakhir berkampanye kepada teman-teman di desanya tentang bahaya perkawinan anak.
Mereka masuk ke dusun-dusun lalu bertemu dan berdialog dengan sejumlah remaja perempuan dan laki-laki, serta mengajak bersama-sama cegah perkawinan anak. Mereka pun meminta pemerintah desa mendukung pos pelayanan terpadu (posyandu) remaja untuk mengedukasi remaja soal menjaga kesehatan reproduksi dan bahaya perkawinan anak.
”Kami saling curhat apa yang terjadi. Remaja laki-laki sibuk main gim daring, dan remaja perempuan kebanyakan diam di rumah. Kami jelaskan bahaya perkawinan anak,” papar Rama.
Tentu saja tidak mudah meyakinkan masyarakat karena di Lombok ada tradisi merariq kodeq (jika anak perempuan pergi dengan laki-laki dan pulang malam hari, maka dinikahkan). Ketika itu terjadi, Rama dan KPAD pun berupaya mencegah dan meminta orangtua masing-masing melakukan pembelasan (memisahkan pasangan yang akan dinikahkan).
Peran remaja
Keterlibatan remaja dalam upaya mencegah perkawinan anak pun dilakukan Salsalatul Khasanah, KPAD Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. ”Saya juga anak perempuan. Saya enggak mau jadi korban selanjutnya. Dari situlah saya termotivasi untuk menurunkan angka perkawinan anak di desa kami,” ujar Salsalatul yang akrab disapa Salsa.
Seperti Rama, Salsa dan kawan-kawannya di KPAD juga menghadapi tantangan dari masyarakat. ”Tidak diterima langsung karena masih tabu. Ada yang bilang perkawinan anak emang apa masalahnya? Itu enggak masalah, banyak anggapan kayak gitu. Tetapi kami terus menyosialisasikan kepada orang-orang di desa, dan katakan ini loh dampak negatif perkawinan anak,” papar Salsa.
Alhasil suara dari para remaja pun kini didengarkan masyarakat di desa. Selain berkampanye bahaya perkawinan anak, mereka pun mendirikan posyandu remaja, bahkan mengajak remaja di desanya berwirausaha. Bahkan, ibu-ibu di desa pun ikut mendukung gerakan anggota KPAD dan terlibat dalam kampanye pencegahan perkawinan anak serta perlindungan anak.
Melibatkan anak-anak dalam kampanye pencegahan perkawinan anak menjadi salah satu cara dalam mencegah praktik perkawinan anak. Sebab, merekalah yang menjadi sasaran atau korban perkawinan anak.
Ketika anak-anak sejak kecil diberikan pemahaman pentingnya masa depan, dibekali berbagai pengetahuan bagaimana menjaga kesehatan reproduksinya, dan menyiapkan diri untuk masa depan, merekalah yang akan berada di garda terdepan dalam pencegahan perkawinan anak.
Jadi meskipun orangtuanya memaksakan perkawinan, jika anak sudah mengerti bahayanya perkawinan anak, maka dia tidak akan dengan mau mengikuti keinginan orangtuanya.
Penguatan kapasitas anak juga menjadi penting seiring pengaruh teknologi informasi yang begitu kuat mencengkeram anak-anak di masa kini. Sejumlah praktik perkawinan anak belakangan ini juga karena dipengaruhi oleh pergaulan dan pengaruh media sosial. Apalagi belakangan ini marak kampanye tentang perkawinan usia anak di media sosial.
Peran pemerintah desa
Selain anak-anak, keterlibatan pemerintah desa juga sangat penting. Peran penting pemerintah desa diakui Deni Agustian, Kepala Desa Cikelat di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, dan Gabriel Kapitan, Kepala Desa Laranwutun di Kabupatan Lembata, Nusa Tenggara Timur.
Di Sukabumi, menurut Deni, pemerintah desa tidak akan memberikan pengantar surat perkawinan atau surat untuk mengajukan dispensasi perkawinan, jika pasangan yang menikah ada usia anak. Untuk itu, pihaknya berkoordinasi dengan pihak Kantor Urusan Agama (KUA). Pada tahun 2020 peraturan desa, sebelumnya perda perlindungan anak di tahun 2018.
Hambatan yang kami terima cukup besar, seakan-akan pemerintah desa memperbolehkan perzinahan, di mana anak-anak sudah berusia di atas 16 tahun, kenapa tidak dinikahkan saja. Kami sampaikan bahwa lebih banyak mudaratnya daripada maslahatnya,” ujar Deni.
Pemerintah desa juga memberikan pelatihan berwirausaha pada anak-anak supaya tidak terlibat pergaulan bebas. Selain itu, pihak desa pun menggerakkan remaja masjid.
Baca juga: Perlu Kolaborasi untuk Memutus Rantai Perkawinan Anak
Langkah yang sama juga ditempuh oleh Gabriel. Kendati menghadapi berbagai tantangan kultural, sejak 2016-2017 Gabriel mendorong dibuatnya peraturan desa (perdes) pencegahan perkawinan anak, membentuk forum anak desa, menganggarkan biaya kegiatan untuk kampanye hak anak dan pencegahan perkawinan anak, serta membentuk posyandu remaja dan memberikan anggaran.
Tak hanya itu, pemerintah desa juga melibatkan remaja dalam berbagai kegiatan desa. Bahkan ketika turun ke dusun-dusun, para remaja diikutsertakan dalam kampanye pencegahan perkawinan anak.
”Kami juga melakukan pendekatan kepada orangtua dan pihak sekolah. Karena kadang anak-anak bilang ke sekolah tapi mereka tidak sampai di sekolah, atau pulang terlambat alasan banyak tugas sekolah,” kata Gabriel.
Pemerintah desa juga melibatkan tokoh adat, tokoh agama, dan tokoh masyarakat untuk menangani persoalan anak di desa. Selain perdes, pemerintah desa juga menetapkan sanksi pada orangtua yang menikahkan anak di bawah umur.
”Kami lakukan ini karena kami tidak ingin perkawinan tidak boleh dilakukan main-main, namun kami masih hadapi masih belum semua remaja ambil bagian dalam kegiatan desa, orantua tidak disiplin awasi anaknya, ada suku tertentu yang pertahankan jika ada kehamilan anak harus dinikahkan adat,”
Gabriel mengungkapkan, tantangan yang paling terasa di desa yakni dunia elekronik dan telekomunikasi. Anak-anak sudah biasa menyaksikan tontonan film di televisi maupun video di gawai yang tidak sesuai usianya.
Sejumlah faktor pemicu
Situasi perkawinan anak di daerah sesungguhnya, sejalan dengan temuan studi yang dilakukan KPI bersama Plan Indonesia menemukan sejumlah fakta menarik terkait praktik perkawinan anak, tentang Praktik Perkawinan Anak Setelah Pengesahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan di 7 kabupaten/kota pada tahun 2020.
Baca juga: Pandemi Perburuk Situasi Perkawinan Anak
Dian Kartikasari, Peneliti KPI, mengungkapkan setidaknya ada faktor yang menjadi pendorong praktik perkawinan anak di daerah, yaitu sosial (28,5 persen), kesehatan (16,5 persen), keluarga (14,5 persen), ekonomi (11,9 persen), teknologi informasi (11,1 persen), budaya (10,1 persen, pendidikan (5,6 persen), agama (1,4 persen), dan hukum (0,4 persen). ”Kesembilan faktor ini menjadi tantangan besar dalam mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019,” kata Dian.
Maka, gerak bersama semua pihak mencegah perkawinan anak tidak bisa lagi ditunda. Apalagi di masa pandemi saat ini. Tentu saja, peran anak-anak dan remaja di desa-desa yang menjadi kantong perkawinan anak sangat penting. Karena merekalah yang berada di garda terdepan meyakinkan teman sebayanya untuk berkata tidak pada perkawinan anak!