Saat Perceraian Harus Terjadi di Usia Lanjut
Komitmen dibutuhkan dalam pernikahan karena manusia tidak bisa berharap cinta yang tumbuh di masa lalu akan terus menjaganya.
Dalam budaya Indonesia, komitmen adalah penjaga langgengnya sebuah perkawinan agar mampu bertahan puluhan tahun, bukan cinta. Namun, dalam budaya Barat saat ini, komitmen pun nyatanya tak cukup. Terpenuhinya kebutuhan untuk bisa berkembang dan mengaktualisasikan diri jadi penentu keberlanjutan sebuah pernikahan.
Pengumuman perceraian Bill Gates (65) dan Melinda Gates (56) mengejutkan dunia. Bagaimana mungkin pasangan yang sudah menikah lebih dari 27 tahun, memiliki tiga anak berumur 18-25 tahun, serta senantiasa terlihat bersama karena bekerja dalam lembaga yang sama, Bill & Melinda Gates Foundation, bisa bercerai?
"...Kami tidak lagi memiliki kepercayaan bahwa kami mampu tumbuh bersama sebagai pasangan pada fase hidup kami yang berikutnya...," kata Melinda Gates dan Bill Gates yang diunggah di akun Twitter Bill Gates pada Selasa (4/5/2021) saat mengumumkan perceraian mereka.
Bill bertemu Melinda pada 1987, saat Melinda bergabung ke perusahaan Bill, Microsoft, sebagai manajer produk. Keberhasilan Microsoft menguasai industri digital dunia membuat pasangan ini memiliki kekayaan sebesar 130 miliar dollar Amerika Serikat atau sekitar Rp 1.820 triliun dengan kurs Rp 14.000 per dollar.
Ketika mengungkap keinginannya mundur dari keanggotaan dewan direksi Microsoft pada Maret 2020, Bill berharap dapat bekerja lebih banyak untuk kegiatan kemanusiaan global melalui yayasan filantropi yang dibangunnya bersama Melinda. Sejak itu, Bill dan Melinda bagaikan pasangan petualang yang berkeliling dunia demi berbagai kegiatan amal yang mereka danai.
Bekerja di tempat yang sama sejatinya membuat hubungan Bill dan Melinda makin baik. "Bill dan saya adalah rekan kerja yang setara. Laki-laki dan perempuan seharusnya setara di tempat kerja," kata Melinda saat diwawancara
Associated Press pada 2019. Di situlah, seperti dikutip dari BBC, Selasa (4/5/2021) Melinda melihat Bill belajar untuk setara dan ia pun belajar melangkah maju dan menjadi setara.
Namun perceraian tetap terjadi. Tentu, hanya keluarga Bill dan Melinda yang tahu apa penyebab utama hancurnya bahtera rumah tangga mereka. Meski demikian, jika mengacu pada studi Pew Research Center, perceraian Bill dan Melinda alias perceraian yang terjadi di usia lanjut dan perkawinan sudah berlangsung puluhan tahun, ternyata bukanlah hal yang mengagetkan.
Selama tiga dekade terakhir, data Pusat Statistik Kesehatan Nasional (NCHS) AS dan Biro Sensus AS, menunjukkan tingkat perceraian pasangan yang berumur lebih dari 50 tahun di AS justru naik dua kali lipat. Jika pada 1990 sebanyak 5 dari 1.000 pasangan berumur lebih dari 50 tahun bercerai, namun pada 2015 jumlahnya menjadi 10 dari 1.000 pasangan.
Untuk pasangan yang berumur lebih dari 65 tahun pada periode yang sama, tingkat perceraian justru naik tiga kali lipat. Situasi itu berkebalikan dengan tingkat perceraian pada pasangan berumur 25-39 tahun yang tingkat perceraiannya justru menurun seperlimanya. Namun, itu bukan berarti pasangan berumur 25-39 tahun lebih bahagia dengan pernikahannya, tetapi mereka menjadi lebih selektif dalam menikah.
Baca juga: Bill-Melinda Gates Bercerai di Pernikahan, Tetap Bersatu dalam Pengelolaan Yayasan
Perceraian abu-abu
Perceraian pada pasangan yang berumur lebih dari 50 tahun pada saat pernikahan sudah berjalan lama itu sebenarnya bukan fenomena baru. Fenomena demografi yang disebut "perceraian abu-abu" atau
gray divorce itu sudah berlangsung lama dan jumlahnya terus meningkat seiring bertambahnya waktu.
"Perceraian abu-abu menjadi makin umum. Di usia lanjut, seseorang tidak hanya ingin hidup lebih lama dan sehat, tetapi juga tetap memiliki kesempatan. Mereka juga jadi lebih pemilih dalam menentukan tingkat kebahagiaan yang mereka inginkan dan mereka tidak ingin berkompromi dengan hal itu," kata Israel Helfand yang mengelola retret bagi pasangan yang pernikahannya di ambang kehancuran dan sebagian besar adalah pensiunan di Vermont, AS seperti dikutip
Time, Selasa(4/5/2021).
Pasangan usia lanjut umumnya memiliki kesiapan untuk berpisah. Jika pasangan tersebut adalah mitra kerja, mereka cenderung menilai ongkos perceraian itu kecil. "Saat seseorang memiliki banyak alternatif, termasuk soal finansial, maka mereka akan menjadi lebih mudah untuk bercerai saat jarak di antara pasangan itu makin menjauh," kata Scott Stanley, Wakil Direktur dari Pusat Studi Pernikahan dan Keluarga, Universitas Denver, AS.
Penyebab lain yang memicu perceraian di usia lanjut adalah sindrom sarang burung kosong alias empty nest syndrome. Saat anak-anak sudah dewasa, tahapan intensif orangtua untuk membesarkan anak sudah terlampaui. Ketika mereka sudah tidak disibukkan oleh urusan anak, maka akan lebih sedikit kegiatan atau minat yang bisa dilakukan pasangan secara bersama. Mereka pun mulai berusaha mencari apa sebenarnya yang mereka inginkan dalam hidup.
"Ini adalah waktu bagi pasangan usia lanjut untuk beristirahat sebagai individu dari hubungan yang mengikat satu sama lain," kata John Gottman yang juga mengelola kelas terapi pernikahan dan penulis buku The Seven Principles for Making Marriage Work, 2015. "Namun saat romantisme, hasrat, dan semangat petualangan bersama terkikis, banyak pasangan usia lanjut melihatnya sebagai waktu yang tepat untuk mengakhiri hubungan secara baik-baik."
Gottman menduga, kerja bersama Bill dan Melinda dalam satu yayasan turut memengaruhi perceraian mereka. Selama ini, mereka telah menjalani kehidupan yang sangat paralel. Keduanya adalah intelektual yang independen, sangat berpengaruh, dan sama-sama sibuk. Belum lagi, mereka mengembangkan minat berbeda di yayasan, yaitu Bill cenderung ke isu perubahan iklim dan kesehatan, sedangkan Melinda pada isu perempuan dan anak.
Mereka berdua kemungkinan tidak memiliki waktu untuk saling memberi yang merupakan landasan agar sebuah pernikahan langgeng. Bagi mereka, menyelesaikan persoalan besar umat manusia, khususnya kemiskinan dan kesehatan, jauh lebih penting dibanding harus memprioritaskan waktu untuk pasangannya.
Sementara terkait isu perselingkuhan yang banyak jadi pemicu perceraian, para terapis menilai tetap berpeluang terjadi pada kasus Bill dan Melinda walau tidak ada petunjuk yang mengarah ke persoalan itu. Kurangnya perhatian terhadap pasangan dan berkurangnya hasrat seksual membuat perselingkuhan rentan terjadi.
"Pada banyak pasangan usia lanjut, kehidupan seksualnya tidak berkembang, bahkan mundur. Padahal, mereka tetap butuh sentuhan, keintiman, atau tatapan romantis dari pasangan yang menimbulkan rasa aman dan nyaman," kata Ian Kerner, penulis So Tell Me About the Last Time You Had Sex, 2021.
Lihat juga: Bill dan Melinda Gates Tetap Bersama meski Sudah Berpisah
Aktualisasi diri
Daphne de Marneffe, terapis pernikahan dan penulis buku
The Rough Patch, 2018, mengatakan pernyataan Bill dan Melinda yang tidak lagi memiliki kepercayaan untuk mampu tumbuh bersama sebagai pasangan menunjukkan rendahnya keyakinan bahwa berkurangnya harapan, harmoni, kesenangan dalam kebersamaan, dan keintiman emosional itu bisa dipulihkan. Mereka sudah mencoba memperbaiki keadaan, meski nyatanya tidak berhasil dan perceraian harus terjadi.
Hal senada diungkap psikolog klinis peneliti hubungan romantis dan dosen Fakultas Psikologi Universitas Bina Nusantara Jakarta Pingkan CB Rumondor. Menurutnya, perceraian di usia lanjut saat pernikahan sudah berlangsung lama terkait erat dengan perubahan budaya masyarakat Barat dalam memandang pernikahan. "Masyarakat Barat saat ini memandang tujuan pernikahan sebagai sarana untuk aktualisasi diri," katanya.
Pandangan masyarakat tentang pernikahan memang terus berubah. Eli J Finkel dkk dalam "The Suffocation Model: Why Marriage in America is Becoming an All-or-Nothing Institution" di Current Directions in Psychological Science, Juni 2015 menyebut sejak 1965 hingga sekarang, pernikahan menjadi sarana ekspresi diri.
Kebutuhan atas hubungan intim, mencintai dan dicintai serta kehidupan seksual yang memuaskan sebagai tujuan pernikahan periode 1850-1965 tetap ada. Namun, hubungan intim saja tidak cukup. Masyarakat melihat pernikahan menjadi sarana mendapatkan kepercayaan, ekspresi dan pengembangan diri.
Perubahan tujuan pernikahan itu sejalan dengan teori hierarki kebutuhan manusia Abraham Maslow (1943). Maslow membagi kebutuhan manusia pada lima tingkatan dari paling dasar untuk memenuhi kebutuhan fisiologi sampai tingkat tertinggi, demi aktualisasi diri. Kebutuhan tertinggi itu hanya muncul jika kebutuhan di tingkat lebih bawah sudah terpenuhi.
Karakter perceraian di AS itu tentu berbeda dengan kondisi di Indonesia. Tahun 2019, sebanyak satu dari lima perkawinan berakhir dengan cerai. Sebagian besar perceraian terjadi pada usia pernikahan kurang dari lima tahun. Persoalan ekonomi dan buruknya komunikasi jadi penyebab yang paling banyak ditemukan.
Langgengnya pernikahan di Indonesia, lanjut Pingkan, sangat ditentukan oleh kuat lemahnya komitmen. Cinta saja tidak cukup menjaga perkawinan karena masa jatuh cinta (limerence) yang membuat seseorang berbunga-bunga hingga terbangunnya kedekatan emosional, fisik dan seksual hanya berlangsung 2-3 tahun saja.
Komitmen dibutuhkan dalam pernikahan karena manusia tidak bisa berharap cinta yang tumbuh di masa lalu akan terus menjaganya. Komitmen menuntut seseorang untuk mau secara sadar berusaha menjaga dan memperkuat komitmennya hingga bunga-bunga cinta yang tumbuh di masa lalu bisa terus muncul.
"Pernyataan Bill dan Melinda terkait perceraiannya menunjukkan pertumbuhan pribadi lebih penting bagi mereka daripada komitmen terhadap hubungan pernikahan yang dijalani," katanya.
Selain itu, tambah Pingkan, alasan seseorang menikah di Indonesia bukan hanya karena ingin tumbuh bersama, tetapi karena diharapkan masyarakat. Akibatnya, seseorang bisa bertahan dalam pernikahan meski mereka tidak bahagia atau tidak tumbuh demi menjaga muka di masyarakat. Kondisi itu tentu berbeda dengan budaya Barat yang lebih fokus pada kebahagiaan pribadi.
Di Indonesia, perceraian di usia lanjut di Indonesia kemungkinan juga akan meningkat dalam beberapa dekade mendatang, khususnya di kota-kota besar. Pemerintah dan masyarakat perlu mewaspadai hal itu mengingat Indonesia menjadi negara populasi menua mulai tahun 2021 dengan memiliki lebih dari 25 juta orang berumur lebih dari 60 tahun.
Sebaik-baik apapun perceraian terjadi, pasti akan menimbulkan luka bagi siapapun. Bagaimanapun, perceraian pasti akan mempengaruhi ketahanan keluarga dan bangsa. Kondisi itu tentu bisa mengurangi kesejahteraan mental dan kebahagiaan yang di alami masyarakat yang pada gilirannya akan memengaruhi produktivitas masyarakat dan bangsa.