Pembelajaran Pancasila Mesti Bebas dari Kepentingan Politik Praktis
Pembelajaran Pancasila semestinya dijaga dari intervensi kepentingan politik praktis dan disampaikan sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu atau kaidah akademik.
Pancasila secara konsisten harus selalu ada dalam segala peraturan perundang-undangan, termasuk sistem pendidikan nasional. Dengan demikian, pendidikan sebagai misi mencerdaskan bangsa sesuai amanat konstitusi dapat berjalan dengan baik.
Oleh karena itu, Pancasila wajib disajikan sebagai pelajaran atau mata kuliah definitif dalam setiap jenjang pendidikan. Pembelajaran Pancasila mestinya dijaga dari intervensi kepentingan politik praktis dan disampaikan sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu atau kaidah akademik.
Pada akhirnya, politik pendidikan yang diperjuangkan harus menyeimbangkan pendidikan karakter, intelektual, dan jasmani serta peran serta trisentra atau tripusat pendidikan (keluarga, sekolah, dan masyarakat) agar kredo Merdeka Belajar-Kampus Merdeka tak terhenti sebagai jargon, tetapi dapat diwujudkan. Pancasila juga sebagai dasar pengembangan ilmu, sekaligus sebagai ilmu yang harus dikembangkan.
Demikian kesimpulan dan rekomendasi yang mengemuka dari Kongres V Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PP&K) yang digagas Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta pada 7-8 Mei 2021. Kongres dua tahun sekali ini membahas ”Pancasila dalam Sistem Pendidikan Nasional: Grand Design, Ancaman-Tantangan-Hambatan-Gangguan, dan Konsepsi Implementasi”.
Inisiator PP&K, Prof dr Sutaryo, mengatakan, sebuah bangsa yang besar mengadakan pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan sendiri. Dasarnya dari kebudayaan sendiri dan Indonesia sudah memilikinya, yang didasarkan pada Pancasila.
Kita ingin memastikan supaya Pancasila menjiwai sistem pendidikan nasional. (Prof Sutaryo)
”Di mana pun di dunia, Kemendikbud berperan penting untuk membesarkan bangsa lewat sistem pendidikan dan kebudayaan. Kita punya kebudayaan sendiri selama 10 abad, terbukti pernah menjadi pusat peradaban dunia, seperti terlihat dari adanya Borobudur dan kerajaan Majapahit dan Sriwijaya. Kita ingin memastikan supaya Pancasila menjiwai sistem pendidikan nasional,” kata Sutaryo.
Rektor Universitas Gadjah Mada Panut Mulyono menyampaikan, Kongres V PP&K yang menyoroti Pancasila dalam sistem pendidikan nasional bertujuan mengawal agar pendidikan dan pengajaran tidak kehilangan arah supaya selalu berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan kebudayaan.
”Perubahan masyarakat memang keniscayaan. Namun, pendidikan mempunyai peran penting untuk menjamin cita-cita bernegara dan eksistensi bernegara. Sistem pendidikan dikonstruksi untuk mengembangkan manusia berkarakter dan bermoral Pancasila serta ilmu pengetahuan,” kata Panut.
Baca juga : Wacana Pendidikan Pancasila Jadi Pelajaran Khusus Kembali Mengemuka
Roh Pancasila
Diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan yang tidak mewajibkan pelajaran Pancasila dan Bahasa Indonesia menjadi pemantik kesadaran kembali untuk memperjuangkan roh Pancasila dalam sistem pendidikan nasional.
Dari masa Orde Lama, Orde Baru, hingga pasca-Reformasi, Pancasila tak lepas dari kepentingan politik praktis yang menimbulkan inkonsistensi dalam pengelolaan sistem pendidikan nasional. ”Kalau bicara Pancasila, berdebat filosofis tidak pernah selesai. Pancasila bukan makin membumi, tetapi digerogoti. Saatnya saya menyampaikan pokok-pokok pikiran untuk mengubah strategi pendekatan sehingga berani mengusulkan kepada pemerintah bagaimana Pancasila dalam sistem pendidikan nasional,” kata Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X.
Menurut Sultan, untuk menuntaskan masalah krusial secara elegan, perdebatan tentang Pancasila hendaknya lebih ditekankan pada tataran praktis (how to) dan langkah untuk menjalankannya bagi kemaslahatan bangsa daripada perdebatan di tataran filosofis (what is).
Anhar Gonggong dari Lemhannas mengatakan, kalau mau jujur, selama Indonesia merdeka, Pancasila menjadi permainan di antara pemain politik, lebih banyak dibicarakan daripada diperbuat atau dilaksanakan. Bahkan, di masa Reformasi, ada yang malu berbicara Pancasila.
”Kalau mau mencerdaskan kehidupan bangsa, sebenarnya pendidikan adalah bagian dari itu. Yang mau dicerdaskan adalah bangsa, salah satu aspeknya adalah pendidikan. Namun, sayangnya, di lingkungan pendidikan sering terjadi berbagai hal yang menyebabkan Pancasila hanya menjadi perdebatan dan tidak pernah selesai,” jelas Anhar.
Menurut Anhar, jika hendak menjadikan Pancasila sebagai landasan sistem pendidikan nasional, harus menanamkan pemahaman diri sebagai warga negara yang hidup dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia serta menjelaskan Pancasila secara keilmuan dan ilmiah.
Anhar menegaskan, pendidikan itu untuk memerdekakan manusia Indonesia yang tidak hanya cerdas otak, tetapi juga hati nurani yang cair. Harus disadari betul bahwa pendidik, guru dan dosen, tidak sekadar berada di kelas lalu keluar.
”Guru merupakan bagian dalam proses berdialog dan mendialogkan masa depan bersama dengan murid-muridnya. Apa yang didialogkan itu untuk mencerdaskan dan menjadikan orang terdidik, tercerahkan otak dan hati nuraninya. Di situ letak Pancasila buat sistem pendidikan nasional,” papar Anhar.
Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia Unifah Rosyidi mengatakan, perjalanan pendidikan Pancasila mengalami pasang surut sesuai rezim. Sampai kini sudah terjadi tujuh kali perubahan nama mata pelajaran Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan (PPKN), antara lain mulai dari Civics tahun 1968, Pendidikan Moral Pancasila tahun 1975, PPKN, hingga PKN. Akan tetapi, perubahan yang dilakukan belum terbukti bisa mengubah efektivitas pendidikan Pancasila.
”Kita harus mulai serius memurnikan Pancasila dalam sistem pendidikan nasional, bisa melalui literasi atas sumber-sumber primer dan kredibel. Guru terdepan untuk menanamkan dan mendialogkan nilai-nilai Pancasila untuk masa depan,” kata Unifah.
Baca juga : Perkuat Nilai Pancasila dalam Kurikulum
Pengaruhi generasi muda
Guru Besar UGM Sofian Effendi mengatakan, pelaksanaan penyelenggaraan sistem pendidikan nasional harus konsisten dan kongruen (tata asas) dengan Pancasila dan UUD 1945. ”Sejak tahun 2006, kami menyampaikan agar Pancasila diperhatikan. Saya terenyuh, pasca-reformasi, Pancasila jarang dibicarakan. Saya sebagai ketua Forum Rektor Indonesia menggelar konvensi kampus untuk mendeklarasikan bahwa kita perlu bertindak untuk menyadarkan masyarakat apa yang akan terjadi kalau bangsa ini tidak menghargai ideologi negara,” kata Sofian.
Inkonsistensi pengelolaan sistem pendidikan nasional yang tidak mewajibkan Pancasila di segala jenjang pendidikan mulai berdampak pada generasi muda. Hasil-hasil riset yang dilakukan banyak lembaga mengenai persepsi ideologi yang berkembang di masyarakat Indonesia, terutama generasi muda, mengancam eksistensi negara. Terjadi fenomena radikalisme-terorisme.
Hasil riset yang mengkhawatirkan tentang keyakinan anak muda pada Pancasila salah satunya adalah Survei Komunitas Muda Pancasila pada usia 18-25 tahun (Mei 2020). Survei dilakukan pada anak muda yang aktif menggunakan Instagram dan Facebook di 34 provinsi. Sebanyak 61 persen yakin dan setuju bahwa Pancasila sangat penting. Namun, 19,5 persen menganggap netral dan 19,5 persen lainnya merasa Pancasila tidak lagi dianggap penting dan relevan bagi kehidupan mereka.
Pemahaman radikalisme berkembang. Balitbang Kementerian Agama (2018) menemukan 7 persen mahasiswa tidak setuju Pancasila, 42 persen mendukung mendirikan khilafah, dan 23 persen menganggap sistem demokrasi bertentangan dengan Islam. Adapun riset LIPI (2017) menunjukkan peningkatan pemahaman konservatif dan fundamentalisme di perguruan tinggi yang dipengaruhi, antara lain, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Kondisi ini dinilai terjadi akibat inkonsistensi pengelolaan sistem pendidikan nasional, yakni saat Pancasila diletakkan sebagai dasar sistem pendidikan nasional, tetapi justru tidak secara tegas ditetapkan sebagai mata pelajaran wajib di semua jenjang pendidikan. Akibatnya, fungsi pendidikan yang mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat tidak berjalan optimal.
Baca juga : Ajarkan Kembali Pancasila di Sekolah untuk Tangkal Radikalisme
Anggota Komisi X DPR, My Esti Wijayati, mengakui bahwa Pancasila di masa reformasi tidak menjadi ingatan publik dan diskursus publik. Terlihat juga pada Pasal 37 UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, mata pelajaran Pancasila tidak masuk dalam kurikulum wajib.
”Dampaknya, dari berbagai survei terlihat keyakinan pada Pancasila sebagai ideologi negara menurun dan tidak relevan lagi. Bahkan, ada aspirasi untuk meyakini ideologi lain,” ujarnya.
Pemerintah dan DPR telah sepakat untuk memperbaiki kesalahan ini. Dalam Peta Jalan Pendidikan yang akan selesai tahun ini diakui Pancasila sebagai bagian dari budaya. Pancasila dimasukkan lagi sebagai mata pelajaran wajib dari pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga pendidikan tinggi. ”Perubahan UU Sisdiknas tahun 2003 masuk prolegnas. Ini tidak hanya membenahi kurikulum, tetapi juga aturan yang tumpang tindih,” tegas Esti.