Situasi HAM di negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, bisa kita hayati secara berbeda melalui karya karikatur yang dipamerkan secara daring. Karya-karya kritis ini sangat menarik untuk dinikmati.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
Kartun menjadi alat komunikasi bagi para seniman untuk menyampaikan keresahannya. Kali ini, mereka menyuarakan kegelisahan soal hak asasi manusia di Asia Tenggara. Karya mereka dipamerkan secara daring di laman craftora.com.
Ada 74 karya yang ditayangkan di ”The ASEAN Human Rights Cartoon Exhibition”. Semuanya dibuat oleh 37 kartunis dari lima negara, yakni Malaysia, Indonesia, Thailand, Filipina, dan Myanmar. Kartun dibuat dengan tema ”Hak Asasi Manusia di Negaraku”. Ini adalah pameran pertama yang menggabungkan kartunis di Asia Tenggara, terlebih secara daring.
Setiap karya merupakan potret kondisi di kelima negara. Erdy, kartunis dari Thailand, misalnya, menggambar tiga jari tangan yang terangkat ke udara. Di pergelangan tangan itu ada borgol dengan tulisan 112. Gambar dibuat sederhana dengan latar biru dan hitam.
Jika bola mengenai target, manusia mini bakal masuk ke keranjang serupa penjara. Keranjang itu dijaga orang-orang yang menenteng senjata.
Kendati sederhana, gambar Erdy bersuara nyaring. Kartunnya menggambarkan gejolak politik di Thailand. Tiga jari yang terangkat merupakan simbol prodemokrasi, mengikuti film Hunger Games.
Adapun 112 merujuk pada Pasal 112 dalam KUHP di Thailand atau dikenal juga dengan hukum lese majeste. Pasal ini menyebut bahwa setiap orang yang mengkritik raja akan dikriminalisasi.
Sejak 2020, ribuan orang turun ke jalan mengkritik Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha dan pemerintahannya. Sang mantan jenderal itu pun didesak turun dari jabatannya. Gelombang protes ini masih berlangsung hingga sekarang dan dimotori oleh generasi muda di Thailand.
”Section 112 of Thai Criminal Code is an unfair law. It’s just a political weapon,” tulis Erdy pada keterangan karyanya saat diakses secara daring, Jumat (7/5/2021). Jika diterjemahkan, ia menulis, ”Pasal 112 KUHP Thailand tidak adil. Itu hanya senjata politik.”
Negara lain
Kartunis dari Filipina, Paul Eric Roca, membuat dua gambar mengenai Presiden Rodrigo Duterte. Gambar pertama mengilustrasikan Duterte berjalan dengan wajah serupa pistol. Ia meninggalkan jejak darah di jalan yang dilalui. Ada tulisan ”EXTRA-JUDICIAL KILLINGS” di bagian samping.
Ini mengacu pada pernyataan Duterte untuk memerangi narkoba beberapa tahun silam. Cara perangnya dinilai melanggar hukum karena dugaan praktik pembunuhan ekstrayudisial. Kritik datang dari dalam dan luar negeri, tetapi Duterte enggan diintervensi.
Assistance Association of Political Prisoners (AAPP) mencatat, sekitar 30.000 orang terbunuh sejak Duterte menjabat presiden di 2016. ”Itu angka yang besar. Filipina diinvestigasi terhadap dugaan pelanggaran HAM,” kata Direktur Deputi Human Right Watch di Asia Phil Robertson pada pembukaan pameran secara daring, Rabu (3/5/2021).
Gambar kedua Paul menggambarkan kerja jurnalistik yang dibungkam Pemerintah Filipina. Duterte diilustrasikan sedang mencekik pena.
Adapun kartunis Indonesia, Toni Malakian, membuat gambar serupa meja biliar. Pemainnya seorang pria dengan tulisan ”GOVERNMENT” dan bendera Indonesia. Pemain biliar mengarahkan bola ke manusia mini di atas meja. Manusia mini itu membawa pengeras suara dan bendera bertuliskan ”FREEDOM OF SPEECH”.
Jika bola mengenai target, manusia mini bakal masuk ke keranjang serupa penjara. Keranjang itu dijaga orang-orang yang menenteng senjata. Toni juga menggambar tubuh-tubuh berdarah yang bertumpuk di sekitar papan bergambar peta Papua.
Pameran kartunis ASEAN ini juga menyediakan galeri virtual khusus untuk mendukung Myanmar. Ini terkait kudeta militer yang terjadi di sana.
”Kartun-kartun ini sangat kreatif dan unik. Kartun menampilkan perspektif kartunis tentang isu HAM. Ini kreatif, kritis, dan hard-hitting,” ucap kartunis Malaysia, Zunar, yang juga mengoordinasi pameran ini.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid mengatakan, isu HAM kini lebih sulit dan kompleks dibanding dulu. Sebab, pelaku pelanggaran HAM dinilai bukan hanya negara, tetapi juga aktor non-negara, misalnya komunitas.
Pemimpin oposisi Malaysia, Anwar Ibrahim, mengatakan, ekspresi para kartunis perlu dihargai. Kartunis dinilai punya kemampuan unik mengemas isu HAM yang membuat penikmatnya tersenyum, tertawa, atau mendengus. ”Namun, pada akhirnya, pesannya menarik,” ucapnya.