Angka partisipasi kasar atau APK pendidikan tinggi di Indonesia rendah, yakni 34,58 persen, lebih rendah dibanding Singapura (78 persen) dan Korea Selatan (98 persen). Berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan APK.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Angka partisipasi kasar perguruan tinggi di Indonesia masih tergolong rendah, yakni 34,58 persen pada 2019. Pembiayaan pendidikan tinggi pun dipermudah untuk mendongkrak angka tersebut.
Hal ini dilakukan melalui kerja sama antarpihak swasta, yakni Sampoerna University dengan Danacita, pelantar digital untuk pembiayaan pendidikan. Kerja sama itu menghasilkan alternatif pembayaran biaya kuliah. Biaya kuliah yang semula harus dibayarkan sekaligus per semester kini dapat dibayar bertahap atau dicicil per bulan.
”Ini berlaku untuk semua mahasiswa yang terdaftar (di Sampoerna University) maupun siswa yang akan mendaftar di sana. Pembayaran bisa dilakukan setiap bulan selama 12-24 bulan,” kata Direktur Danacita Alfonsus Wibowo dalam pertemuan daring, Kamis (6/5/2021).
Mahasiswa atau calon mahasiswa bisa mengajukan biaya kuliah hingga lulus. Adapun dokumen yang harus dilengkapi berupa kartu identitas pelajar dan wali, foto diri, bukti tagihan dari kampus, dan bukti penghasilan wali. Dokumen akan diverifikasi, kemudian permohonan biaya kuliah diproses secara daring.
Sebelumnya, Staf Khusus Wakil Presiden Bidang Reformasi Birokrasi dan Pendidikan Mohamad Nasir mengatakan, angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi di Indonesia rendah, yakni 34,58 persen. Angka itu lebih rendah dibandingkan sejumlah negara tetangga, misalnya Singapura (78 persen) dan Korea Selatan (98 persen).
Salah satu faktor penyebabnya adalah angka putus sekolah jenjang menengah masih besar, anak langsung bekerja setelah menempuh pendidikan menengah, dan anak putus kuliah (Kompas, 4/9/2020).
”Misi besar kami adalah membuat pendidikan terjangkau. Harapannya setiap generasi muda bisa meraih pendidikan terbaik di Indonesia,” sambung Alfonsus.
Menurut Head of Recruitment Sampoerna University Lorensia Soegiarto, bonus demografi yang dimiliki Indonesia saat ini menguntungkan. Namun, hal itu tidak berarti banyak apabila angka APK perguruan tinggi masih rendah karena bisa memengaruhi kualitas sumber daya manusia.
Jumlah penduduk Indonesia menurut Sensus Penduduk 2020 adalah 270,2 juta jiwa. Sebanyak 70,72 persen di antaranya merupakan penduduk berusia produktif. Angka ini setara 191 juta jiwa. Penduduk berusia produktif didominasi generasi milenial (24-39 tahun) dan sebagian generasi Z.
”Angka ini keunggulan Indonesia untuk tahun-tahun ke depan. Namun, kita harus lihat angka-angka lain juga. APK perguruan tinggi masih lebih sedikit dibandingkan persentase penduduk usia produktif kita,” kata Lorensia.
Selain APK perguruan tinggi, ia juga menyoroti hasil survei Angkatan Kerja Nasional oleh Badan Pusat Statistik, Februari 2020. Survei itu menunjukkan angkatan kerja di Indonesia sebanyak 137,91 juta orang, tetapi hanya 10,3 persen yang punya latar belakang pendidikan tinggi.
”Tidak bisa dimungkiri, tingkat pendidikan akhir jadi salah satu kualifikasi utama ketika masuk dunia kerja. Itu sebabnya kami memperkuat komitmen untuk mendorong lahirnya generasi muda berkualitas, antara lain dengan membekali mahasiswa dengan keterampilan abad ke-21,” tambahnya.