Menemukan Tafsir Inklusif
Di dalam tradisi keislaman Indonesia, mencari ilmu saat bulan Ramadhan adalah hal biasa, terutama bagi santri di pondok pesantren.
Di dalam tradisi keislaman Indonesia, mencari ilmu saat bulan Ramadhan adalah hal biasa, terutama bagi santri di pondok pesantren.
Para santri, misalnya, memiliki kebiasaan mengikuti ngaji pasanan atau disebut juga ngaji pasaran yang diasuh oleh kiai dan bu nyai di pesantren masing-masing.
Tidak hanya di pesantren, tradisi mencari ilmu saat Ramadhan juga dilakukan di sekolah-sekolah umum melalui pesantren kilat bagi siswanya selama beberapa hari.
Tradisi itu tidak berhenti meski pandemi Covid-19 menyebabkan interaksi langsung menjadi terbatas. Pandemi Covid-19 membuka peluang baru, pengembaraan mencari pengetahuan secara daring. Penceramah dan peserta pun menjadi lebih banyak dan beragam.
Pandemi juga membuka horizon kehidupan yang lebih inklusif, termasuk dalam materi dan tema-tema pengajian yang diselenggarakan secara daring.
Isu beragam
Keberlanjutan manusia hanya niscaya jika tidak ada yang tertinggal, ketimpangan terhadap kelompok termarjinalkan dan masyarakat miskin dapat hilang. Karena itu, isu yang dibicarakan menyangkut kebajikan sosial, ekonomi, jender, serta lingkungan dan iklim.
Di antaranya yang menggunakan pendekatan inklusif itu ialah Kelas Intensif Ramadhan 1442 H yang diadakan oleh Mubadalah, Rahima, Fahmina, dan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Pengajian diadakan setiap hari dalam 20 hari oleh 20 perempuan ulama.
Selain itu, ada Majelis Taklim Hilful Fudhul yang disokong secara kolaboratif oleh Public Virtue Research Institute, Universitas Paramadina, Kitabisa.com, Institute Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan, serta Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. Kelompok ini rutin mengadakan kajian daring setelah shalat Tarawih virtual. Dalam kajiannya, majelis itu, antara lain, mengundang Dr Nur Rofiah, Bil Uzm, dosen Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran, sebagai pemateri tentang ”keadilan jender Islam”.
Majelis yang sama menampilkan kajian dari perempuan ulama dari Fatayat dan Aisiyah melalui platform media sosial.
Ceramah dan kajian keislaman itu disampaikan akademisi dari sejumlah perguruan tinggi dan bidang keilmuan. Basis keilmuan menjadi penting, terutama untuk menjawab pertanyaan keseharian yang diajukan peserta yang memiliki beragam latar belakang.
Kesalingan
Dalam ceramah Hilful Fudhul, Minggu (2/5/2021) dan Senin (3/5/2021) malam, Dr Neng Hannah, MAg, dosen UIN Sunan Gunung Djati dan Wakil Ketua PW Fatayat Nahdlatul Ulama Jawa Barat, menjelaskan posisi perempuan bekerja di dalam Islam. Adapun Nur Rofiah membahas keadilan hakiki bagi perempuan sebagai manusia di dalam Islam.
Keduanya berargumen, perempuan dan laki-laki sama nilainya di mata Tuhan dan karena itu memiliki hak dan kewajiban sama untuk kebaikan bersama. Nur Rofiah menekankan, perempuan dan laki-laki hanya berbeda dari sisi fungsi reproduksi yang diakui dalam Al Quran dan dilindungi.
Lima fungsi reproduksi perempuan yang menimbulkan sakit serta pengalaman khas perempuan itu adalah menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui. Karena itu, pengalaman khas perempuan itu tidak boleh menjadi sumber kekerasan, seperti perkawinan anak, pemaksaan hubungan seksual, cuti haid, serta pengabaian terhadap ibu hamil, melahirkan, dan menyusui.
Perempuan bekerja di luar rumah, menurut Neng Hannah, diakui di dalam Islam dan banyak contohnya sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Penjelasan Neng Hannah menjawab pandangan sejumlah ulama bahwa perempuan tidak boleh bekerja di luar rumah.
Penelitian Rumah Kita Bersama sesaat sebelum dan awal pandemi Covid-19 menemukan, penceramah di komunitas pekerja dan perempuan pelaku UMKM di Jabodetabek, Bandung, dan Yogyakarta mendorong perempuan beraktivitas hanya dari rumah. Alasannya, bekerja di luar rumah menjadi fitnah bagi perempuan.
Hubungan di dalam keluarga dasarnya adalah kesalingan. Saling menghargai dan menghormati setiap anggota keluarga sebagai manusia utuh.
Adapun Kelas Intensif Ramadhan membahas khusus kitab Manba’ussa’adah karya Dr Faqihuddin Abdul Kodir. Menurut Faqihuddin, pendiri Mubadala.id, isi kitab tentang membangun keluarga bahagia berbasis Islam yang lebih setara. Dalil yang dipakai berasal dari kajian reinterpretasi Kitab Kuning yang dimotori Dr (Hon) Hj Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, MHum.
”Hubungan di dalam keluarga dasarnya adalah kesalingan. Saling menghargai dan menghormati setiap anggota keluarga sebagai manusia utuh,” kata Faqihuddin.
Pada Senin (3/5/2021), ceramah Kelas Intensif Ramadhan itu diikuti 167 orang, sementara yang mendaftar lebih dari 700 orang.
Kelas Intensif Ramadhan 1442 H membahas pemenuhan kebutuhan fisik, seperti makanan sehat dan baik, istirahat cukup, hingga kebutuhan seksual individu yang jarang dibicarakan terbuka.
Ke-20 perempuan penceramah adalah rektor dan pengajar sejumlah institut agama Islam negeri, pimpinan wilayah Fatayat, dan pimpinan pondok pesantren. Mereka berasal dari Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga Nusa Tenggara Barat.
Inklusif
Hilful Fudhul, yang artinya pakta kebajikan, meluaskan cakupan isu yang dibahas. Usman Hamid, penggagas perkumpulan itu bersama almarhum AE Priyono, mengatakan, Hilful Fudhul mengkaji isu-isu keadilan sosial, jender, dan iklim. Kajian berbasis data dan riset untuk memberi dukungan pada dalil fikih agar relevan dengan kebutuhan umat.
Ceramah yang dilakukan dari 19 April hingga 11 Mei pukul 20.00 ini, selain menghadirkan perempuan ulama akademisi dari Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, juga penyandang disabilitas. Tema yang dibahas beragam, mulai dari isu perempuan bekerja, hak waris, transjender, hingga teologi lingkungan.
”Dimensi kebajikan melampaui perbedaan identitas manusia, maka Muhammad ketika menerima wahyu sebagai nabi lalu meneruskan,” kata Usman.
Muhammad menjadi anggota termuda pakta itu. Pakta sudah ada sebelum Muhammad menerima wahyu.
Badriyah Fayumi, saat membuka Kelas Intensif Ramadhan, 16 April 2021, mengatakan, tradisi pengembaraan mencari ilmu sudah lama ada di kalangan ulama. Imam Bukhari dari Uzbekistan, misalnya, mengembara hingga ke Mesir dan Aljazair, berguru kepada para ulama di sepanjang perjalanan.
Dalam tradisi Islam Nusantara, saat Ramadhan dikenal istilah ngaji pasaran karena para santri dapat memilih apa yang ingin dikhatamkan selama Ramadhan.
”Pandemi Covid-19 menghasilkan inovasi, teknologi internet memungkinkan mengumpulkan para nyai, perempuan ulama, melalui Mubadala tanpa terbatas ruang. Pengembaraan ilmu menjadi lebih luas dan inklusif,” kata Badriyah.