Upaya meningkatkan kemampuan guru dalam mengajar matematika dan membaca perlu ditingkatkan. Guru diharapkan mampu mengajar secara kontekstual, sederhana, dan berbasis nalar.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kemampuan guru untuk mengajar matematika dan membaca perlu ditingkatkan. Upaya ini melibatkan gerakan sukarelawan yang cakupannya tersebar di berbagai wilayah di Indonesia.
Menurut Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kompetensi matematika siswa SD pada 2016 tergolong gawat. Sebanyak 77,13 persen siswa SD memiliki kompetensi matematika dengan kategori kurang, sebanyak 20,58 persen cukup, dan 2,29 persen baik.
Hal ini menunjukkan kemampuan nalar peserta didik yang rendah. Padahal, matematika membantu siswa berpikir matematis dan memahami hal abstrak. Selain itu, matematika memberi bekal bagi siswa untuk menguasai perhitungan aritmatika dasar (Kompas, 12/11/2018).
Untuk itu, kemampuan guru mengajar matematika yang komprehensif dibutuhkan. Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Matematika (Gernas Tastaka) berupaya mengisi celah itu.
Gerakan yang dimulai pada 10 November 2019 itu melatih guru-guru selama beberapa pekan tentang pembelajaran matematika yang kontekstual dan berbasis nalar. Selain guru, gerakan itu menyasar orangtua dan mahasiswa.
”Setelah pelatihan, mereka biasanya membuat grup lagi (dengan pendidik lain) untuk berbagi pengalaman, seperti di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Setiap daerah berbeda-beda (mendiseminasi materi pelatihan),” kata perwakilan Gernas Tastaka, Dhitta Puti, Rabu (5/5/2021), pada pertemuan daring dengan Kompas.
Gernas Tastaka telah menjangkau 13 provinsi dan 27 kabupaten/kota per Maret 2021. Gerakan ini menghasilkan 35 master trainer, 300 pelatih regional, menjangkau 1.100 peserta pelatihan, dan berdampak ke 30.000 murid.
Setelah pelatihan, mereka biasanya membuat grup lagi (dengan pendidik lain) untuk berbagi pengalaman, seperti di Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Gerakan ini akan diperluas menjadi Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Membaca (Gernas Tastaba). Targetnya, gerakan itu bisa meningkatkan kualitas proses membaca di tingkat SD dan sederajat. Hal ini dimulai dengan melatih para pendidik.
”Kami memulai dengan menjadikan guru sebagai pembaca aktif. Baru setelahnya guru diajarkan cara mengajar membaca,” kata Dhitta. Adapun Gernas Tastaba masih dalam pembahasan.
Upaya meningkatkan kemampuan membaca guru dan siswa dinilai penting karena skor Indonesia dalam kecakapan membaca—menurut Program Penilaian Siswa Internasional (PISA)—sebesar 371. Angka itu masih di bawah rata-rata jika dibandingkan dengan negara-negara lain.
Upaya meningkatkan kualitas guru juga dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (kini Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi) melalui program Guru Penggerak. Guru yang mengikuti program itu diharapkan bisa memberi pembelajaran yang berorientasi pada murid (Kompas.id, 16/10/2021).
Pemahaman pedagogik
Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim mengatakan, pemahaman pedagogik pada guru sangat penting. Pemahaman ini memperhatikan tiga aspek, yaitu guru, peserta didik, dan ilmu pengetahuan.
”Seharusnya guru diajari terlebih dahulu cara berpikir atau bernalar kritis. Jika hanya mengajarkan materi, pembelajaran akan menjadi tidak bermakna. Dialog antara guru dan murid diperlukan dalam pedagogi agar tidak terjadi (ketimpangan) relasi kuasa di kelas,” ucap Satriwan.
Dalam konteks pembelajaran jarak jauh, Satriwan menyoroti prinsip pedagogi yang memudar. Hubungan guru dengan murid di ruang digital belum terbangun. Akibatnya, siswa tidak semangat mengikuti pelajaran hingga kesulitan memahami materi.
”Guru mesti menyadari bahwa pedagogi digital itu dasarnya adalah mengajar melalui perangkat digital, mengajar melalui layar, bukan sekadar mengajar di depan layar,” tambahnya.