Dalam Empat Bulan, Hampir 200 Korban Prostitusi Daring
Kejahatan berbasis daring yang mengincar anak-anak sebagai korban terus terjadi pada masa pandemi Covid-19. Media sosial menjadi pintu masuk kejahatan. Pengawasan terhadap anak sangat penting untuk melindungi mereka.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 yang berdampak pada pembatasan sosial berskala besar ternyata tidak menghentikan kejahatan terhadap anak-anak. Dalam empat bulan terakhir, Januari-April 2021, Komisi Perlindungan Anak Indonesia menemukan 35 kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang dan eksploitasi dengan korban 234 anak.
Dari jumlah kasus tersebut, sebanyak 83 persen (sekitar 200 anak) merupakan kasus prostitusi, 11 persen eksploitasi ekonomi, dan 6 persen perdagangan anak. Selain itu, kasus pekerja anak di pabrik dan penjualan bayi terlaporkan ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Karena itu, KPAI meminta perhatian dan komitmen orangtua dan semua pihak, mulai dari pemerintah dari pusat hingga daerah, sekolah, masyarakat, hingga swasta untuk melindungi anak-anak dari berbagai ancaman.
”Ini memprihatinkan karena (korbannya) tidak hanya usia sekolah menengah atas, tetapi juga semakin muda. Dalam hal ini, anak sekolah dasar pun menjadi sasaran korban eksploitasi seksual terhadap anak. Ini tentu menjadi perhatian serius bagi kita,” ujar Ketua KPAI Susanto dalam keterangan pers, Rabu (5/5/2021), secara daring.
Kami berharap tahun 2021 ada penurunan kasus, tetapi ternyata jauh api dari panggang.
Hadir juga memberikan keterangan pers, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus serta Asisten Deputi Pelayanan Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Ciput Eka Purwianti.
Dalam pernyataannya, Susanto bersama Wakil Ketua KPAI Rita Pranawati dan komisioner Subkomisi Perlindungan Khusus Anak KPAI Ai Maryati Solihah juga meminta komitmen khusus dari pihak swasta, dalam hal ini pengelola hotel/apartemen dan jasa penginapan untuk berperan dalam perlindungan anak.
”Kita juga meminta masyarakat dan orangtua memastikan anak-anak terpantau dengan baik dan terjamin keselamatan dari potensi kerentanan kasus-kasus eksploitasi, apakah eksploitasi seksual ataupun ekonomi. Apalagi, kalau kita melihat hari ini, kelekatan anak-anak kita dengan dunia digital juga sangat tinggi,” kata Susanto.
Hasil survei KPAI tahun 2020, saat memasuki pandemi Covid-19, menemukan sebanyak 42 persen anak-anak intensif menggunakan media sosial. Kondisi tersebut sejalan dengan pantauan KPAI terungkap sebanyak 60 persen kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan eksploitasi seksual komersial anak menggunakan media sosial.
Ai Maryati menjelaskan, sejak masa pandemi 2020 lalu, dari hasil pantauan KPAI atas situasi anak-anak menjadi korban TPPO dan eksploitasi melalui praktik prostitusi menunjukkan kerentanan anak-anak menjadi korban. Tercatat 149 kasus dengan rincian korban perdagangan (28 kasus), prostitusi (29), eksploitasi seksual komersial (23), anak korban pekerja anak (54), adopsi ilegal (11), dan anak menjadi mucikari (terlibat dalam pelaku jaringan TPPO) sebanyak 4 kasus.
”Ini realitas yang sangat memprihatinkan kita karena ternyata sejak 2020 sebagaimana laporan KPAI sudah ada 149 kasus. Kami berharap tahun 2021 ada penurunan kasus, tetapi ternyata jauh api dari panggang,” ujar Ai.
Beberapa kasus prostitusi daring yang menjadi perhatian publik pada 2021, antara lain, adalah kasus di Mojokerto ada anak-anak di bawah umur dijual melalui modus membuka sewa rumah indekos harian, yang penghubungnya adalah juga anak. Di Pontianak ada 41 anak terlibat prostitusi. Bahkan, belum lama ini Polda Metro Jaya mengungkap praktik prostitusi di Hotel Alona, dengan modus yang menawarkan anak di bawah umur lewat media sosial.
Adapun profil anak-anak yang menjadi korban prostitusi disebutkan mulai 12 tahun hingga 17 tahun (98 persen) dan sisanya di bawah umur itu artinya di bawah 18 tahun. ”Lokasi kejadian tertinggi hotel sebanyak 41 persen, dan apartemen 23 persen. Indekos dan wisma 18 persen,” kata Ai.
Yusri Yunus mengungkapkan bahwa setiap kali ada pengungkapan kasus terkait eksploitasi anak, kepolisian selama ini berkoordinasi dengan Kementerian PPPA, KPAI, dan pemangku kebijakan. ”Intinya, ini menjadi satu hal yang miris dengan situasi, apalagi pada masa pandemi ini. Dalam Februari-Maret 2021 ada 115 korban anak yang ditangani oleh Polda Metro Jaya saja ya, belum lagi nanti ada polres-polres,” ujarnya.
Yunus mencontohkan pengungkapan kasus eksploitasi anak pada tahun 2020 dengan korban 305 anak dan pelaku warga negara Perancis. Adapun modus operandi yang digunakan pelaku melalui media sosial dan paling banyak melalui MiChat, juga lewat Facebook, Instagram, Twitter, dan Whatsapp. ”Ada juga pelaku menjadikan korban sebagai pacar, kemudian dijual,” kata Yunus.
Ciput menyatakan prihatin atas hasil pantauan KPAI. Laporan tersebut sejalan dengan laporan melalui Sistem Informasi Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) yang mencapai 1.164 kasus sepanjang 2021. Ia memberi perhatian khusus terhadap adanya dugaan anak-anak terlibat dan menjadi pelaku dalam kasus-kasus eksploitasi seksual. ”Ini pekerjaan rumah kita bersama,” kata Ciput.