Kebebasan Pers Sejumlah Negara Asia Tenggara Memburuk
Kondisi pandemi Covid-19 digunakan pemerintah sejumlah negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia untuk merenggut kebebasan pers dan membuat kondisi kian memburuk.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kondisi pandemi Covid-19 tidak memperbaiki kualitas suatu negara dalam menyampaikan informasi melalui persnya. Sebaliknya, pandemi justru digunakan pemerintah sejumlah negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia untuk merenggut kebebasan pers dan membuat kondisi kian memburuk.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Sasmito Madrim dalam diskusi daring, Selasa (4/5/2021) menyampaikan, kebebasan pers di Indonesia masih dikategorikan buruk. Hal ini karena pemerintah dan aparat keamanan masih memanfaatkan kondisi pandemi Covid-19 untuk melakukan tindakan represif terhadap jurnalis seperti menekan, mengintimidasi, hingga kriminalisasi.
Indeks Kebebasan Pers (IKP) Dunia 2020 yang disusun Reporters without Borders (RSF) menunjukkan, skor kebebasan pers di Indonesia dengan nilai 36,82 berada di peringkat 119 dari total 180 negara. Peringkat Indonesia masih tertinggal jauh dari Timor Leste yang berada di peringkat 78 dan Malaysia di peringkat 101.
Pertanyaan kepada pejabat saat konferensi pers juga dibatasi. Pertanyaan yang sulit dan tidak mau dijawab akan diabaikan. (Jonathan de Santos)
Sementara hasil survei IKP Dunia pada 2021, Indonesia mengalami peningkatan menjadi peringkat 113 dari 180 negara dengan skor 37,40. Namun, Indonesia termasuk negara yang masih memblokir jurnalisme karena adanya undang-undang dan peraturan yang dapat mengkriminalisasi wartawan atau media saat mengkritik pemerintah.
AJI Indonesia mencatat, terdapat peningkatan kasus kekerasan yang dialami jurnalis sepanjang 2020. Pada 2019, kasus kekerasan jurnalis tercatat sebanyak 53 kasus dan meningkat menjadi 84 kasus pada 2020. Kejadian terbanyak berada di Jakarta dengan jumlah 17 kasus ,disusul Malang 15 kasus, dan Surabaya 7 kasus.
“Aturan yang melindungi jurnalis di Indonesia sebenarnya cukup baik dengan adanya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Namun, ada juga beberapa regulasi yang dapat mengancam jurnalis seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-Undang Cipta Kerja,” ujarnya.
Selain itu, dalam peluncuran “Catatan AJI atas Situasi Kebebasan Pers di Indonesia 2021”, Senin (3/5), terdapat juga 14 kasus teror digital yang dialami jurnalis dan media sepanjang periode Mei 2020-Mei 2021. Jenis serangan digital tersebut meliputi 8 kasus doxing, 4 kasus peretasan yang dialami media, dan 2 kasus distribused denial-of-service (DDos)
Berbeda dengan Indonesia yang mengalami kenaikan peringkat IKP Dunia, Malaysia justru mengalami penurunan yang signifikan. Skor Malaysia turun 18 poin dari peringkat 101 pada 2020 menjadi peringkat 119 pada 2021.
Ketua National Union Journalist Malaysia (NUJM) Farah Marshita Abdul Patah mengatakan, penurunan terebut mengindikasikan bahwa kebebasan pers di Malaysia semakin memburuk. Hal ini terjadi karena penerapan undang-undang berita palsu yang kontroversial dan sejumlah legislasi lainnya yang membatasi kerja jurnalis.
Meski tidak separah Malaysia, penurunan IKP Dunia juga terjadi di Filipina. Pada 2020, Filipina berada di peringkat 136 dengan skor 43,54. Sedangkan pada 2021 turun dua poin menjadi peringkat 138 dengan skor 45,64.
Ketua National Union Journalist of the Philippines (NUJP) Jonathan de Santos menyatakan, sampai saat ini Filipina tidak memiliki aturan yang menjamin kebebasan pers. Di sisi lain, pandemi memperlambat kerja jurnalis dalam mengakses informasi karena pertemuan dan konferensi pers dilakukan secara daring.
“Pertanyaan kepada pejabat saat konferensi pers juga dibatasi. Pertanyaan yang sulit dan tidak mau dijawab akan diabaikan. Pembatasan gerak selama pandemi telah membuat pekerjaan lapangan menjadi lebih sulit,” ungkapnya.
NUJP mencatat, sepanjang Juni 2016-April 2021, telah terjadi 223 kasus penyerangan dan ancaman yang diterima jurnalis di Filipina. Mayoritas kasus tersebut berupa intimidasi. Jurnalis yang meliput isu hak asasi manusi dan bekerja di daerah juga dilabeli sebagai propaganda serta pendukung pemberontakan.
Dari catatan RSF saat melakukan survei IKP Dunia, aturan-aturan darurat yang diberlakukan selama pandemi tidak hanya bertujuan untuk meredam penyebaran Covid-19, tetapi juga untuk menarget laporan-laporan yang kritis dari wartawan. Kondisi inilah yang membuat IKP di sejumlah negara mengalami penurunan.